Detakan kuat jarum jam menghadapkan dua insan lawan jenis ini di sebuah sofa butut. Ruangan bercat putih pun seakan memiliki volume yang sempit, yang menyesakkan alat respirasi mereka.
"Ternyata elu yang jadi sahabatnya Egi." Gadis berkerudung coklat susu itu bertopang dagu, iris secerah emasnya melirik tajam. Sia-sia ia penasaran dengan sahabat Egi.
Rupanya Aji.
Nampak pemuda dengan bekas luka di alis kanannya menunduk beraut tegang, saking tegangnya peluh sebesar wijen sudah menumpuk di pelipisnya. Guna tak canggung, Aji menggosok kedua belah tangan layaknya orang yang tak tahan sejuk.
"Ayo dong, jangan diem-diem mulu." Suara dari belakang menampar organ vital mereka. Mereka sama-sama mendelik begitu bunyi langkah kaki menyambar ke sini, memperlihatkan sosok berkulit seputih susu datang menaruh dua gelas air mineral. Tubuh atletisnya terhempas ke kursi tamu, bersandar menatap dua tamu di depannya. Dia gemas melihat dua insan seumuran yang saling membuang muka, membuatnya tersenyum geli.
"G-gua gak tau kalo sahabat elu tuh si Aji," rajuk Shakira tetap tak mau menoleh.
"K-kenapa kau tak kasih tau aku kalo kamu kenal sama Shakira?" tanya Aji menatap sayu.
"Hee," ia menukuk bertopang dagu, "jadi kalian pada saling kenal?"
"Satu kelas yang bener!" Serempak mereka menyanggah pernyataan Egi dengan mimik yang berbeda. Shakira bermimik kesal, Aji berwajah panik. Shakira ragu-ragu berpaling sambil bergumam lirih, "I-itu juga kagak sengaja duduk sebelahan sana nih cowok."
"Ya udah, kita mau belajar gak?" Egi beranjak dari kursinya. "Aku mau ambil bukunya kalo mau."
"Ah, j-jangan deh," tolak Shakira melambai kedua tangan di depan dada. "G-gua gak bawa buku euy."
"Aku ambil buku paket biologinya."
"Apa lu bilang?" Shakira melotot ke arah Aji, siap dengan kepalan tangan kiri di belakang kepala. Dari gerakan demikian, gadis beriris emerald ini meminta Aji untuk tidak ikut campur. Tentu saja Aji bergidik takut. Tamat sudah riwayat Aji, menelan saliva saja susahnya minta ampun. Ia tahan sampai mengeluarkan banyak peluh di dahi dan pelipisnya.
"Boleh tuh," perkataan Egi barusan menarik perhatian Shakira dan Aji, "besok aku ada pelajaran biologi. Kita bisa belajar sama-sama!"
"Eh? T-tapi, kan, g-gua—"
"Bukannya kita juga harus ngerjain tugas biologi?"
"Jangan ikut campur, Ji!" Lagi-lagi ia menoleh kesal ke arah Aji.
"Tuh, ada tugas kamu bareng Aji." Egi mulai melangkah menuju kamar yang letaknya di sebelah kiri ruang tengah. "Ji, kamu bawa bukunya gih. Kita belajar bersama."
Aji menurutinya, lantas pergi keluar untuk mengambil buku biologi di rumah. Sekitar lima menit Shakira berdiam diri dengan kebosanan. Entah itu melihat pajangan foto keluarga Egi, memainkan mahkota miniatur bunga edelweis, atau meneguk minumannya sampai habis. Bukan Shakira namanya kalau tidak bergerak aktif.
"Hehe, nunggu lama, ya?" Shakira menoleh ke belakang, mendapati pria jangkung yang datang menggenggam buku tebal bersampul gambar fauna karnivora. Itu Egi, dia meletakkan buku tadi di meja berlatar belakang cangkang kerang kering dan Bintang laut.
Shakira langsung mengerling memajukan bibirnya, melipat tangan di dadanya sambil merutuk, "Lagian elu lama betul di kamar."
"Iya, maaf." Ia menukuk, menyibak sampul buku dengan tangan yang timbul akan tulang. Egi ingat sesuatu, lekas mendongak. "Kir, ada sesuatu yang mau aku bicarakan. Soal Aji."
Shakira menggumam kesal, mengiyakan permintaan Egi.
Dengan tarikan napas ia membuka mulut, menatap ke bawah bernetra sendu. "Tolong jangan buat Aji sedih."
"Maksudnya?" Tangan lentik Shakira menyambar gelas berisi setengah mililiter air, meneguknya kembali tanpa ada suara seruputan.
"Dia kayak gitu ... karena aku." Sembari mengangkat bahu, iris coklat susunya mengerling dan menyipit sendu. "Gak seharusnya aku bikin dia cemas."
Desahan nikmat akan segarnya minuman terdengar begitu rileks. "Memangnya apa yang elu perbuat sama dia?" tanya Shakira, menaruh gelas kosong ke meja.
"Aku bikin dia cemas," jawabnya tak menatap pada sang lawan bicara. "Dia ... memukulku dengan kaca jendela. Aku mengalami geger otak ringan karena pecahan kaca dan benturan keras itu."
Wajah ayu Shakira berubah, mata mendelik dan bibir terbuka sedikit. Lebih baik ia mendengarkan cerita pria itu sampai habis. Gadis berkulit kuning langsat ini sungguh ingin tahu pasal teman sebangkunya.
Kehadirannya sungguh merangsang rasa keingin tahuan Shakira.
Bibir sewarna daging jeruk tersenyum dan terbuka sedikit, lantas terkekeh sumbang. "Tololnya aku berjumpa dengannya dipenjara dalam keadaan masih sakit-sakitan. Pastilah dia sedih. Aku gak mau Aji ngerasa bersalah di depanku."
Gadis kerdil ini menggumam paham. "Sebab itu lu minta gua buat jagain Aji. Gua baru tau."
Wajah maskulin Egi kembali cerah, dengan senyum manis ia berkata, "Tolong jagain Aji, jangan sampai dia nangis gara-gara masa lalunya!"
"Siap, bos!" Acungan jempol pun mendukung ucapan Shakira barusan. Senyum tekadnya memiliki aura yang kuat, aura suatu amanah.
"Ah, kalo gak salah di SMA kamu ada Nami. Kamu kenal gak sama dia?" Egi kembali menyibak halaman, sesekali membuka halaman terakhir dari catatan biologi.
"Kenal." Tubuh kecilnya condong ke sebelah kiri, memainkan daun miniatur bunga edelweis. "Dia temen sekelas gua. Kenapa?"
"Beruntung kamu bisa temenan sama dia, apalagi sahabatan sama dia."
Jari kurusnya berhenti menyentuh daun. Tatapan dari netra emerald itu begitu kosong, seolah jiwanya tengah melayang ke suatu masa lampau.
Shakira ingin tahu efeknya bila bersahabat dengan Nami. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments