'Kasian mami, sudah hampir dilecehkan difitnah pula,' gumam Mangata sambil membuka bab berikutnya.
Bab 13
Aya berlari cepat mengabaikan tatapan heran banyak orang saat ia menuju kamp interan dan langsung masuk ke bilik keluarganya.
Brak. Ceklek.
Aya langsung menutup dan mengunci bilik mereka.
"Aya, kenapa sayang?" Sekar menyambut Aya yang tersedu ke dalam dekapannya.
"Mi, mi ..." suara Aya terdengar serak.
Sekar lalu membawa anaknya duduk di dipan, membelai lembut kepalanya kemudian memberi segelas air putih.
"Minum dulu sayang, biar kamu tenang."
Adolf yang sedang menjaga ayunan Alderts tidak kalah penasaran menunggu cerita Aya, tapi isytinya sudah memberikan kode untuk 'jangan menanyakan apapun dulu' pada Aya.
"Aya, Aya berhenti bekerja pada nyonya Monic, mi."
"Kamu melakukan kesalahan sampai kamu dimarahi?"
"Tidak. Aku ... tuan Isao, suami nyonya Monic memeluk dari belakang, merem@s pantatku dan aku menghajarnya dengan jurus andalanku."
"Bagus. Lalu kamu ..." Sekar sengaja menggantungkan kalimatnya memancing Aya bercerita kembali.
"Tuan Isao tidak berkutik dan aku langsung pulang," jelas Aya lagi.
Sekar dan Adolf bertukar pandangan.
"Sepertinya kita dalam masalah besar," gumam Adolf dengan helaan nafas berat. Sekar menunduk, airmatanya menetes.
"Sebenarnya, mami juga pernah hampir diperlakukan tuan Isao seperti untungnya saat itu nyonya Monic datang dan tidak sempat memergoki kelakuan tuan Isao. Sejak itu, karena kita perlu uang mami minta jam kerja diubah menjadi pagi hari saja, saat tuan Isao bekerja dan cepat-cepat kembali sebelum tuan Isao pulang," tutur Sekar lirih.
"Klootzak (bajingan)!" umpat Adolf marah. Sayangnya Adolf hanya mampu menyumpahi tanpa daya lebih untuk bisa melindungi anak dan istrinya.
"Kita bisa apa, pi?" kata Sekar pada suaminya. Kini mereka bertiga saling rangkul dalam isak tangis yang sama pilunya.
"Apa kita titipkan saja Aya sama Clay dan Yusuf?" tanya Sekar.
"Jangan. Selain kita tidak punya cara menyusupkan Aya ke tempat Clay dan Yusuf, cara itu juga akan sangat beresiko bagai mereka. Kamu tahu, kondisi negara kita saat ini, sayang," Adolf membeberkan alasannya.
"Terus? Apa kita terima saja tawaran keluargamu, pi. Kita mulai semuanya dari nol di Epen, sekalian juga agar kita berkumpul lagi dengan Gerry," ide Sekar.
"Mi, tidak semudah itu kembali ke sana dan tidak segampang itu memulai semuanya di Epen. Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sayang. Kita ke sana bukannya menyelesaikan masalah, hanya memindah dan menambah masalah baru saja," tegas Adolf lagi.
"Lalu? Apa kita hanya tinggal diam dan berharap semua baik-baik saja? Aku takutnya tuan Isao mengarang cerita dan ...."
"Mi, teruslah berfikiran positif agar kekhawatiran kita tidak terjadi," saran Adolf mencoba menenangkan, padahal ia sendiri sedang kebingungan.
"Tapi dari yang aku dengar, jika sampai bersinggungan dengan pihak Jepang maka sampai lubang semut pun akan mereka kejar tanpa ampun," ucap Sekar lagi.
"Kita sudah sama-sama mendengar kalau anak kita sungguh tidak bersalah," ujar Adolf lagi.
"Iya, tapi bagaimana kalau ..."
Dhog ... Dhog ... Dhoogggg!!
Bukan ketukan tapi tepatnya gedoran keras di pintu bilik mereka.
"Sekar, buka! Aku ada perlu sama anak mu," teriak Monic dari luar.
Dhog ... Dhog ...
"Hei, kalian punya telinga tidak?"
"Pi, aku takut ..." bisik Sekar.
"Buka saja, mi. Katakan saja yang sebenarnya, yakinlah. Kita tidak bersalah maka semoga tidak terjadi apa-apa," sahut Adolf.
Setelah berdoa singkat Sekar membuka pintunya dan ...
Gubrak! Pintu itu didorong dengan sangat keras.
"Mana anakmu?" ketus Monic saat berdiri di ambang pintu barak.
"Nyonya sabar, kita bisa bicarakan ini baik-baik," Adolf mencoba bernegosiasi.
"Tidak perlu! Kalian harus diberi pelajaran tentang akibat telah menyinggung kami. Kalian, cepat bawa anak itu! ujar Monic dengan suara lantang memerintah anakbuahnya.
"Maafkan anakku nyonya, ampuni kesalahannya. Jangan anakku jangan dibawa, biar aku saja yang ..." mohon Sekar sambil bersimpuh memeluk kaki Monic.
"Cih, pergi dari hadapanku. Aku tidak sudi disentuh oleh tangan kotormu itu, dasar babu jelek, bau," umpat Monic seraya menendang Sekar sampai terjengkang.
Pengawal Monic membawa Aya yang terus berteriak dan meronta, para penghuni kamp hanya bisa menyaksikan dengan tatapan prihatin. Tidak satupun dari mereka berani menghadang apalagi membela keluarga Adolf Vooren. Tidak akan, mereka juga takut bersinggungan dengan orang-orang bagian dari negara mata hari terbit itu sebab mereka masih ingin hidup, tidak mau menjadi korban berikutnya yang disiksa secara brutal yang tidak jarang berakhir tragis, dibunuh di depan mata mereka sendiri. Jadi lebih baik mereka cari amannya saja.
"Ayaaaa!" Jerit Sekar sambil berusaha mengejar mobil yang menjemput paksa anak gadisnya itu.
"Sekaaaar ...." lirih Adolf memanggil istrinya sebelum jatuh pingsan. Sekar berbalik menghampiri suaminya.
"Papi, banguuun ... bangun, pi. Ayo, kita selamatkan Aya," gugahnya.
Beberapa tetangga membopong tubuh Adolf menuju rumah kesehatan agar diberi pertolongan.
Menyadari mereka sekarang hanyalah sebagai bagian dari kaum yang seharusnya tersingkirkan dari tanah Hindia Belanda, Sekar hanya bisa pasrah meratapi nasib sambil berharap keadaan kembali baik seperti sedia kala. Sungguh saat ini Sekar hanya bisa merindukan masa-masa mereka hidup tentram di Magelang.
***
"Ah ... apa mereka tetap membawa anakku?" Kata Adolf begitu siuman.
Salah seorang tetangganya yang bernama Hanson menjawab, "Iya, mister. Maaf, kami tidak bisa menolong."
"Yah, mau gimana lagi? Padahal anakku cuma berniat melindungi dirinya dari perlakuan yang tidak senonoh suami nyonya Monic, tapi mengapa mereka sampai menjempu paksa anakku dan harus dibunuh?" Ucap Adolf sambil menahan nyeri yang menghanyltam ulu hatinya.
"Dibunuh? Sepertinya tidak akan, deh," sahut Hanson.
"Ah, ma-maksudmu apa masih ada cara untuk menyelamatkan anakku?" Adolf seolah menemukan celah harapan.
"Hm, sepertinya tidak."
"Ja-jadi?"
"Maaf, mister. Tentu akan sangat disayangkan jika ... gadis cantik seperti anakmu langsung dibikin mati," jawab Hanson lagi.
"Hah?" Adolf tampak membayangkan kemungkinan yang dimaksud Hanson.
"Maaf. Sepertinya kita sepemikiran, mister. Karena perempuan, maka kemungkinan terbesarnya adalah ... ditawan, diperkosa lalu mereka akan mencicipi tubuh molek anakmu secara bergiliran. Dijadikan 'jugun ianfu', budak **** yang apabila melawan atau mencoba kabur atau jika sudah bosan, baru dibunuh," bisik Hanson.
"Keji sekali. Ya Tuhan, lindungilah anakku Arrabella Putri Vooren," doa Adolf.
***
"Untuk apa kamu membawa anak sialan ini kembali?" Hardik Isao saat melihat Monic dan orang-orangnya membawa Aya ke rumahnya.
"Menurutmu?" pancing Monic.
"Kamu mau melihatku mati dihajarnya?"
"Haha, kamu melihat potensi noni Belanda ini bisa membunuhmu, hm?"
Isao menggeleng.
"Jangan gusar, dia hanya sebentar di sini. Hanya sementara sebelum aku menemui mami Irene dan membuat kesepakatan."
"Irene? Jadi kamu akan menjualnya ke ianfu?"
"Tentu. Aku yakin anak itu masih perawan, tentu aku bisa menawarkan harganya yang tinggi."
"Oh," jawab Isao singkat padahal dalam hatinya berseru 'yes', otaknya langsung bekerja keras memikirkan cara agar Irene mau memberinya kesempatan jadi yang pertama menjamah tubuh noni Belanda itu.
"Kenapa? Kamu keberatan dia aku bawa kemari?" tanya Monic.
"Ah, tidak. Aku hanya berpikir, dia masih terlalu muda Apa tidak sebaiknya kita biarkan saja dia menjadi pembantu di sini tanpa dibayar untuk menebus kesalahannya?"
"Untuk menebus kesalahannya atau kamu malah mencari kesempatan menidurinya?" Monic kembali pada mode kesal pada Isao, membuat lelaki itu gelagapan.
"Sayang, bukan itu maksudku. Hah, ya sudahlah, lakukan saja semaumu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Author yang kece dong
aku sudah baca kakak
2022-05-15
5
Gadis23
yuhu ....
2022-05-14
6
Win
yuhuuu
2022-03-23
12