Menempuh waktu tiga jam, akhirnya mobil sedan berwarna kelabu ini berhenti di parkiran sebuah taman wisata. Seharusnya tadi pagi mereka sampai di sana, tetapi ban mobil bagian depan mengalami kebocoran. Mau tak mau, dua adam ini harus menunggu di bengkel selama dua jam lebih.
Situ Janawi, wisata yang sering mereka kunjungi setiap Minggu. Di sana, Egi menaruh tas berisi peralatan elektronik dan alat tulis di sebuah saung. Lain dengan Aji yang berbaring dengan lengan bawah kiri menumpu belakang kepala. Wajahnya terlihat tampan tatkala terpejam. Andai cahaya matahari menerpa wajah Aji, pria dengan julukan ustad oppa Korea itu makin berkharisma.
"Fiuh!" Egi membaringkan diri di samping Aji dengan tangan terlentang. Bibir tipisnya mengembangkan senyum manis, menyaksikan burung-burung kecil hilir-mudik beterbangan. "Walaupun agak siang dikit, kita masih bisa bersantai."
Aji tak menggubris, tetap terpejam bernapas panjang.
"Ji," Netra hitam Egi mengerling ke arah Aji, "kapan kita mau belajar?"
Tetap tak digubris. Entah apa yang merasuki Aji baru-baru ini. Lantas, Egi mengeraskan suaranya, menyerukan nama pria di sampingnya hingga bangkit karena kaget. Bila perlu, Aji harus berlatah istigfar saat bangkit dari baringnya. Dengan tatapan tajam, Aji menoleh memasang wajah kesal.
"Bisakah kamu gak kageti aku, sehari saja?" tanya Aji masih bernapas pendek saking kagetnya.
"Habis, aku ajak kamu ngobrol malah gak didengar." Egi bangkit duduk dan merapihkan rambutnya yang berantakan. "Lagian, kamu mikir apa sih?"
"E-entahlah," jawab Aji berpaling, "aku juga bingung sama diriku sendiri."
"Emang tadi kamu tidur?" Sembari berkata demikian, ia mengambil laptop perak dari tasnya. "Sampai aku tanya pun gak dijawab."
Pria dengan bekas luka di alis kanan duduk menekuk lutut kanan, mendesah pelan lalu memandangi sungai jernih menyejukkan mata. Ditambah tiga pancuran air dekat hutan dan hamparan bunga teratai yang menjadi habitat ikan gurame.
"Aku suka Shakira." Tanpa sadar, bibir akan bekas tindik di bagian bawah itu berkata tanpa seizin isi otaknya. Egi pun terkejut mendengar ucapan tak senonoh tadi begitu berhasil menyalakan laptop miliknya, sebab itulah ia menoleh akan mata melotot tak percaya.
"Ji? Kamu gak bercanda, kan?" Egi tunggu jawaban Aji dalam hitungan ke-5. Oke, kembali ke respon awal—dia tak menggubrisnya ... lagi.
"Aji!" Satu tepukan keras mendarat di tangan kanan Aji, masa bodoh dia terperanjat oleh tepukan Egi. "Makanya jangan melamun terus."
"Ah, m-maaf, lagi-lagi aku melamun," lirih Aji menggaruk pangkal kepala. "Aku bilang apa tadi?"
Astagfirullah aladzim, ini anak punya kepribadian ganda atau bagaimana? Netra hitam Egi terpancar ungkapan di hatinya, menyipit dan tajam. "Kamu suka Shakira, aku dengar sendiri."
Semburat merah merambat di wajah Aji dengan pesat. Napasnya jauh lebih pendek dibanding saat kaget, bahkan bisa merasakan panas dari tubuhnya. Pria bersurai hitam ini menunduk, benarkah ia berkata demikian, seperti yang Egi contohkan?
"Benaran aku ngomong kayak gitu?" tanya Aji meyakinkan.
"Sekali lagi kamu ngomong begitu," Egi mulai fokus dengan laptopnya yang membuka aplikasi pengolah kata, "lama-lama aku siapkan perekam suara nih."
"J-jangan-jangan!" sangkalnya melambai kedua tangan di depan wajah. "A-aku benaran gak tau, Gi!"
"Sekarang kasih tau aku," pinta Egi duduk tegak, bersila di hadapan Aji dan menatapnya tajam, "kamu sebenarnya suka sama Shakira atau sekedar teman doang?"
"Eh, s-soal itu ...," pria berkulit seputih susu segar itu menunduk menahan malu, "... aku gak tau. Aku sungguh gak tau sama perasaanku sendiri, apa lagi ditanya kayak begitu sama kamu. A-aku bimbang."
Egi menggumam pelan. Apa yang dia ucapkan ada benarnya. Aji berkata seperti itu disaat dia melamun, tentu saja di luar kesadaran. Tetapi, Aji sudah lama kenal dengan Shakira, toh mereka satu sekolah. Mana mungkin mereka baru saja kenal di kelas 2?
"Kalaupun aku bilang suka sama dia," seluruh selaput mata Aji diselimuti cairan asin. Ia makin menunduk mengangkat bahu, menahan kesedihan di pelupuk mata, "aku gak pantas bersanding sama dia."
"Jangankan menjadi suaminya, menjadi sahabat pun rasanya gak pantas buatku," sambung Aji memulai sedannya, dihakimi oleh tetesan air mata di permukaan kayu berlapis cat pelapis.
Egi tersenyum geli mendengarnya. Sudah lama dia betah dengan sifat cengeng, sejak kejadian yang membuat Egi geger otak. Kalau Egi berkata jujur, Aji tampak seperti penderita depresi.
"Udah, jangan nangis." Tangan putih Egi terulur mengelus kedua bahu Aji. "Kalimat terakhir tadi, aku jadi ingin bilang kalau sahabat saja kau tak pantas, mungkin sejak dulu aku gak bakal bebaskan kamu. Kamu ingat itu, Ji."
Aji terus terisak dalam diam, jaket hitam yang sedari tadi melekat di tubuhnya pasti menjadi penyebab tubuh gerah.
"Udah, Ji. Mending kamu lepas jaket, kita bakal belajar sambil kerjakan pr buat besok," ujar Egi.
Aji menuruti ujaran Egi. Dengan punggung tangan saja ia menghapus air mata yang tak punya rasa manusiawi membuat mata pedih nan sembab. Semua isi dari tas gendong Aji hanya tiga buku tulis, alat tulis, dan ponsel. Kehadiran ponsel disaat belajar memang penting untuk pelajar semacam mereka.
Setengah jam mereka membisu mengerjakan tugas, tak ada sedikitpun rasa kantuk yang menyerang mereka. Egi saat itu mengetik dokumen makalah dengan posisi tengkurap, ia menoleh mendapati sahabat terbaiknya tengah merangkum materi sejarah Indonesia.
Ah, Aji sudah dewasa, sudah mengerti akan rasa suka terhadap lawan jenis. []
Yeiii, gak maret lagi! Jangan lupa like, kawan-kawan!
Reirin Mitsu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Linda
next terusss jangan perhatikan komentar, kalo ada like tiap Episode itu berarti minta up.Lanjutkan terus ya, btw terhibur nih🤭
2021-03-28
1