Ponsel warna putih bergetar di atas ranjang bersprei gambar kartun Spongebob. Layar menyala menampilkan nama penelpon, Nami. Ketahuilah, kamar bercat hijau tumbuhan paku yang super apik ini tak ada penghuni. Sang pemilik kamar ini baru saja masuk setelah jam beker menunjukan pukul 19.47.
Seorang gadis berbalut piyama hijau telur asin berlari menuju ranjang, mungkin mendengar nada dering paling konyolnya: suara Doraemon kala memberitahukan judul episode. Ia duduk di sisi ranjang memegang ponsel miliknya, milik Shakira.
"Nami? Tumben dia nelpon gua?" Tangan kecil Shakira menekan ikon hijau lalu menempelkannya di daun telinga kiri. "Halo, Mi? Ada apa?"
"Cuy, gue pengen curhat nih!" rengek Nami dari seberang telpon.
"Curhat?" Shakira mengernyit dan bersiap menjalani ritual pulau kapuk. "Curhat aja sama Allah."
"Gue lagi halangan, cuy. Makanya gue pengen curhat ke elo."
"Ya udah deh," ucap Shakira mendesah pasrah, "mau curhat apaan emang?"
"Kir, gue sebenarnya suka sama Egi," kata dia yang disusul bunyi keresak. "Bagaimana, ya? Gue tau pacaran itu ngeganggu konsentrasi gue, tapi—"
"Seriusan lu suka sama Egi?" Shakira spontan bangkit dengan wajah tak percaya. "Anjir, lu pengagum rahasianya Egi, ya?"
"Heh? Emang lo kenal Egi, Kir?" Nami pakai tanya segala.
"Kenal secara gak sengaja sih ...." Sekilas iris emerald Shakira mengerling menatap poster idola di dekat pintu.
"Kok lo gak kasih tau gue? Ih, gue jadi malu tau!" rengek dia yang membuat Shakira tertawa renyah.
"Ciee ...." Menyeringai lebar Shakira menyipit goda, seolah Nami ada di sisinya. "... yang suka sama Egi."
"Sekarang bagaimana jadi! Gue benar-benar suka sama dia! Gue gak bisa ngeluapin perasaan gue!" kata Nami panik, disusul degan rengekan dan tawa dari Shakira.
\= ̄ω ̄\=
"Saran aku sih, ungkapin aja, Gi." Aji seenak jidat berkata demikian sambil melahap pisang goreng buatannya sendiri. "Dari pada dipendam mulu."
"Emangnya Nami suka sama aku juga?" tanya Egi mendongak menatap bulan purnama yang bersinar terang. Tangannya bertumpu di belakang tubuhnya, kedua adam itu sungguh menikmati suasana malam hari yang ramai akan bunyi kelontong siomay.
"Kalau gak dicoba mana tau, kan?" kata Aji mengerling hangat. "Ayolah, mana Egi yang aku kenal? Egi si barbar dan ceria."
"Apaan, hah?" Egi menoleh menyunggingkan senyum miring, mengambil secangkir teh manis hangat untuk disesap. Desahan nikmat terlontar menggelegar di sekitar teras rumah Aji. "Kamu ngejek aku?"
"Bukan lah." Aji tertawa kecil, menggeleng pelan dalam tundukan. "Aku kenal kamu kayak begitu, Gi."
"Tau lah." Nampaknya, Egi sudah menyerah bila berdebat dengan pemuda semacam Aji. Semenjak dia hijrah, Aji jadi tipikal yang suka bicara, bisa dibilang ambivert. Sepiring pisang goreng resep ibunda Aji dan dua cangkir berisi teh manis hangat menjadi penghalang mereka berkomunikasi.
Penghalang komunikasi yang nikmat dan menyenangkan.
"Kamu sering banget kasih saran ke aku kalau aku punya masalah," ungkap Aji melambaikan ujung kaki tanpa alas. Tersenyum lembut, ia mengingat segala momen bersama Egi, dari TK sampai sekarang. Egi sudah seperti adik Aji sendiri. "Jadi sekarang, aku berhak buat kasih saran buat masalah kamu."
Egi menunduk, mendengus enteng pasal kalimat terakhir Aji seraya menarik senyum miring. "Balas budi nih, ceritanya?"
"Iyah." Aji kembali mengambil pisang goreng bekas gigitannya, melahapnya sampai habis. "Bisa dibilang begitu."
\= ̄ω ̄\=
Paginya, lagi-lagi ada rapat eskul rohis. Yang terpenting dalam rapat ini adalah....
Shakira tidak keluar dari eskul rohis!
Terlihat di samping Nami, gadis pemilik iris emerald sudah duduk bersimpuh melemparkan senyum termanis ke seluruh penghuni. Lokasi rapat pun seperti biasa, di dalam masjid. Nasib baik semua pengurus eskul rohis kelas 11 bisa berkumpul sebelum waktunya.
Shakira sempat terusik dengan suara cekikikan dari teman—sahabatnya. Dia merangsang rasa keingintahuan Shakira, lantas ia mengangkat alis agar matanya bisa leluasa bergerak. Ia mengerling mendapati gadis bertahi lalat di sudut mata kanan tengah asyik mengetik sesuatu di layar ponsel.
"Lu kenapa dah, Mi?" tanya Shakira tersenyum miring. "Seru amat keliatannya."
"Heh?" Refleks Nami menoleh sekaligus menyembunyikan layar ponsel dari pandangan Shakira. Terlukis raut wajah tegang yang mewakili degup jantung bertempo cepat. "G-gak, gak ada apa-apa kok. Benaran."
Bukannya percaya, Shakira justru menyipit tajam begitu ... lama. Sampai akhirnya ia berpaling dan mengangguk paham, teringat akan curhatannya kemarin malam. Shakira sudah berpaling darinya, saatnya Nami melanjutkan kegiatan tak terlupakan yang sebenarnya sudah sering dilakukan setiap hari. Tetapi, baru satu dua ketikan huruf ....
"Hayo, lu chat sama Egi!" Satu sentakan Shakira nyaris melempar ponsel Nami ke atas. Untung saja Nami genggam erat-erat.
"Ah, lo mah!" Giliran Nami yang berpaling dengan perasaan merajuk. "Gue ketangkap basah njir!"
"Lu jangan ngelak dari gua," kata Shakira mengembangkan senyum penuh kemenangan, berkacak pinggang penuh bangga. "Gua prediksi lu lagi janjian buat ketemuan sama Egi."
"Kan lo lihat chat gue." Nami berkata demikian sembari mengerling malas. Ia mendesah pasrah, Nami tak bisa lari bila ketahuan Shakira.
"Yes! Seratus buat gua!" girangnya merentangkan tangan ke atas. "Jadi, lu udah tentuin lokasinya?"
\= ̄ω ̄\=
Nami memilih untuk ketemuan di sebuah taman bermain dekat gedung DTA saat pulang sekolah. Pemandangan antara gedung SD di depan dan semak liar di samping kanan mewakili kesan menakjubkan untuk langit percampuran oranye-biru tua. Di sana, gadis tomboi itu berayun-ayun di sebuah ayunan, masih dengan pakaian sekolah.
Hah, gue gugup banget ketemu sama dia! Nami membatin panik. Banyak sekali pertanyaan negatif yang bersarang di otaknya. Bagaimana kalau Egi tidak datang? Apakah Egi tipikal melanggar janji? Bagaimana perasaan Egi saat—
"Assalamualaikum, Nami!" Sapaan penuh ceria dari sang pemilik bariton, itu Egi! Saat Nami tersentak menatapnya, pemuda itu datang menghampiri dengan kaos panjang bergambar pemandangan candi Borobudur dan celana abu-abu, pasti celana sekolah! Rambut hitamnya pun terlihat acak-acakan.
"K-kamu habis olahraga, ya?" tanya Nami menunduk mesem. Ah, sejak kapan Nami berinteraksi menggunakan logat aku-kamu? Ini terkesan formal bagi gadis tomboi semacam Nami!
"Hooh." Dia duduk di ayunan sebelah kanan Nami, bersiap untuk berayun dengan kaki menjulur. "Kok kamu tau?"
"R-rambut kamu berantakan." Nami masih tak sanggup menatap wajah maskulin Egi. Masih tersenyum mesem dalam tundukan.
"Ah, iya. Maaf, aku datang ke sini gak mandi dulu," kata dia menoleh memaparkan eye smile.
"G-gak masalah buat aku!" Spontan Nami menoleh, mendapati serangan memabukkan dari Egi. "A-a-aku juga—"
"Sudah lama gak ketemu, ya," potong Egi berwajah ceria. "Terakhir kali aku ketemu kamu pas lagi apa sih?"
"Pa-pas lagi ...." Nami meneleng menatap langit, berusaha mengingat kapan terakhir kali berjumpa dengan pangeran idamannya.
Ah, saat Nami berpesta pora dengan vodka bersama Aji.
Iris hitam Nami membesar, menyipit menyimpan duka. Ia semakin tertunduk tertimpa keterpurukan, kenapa momen terakhirnya harus di adegan paling Nami benci?
"Eh, m-maaf," tatapan Egi bertukar penuh rasa bersalah, "aku gak bermaksud buat—"
Nami menggeleng, **** senyum getir. Ujung sepatu warrior Nami terdorong, mengayunkan ayunan yang Nami duduki dengan pelan.
"Ada sesuatu ... yang pengen aku sampaikan ke kamu." Begitulah yang Nami katakan tanpa menatap sang lawan bicara.
Egi mendelik. Sesuatu yang dia sampaikan? Apa itu? Apakah sesuatu yang Nami maksud sama seperti yang Egi pikirkan?
"A-aku juga ada sesuatu yang pengen aku sampaikan ke kamu, Mi." Seceria mungkin Egi menarik sudut bibir ke atas, memamerkan senyum termanis yang palsu.
Dalam hitungan kelima....
Empat....
Tiga....
Dua....
"Aku suka kamu." Secara kebetulan, serempak mereka mengutarakan isi hatinya yang selama ini mereka pendam, untuk orang yang sama. Alangkah terkejutnya, sampai-sampai mereka saling menoleh tak percaya.
"A—" Nami dengan kikuk menunduk menggenggam rantai ayunan, menggigit bibir bawah sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "—aku cinta kamu."
Sungguh tidak Nami percaya, Egi tak mengungkapkan rasa cinta padanya. Sudah ia duga, pasti Egi tak cinta. Hanya sekedar rasa suka, tapi sebagai status apa dia mengatakan 'suka'?
"Aku bukannya cinta sama kamu," lirihnya dengan tatapan meneduhkan, seteduh suasana sore hari. "Tapi ...."
Kemudian, tangan besar Egi terulur mengusap pangkal kepala Nami yang terbalut kerudung jeblus. Setiap elusannya, entah kenapa Nami mendapatkan secercah letupan hangat di hatinya. Bahkan di detik ini, air mata mengalir di pipinya tanpa sadar.
"... aku pengen kamu jadi pendamping hidup aku, suatu hari nanti."
Nami mendelik tak percaya. Air mata malah mengalir makin deras, benarkah yang ia katakan benar apa adanya? Perlahan, ia mendongak menampakkan matanya yang basah akan cairan asin.
"K-kamu gak bercanda, kan?" tanya Nami mencoba meyakinkan.
Egi menggeleng, tatapannya sungguh sehangat elusan tadi, dan senyumannya pula. "Aku gak bakal bercanda soal pendamping hidup. Aku gak masalah punya istri tomboi kayak kamu, karena aku tau, sifat kayak begitu masih bisa diubah."
"Kamu bisa bilang iya atau gak kapanpun kamu memutuskan," sambung Egi beranjak dari ayunan, berjalan selangkah di depan Nami. Kedua tangannya sengaja dimasukkan ke saku celana, terdengar hembusan napas panjang dari lubang hidung Egi. "Toh, itu semua hak kamu. Kalau kamu jawab iya, kita akan membentuk keluarga baru saat salah satu diantara kita lulus kuliah."
Nami bingung dengan keputusannya saat ini. Antara percaya tak percaya, Nami disuguhi kejutan tak terduga dari pria yang ia cintai. Ia memicing, mencoba meluruskan jalan pikirannya sejenak.
"Makasih buat janji temunya." Tanpa mengucapkan salam—atau memang lupa mengucapkan salam—, ia berjalan melambaikan tangan. Bagi Egi, ini seperti salam perpisahan ketimbang salam sampai jumpa yang akan ketemu di esok hari atau lusa atau bulan depan.
Bunyi gemericik rantai ayunan meletuskan gadis tomboi untuk segera berlari menyusul Egi lalu memeluknya dari belakang. Tubuh atletis Egi inilah yang selalu Nami impikan untuk jadikan tempat bersandar dikala ia bernostalgia. Egi sendiri kaget dengan tindakan Nami barusan.
"Nami?" Egi hendak melepas lingkaran tangan Nami di pinggangnya, namun ia baru ingat, bukan saatnya ia bersentuhan dengan lawan jenis. "Kenapa?"
"Iya." Hanya satu huruf, itupun bersuara serak. Terpampang jelas wajah bahagia Nami, eye smile yang berbanjir cairan bening dan senyum manis yang manisnya nyaris mengalahkan senyum manis Shakira. "Aku mau jadi pendamping hidup kamu."
Egi mendengus dan terkekeh renyah. "Kalau begitu, kamu harus tunggu aku lulus kuliah nanti."
"Eh?" Nami meneleng nan mendongak memasang wajah kesal. "Aku juga mau kuliah pas lulus SMA nanti."
"Ya sudah, kita bareng-bareng nunggu lulus kuliah nanti kalau mau nikah." Selepas itu, mereka tertawa bersama penuh bahagia, sebahagia anak-anak yang bermain bola di lapangan voli. []
**Yeeiii, satu halaman lagi! 😂😂
Sebenarnya, aku update dua kali juga karena gabut+kepengen tamat.
Temui aku di:
IG: @reirin_mitsu17
Wattpad: @ZYurika
See you!
Reirin Mitsu**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Linda
Fedback dong thorrr
2021-03-31
0
Linda
walah walah jannn, usia muda atau remaja memang sedang di Landa si merah jambu. Yang dimana wanita apabila ia di lontarkan dengan perkataan yang mungkin menurut orang lain tidak berguna dan sia-sia hatinya berbunga-bunga bagaikan diselimuti oleh taburan bunga yang bermekaran nan wangi.
2021-03-31
1
Maybelle🌻
jangn cepet tamat lah thorrr......bagus loh semangat ya thorr.....
2019-12-02
1