Waktu seperti berlari dengan cepat, segala bentuk kesenjangan dan kekejian yang terjadi di tanah air tidak berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anak keluarga Vooren, karena mereka dibesarkan dengan kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya.
Adolf bangga sekaligus bahagia kala Clay baru saja berulang tahun yang ke 20, si sulung cantiknya itu telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan telah diterima sebagai suster di rumah sakit pemerintah.
"Pi, ada seorang pria yang menyatakan perasaannya padaku, dan dia ingin menjalin hubungan yang serius denganku," ujar Clay malu-malu.
"Hah, astaga ... secepat ini Clay, perasaan baru kemarin kamu belajar jalan, tau-tau dah ada pemuda yang senang aja. Sinyo apa pribumi?"
"Pribumi, pi."
"Hm ...."
"Kalau pribumi, tidak boleh, ya?"
"Kalau papi bilang tidak boleh jadinya tidak adil, kan papi belum kenal, belum tau pribadi pria itu seperti apa."
"Papi kenal kok sama dia, sama orangtuanya juga."
"Hah, masa sih? Kalau begitu suruh pemuda itu menemui papi, secepatnya."
"Ih papi, kok langsung minta ketemu gitu, sih? Mentang-mentang ini kali pertama ada lelaki yang terang-terangan bilang suka sama Clay, trus papi langsung gerak cepat, gitu," protes Clay.
"Lho, kan kamu sendiri yang bilang pemuda itu senang dan pengen serius sama kamu, pasti dia gak keberatan sama permintaan papi. Sekalian papi mau lihat sebesar apa sih keseriusannya sama kamu."
"Eng ... tapi janji, lho ... nanti jangan galak-galak sama dia, nanti dia keder trus Clay gak jadi punya pacar, jauh jodoh dan jadi perawan tua, pi," ujar Clay dengan muka masam.
"Haha ... gadis papi yang satu ini memang sudah kepengen banget punya pacar, rupanya," ledek Adolf pada putrinya.
"Uuuh papiiii," wajah Clay memerah menahan malu, sudah beberapa minggu Clay memendam hal itu, menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu pada papinya, tapi ia selalu ragu. Takut ayahnya menentang karena ... ah, malah ia diledek ayahnya, semoga ini pertanda bagus, harap Clay.
Besoknya, sore hari usai dinas Yusuf bertandang ke rumah tuan Vooren, meski dengan perasaan cemas dan lutut yang gemetaran, tekad Yusuf begitu besar demi menemui ayah dari calon kekasihnya itu.
"Silakan masuk, bang. Aku panggilkan papi dulu, ya." Sambut Clay saat Yusuf tiba di rumahnya.
Yusuf pun duduk, berulang kali ia mengusap keringat yang membasahi dahinya dengan sapu tangan. Ah, bahkan sofa empuk yang didudukinya itu terasa seperti ada duri yang membuatnya tidak tenang.
1 menit ...
3 menit ...
5 menit ... tuan Vooren belum juga menemuinya.
Sementara itu Adolf yang penasaran, sengaja mengamati pemuda itu dari ruang tengah yang dibatasi tirai transparan. Adolf memang berencana membiarkan pemuda itu menunggunya beberapa saat.
"Mi, mi ... lihat tuh, menurutmu pemuda itu gimana?" bisik Adolf pada Sekar yang sama penasaran dengannya.
"Ehm ... orangnya terlihat sopan dan tampan, sepertinya serasi sama anak kita, pi," jawab Sekar jujur.
"Aduh! Apaan sih nyubit2-nyubit?" keluh Sekar sambil mengusap bekas jepitan mesra dua jemari suami di lengannya.
"Dilarang mengagumi pria lain dihadapan suami sendiri," tegas Adolf dengan tatapan tajam.
"Lhooo ... tadi papi minta pendapatku, gimana, sih?"sahut Sekar sewot.
"Pokoknya tidak boleh!" Ketus Adolf.
"Astaga papiiii ... Sudah, cepat sana temui pemuda itu, kalau cocok dan menurutmu baik, minta dia memastikan hubungannya dengan kita. Aku sih, setuju dia jadi menantu kita," ujar Sekar sambil mendorong pelan suaminya.
"Karena dia tampan?"
"Ck, papi ini lho. Clay kan sudah cukup umur, sudah dewasa dan sudah bekerja, apalagi yang kita tunggu? Emang papi gak pingin Clay menikah dan kita punya menantu?" bahas Sekar.
"Hah? Menantu, mi? Kita akan punya menantu?" tanya Adolf ragu.
"Iya, sayang. Tentu kita akan jadi orang tua yang berbahagia, telah menuntun Clay menggapai cita-citanya dan kini Clay tampaknya sudah siap menjadi istri."
"Clay jadi istri? Ah, tapi pemuda itu siap apa tidak jadi suami Clay? Punya pekerjaan atau tidak?"
"Aduh, piiii. Makanya ditemuin dia dulu, papi sayang. Tanyain langsung ke orangnya," saran Sekar lagi.
Cup.
Adolf mendaratkan kecupan ringan di dahi Sekar sebelum ia beranjak menemui teman pria Clay, seolah meminta dukungan istrinya.
***
"Ehm ... hai, saya Adolf Vooren, ayah Clay," ujar Adolf memperkenalkan diri seraya menyodorkan tangan kanannya. Walaupun suaranya terdengar penuh penekanan, nyatanya kondisi hati Adolf dan pemuda dihadapannya sama-sama bergejolak.
"Eh, ha-hai ... sa-saya Yusuf, tuan," Yusuf berdiri menyambut tangan Adolf dan berjabatan.
"Silakan duduk kembali. Kamu, yang kabarnya menyukai dan ingin menjalin hubungan serius dengan putriku?" tanya Adolf langsung pada point-nya.
"Be-benar, tuan," lagi-lagi Yusuf tergagap.
"Hei, ada apa dengan bicaramu? Apakah aku begitu menakutkan? Santai Man, santaiiii ...," Adolf berusaha mencairkan suasana.
Yusuf menghela nafas dan berusaha tersenyum. Lalu menundukkan kepalanya. Keringat semakin banyak membasahi dahinya. Tegang sekali.
"Hm, jadi apa maksud perkataanmu pada putriku tempo hari?"
"I-itu ... maaf, tuan. Jika tuan berkenan sa-saya berniat mengenal Clay lebih dekat dan ingin menjadikan Clay kekasih saya," sahut Yusuf.
"Ah, hanya ingin dijadikan teman atau kekasih?"
"Ehm, itu jika tuan berkenan ... saya ingin Clay menjadi teman hidup, pendamping saya tuan," ujar Yusuf mantap.
"Hah, ok. Kamu tahu siapa saya dan apa resiko menjalin hubungan dengan gadis berdarah campuran, seorang noni Belanda seperti Clay, apa kamu siap?" pancing Adolf.
"Insya Allah siap, tuan," jawab Yusuf masih dengan menunduk.
"Hei anak muda, usahakan untuk menatap lawan bicaramu."
Yusuf pun mengangkat kepalanya.
"Nah, begitu. Baiklah, sekarang silahkan perkenalkan dirimu sekali lagi. Siapa nama lengkapmu, apa pekerjaanmu dan siapa orangtuamu."
"Ehm, saya Yusuf Maulana, saya bekerja sebagai dokter umum di rumah sakit yang sama dengan Clay. Ehm ... ayah saya ... ayah saya bernama Haidar Maulana."
"Haidar Maulana? Yang tinggal di Ungaran itu, bukan?" tanya Adolf.
"Benar, tuan."
"Oh," Adolf menghela nafas, ia menatap pemuda dihadapannya lekat-lekat selama beberapa saat, entah apa yang beliau fikirkan.
"Berapa usiamu?"
"Hampir 27 tahun, tuan."
"Hm ... baiklah, bisa kamu mengajak orangtuamu bertemu denganku?"
"Iya, bisa tuan."
"Bagus. Secepatnya, ya."
"Siap."
Tidak ada percakapan yang berarti antara tuan Adolf dan Yusuf, keduanya masih sama-sama canggung hingga Yusuf memutuskan untuk pamit pulang.
***
"Apa? Kamu menyukai gadis dan itu adalah putri dari Mr. Vooren?" tanya Haidar pada putranya.
"Benar, ayah."
"Kamu sadar, siapa beliau dan posisiku yang adalah pekerjanya?" Haidar mengingatkan putranya.
"Iya, ayah. Sepertinya tuan Adolf tidak keberatan. Malah beliau meminta kita segera menemuinya," imbuh Yusuf.
"Itu menurutmu, bagaimana kalau maksud beliau minta ketemu hanya untuk bilang kamu tidak pantas bersanding dengan putrinya. Ingat Yusuf, kita beda derajat dengan Mr. Vooren. Aduh, kenapa kami harus jatuh cinta pada putrinya, sih?" keluh Haidar.
"Ayah, sejak kapan jatuh cinta bisa direncakan kapan dan pada siapa? Aku mengenal Clay karena ia menjadi suster di rumah sakit tempatku bekerja. Awalnya, mana aku tahu kalau Clay adalah putri tuan Adolf?"
"Apa yang membuatmu terkesan sama gadis itu?"
"Selain cantik, Clay gadis bersahaja, dia baik dan ramah."
"Ah, kalau cuma itu, sih ... Dian, anaknya pak Kuncoro tetangga kita itu juga cantik, baik juga ramah, Yusuf. Kalau gadis yang kaju maksud itu adalah Dian, hari ini kamu bilang akan melamarnya, sekarang juga kita ke sana," ujar pak Haidar.
"Ayah, walaupun Dian juga cantik, aku jatuh cinta-nya sama Clay. Kita temui dulu tuan Adolf dan mendengar apa pendapatnya jika aku berniat serius dengan putrinya."
"Apa kamu benar serius ingin meminta putri Mr.Vooren menjadi istrimu?"
"Sangat serius, ayah. Usiaku cukup matang untuk berumahtangga dan dengan pekerjaanku, aku yakin bisa menafkahi keluargaku nantinya."
"Jangan lupa, dia tumbuh dan dibesarkan dikeluarga yang berkecukupan takutnya nanti kamu tidak bisa memenuhi keinginan istrimu. Ayah tidak mau kamu tidak disepelekan karena status kita yang berbeda jauh dengan mereka, Nak," Haidar memberi masukan.
"Clay yang aku kenal adalah gadis yang sederhana, ayah."
"Benar, kalau sedang jatuh cinta maka kita hanya melihat yang baik-baiknya saja. Nanti, lama-lama setelah kalian menikah siapa tahu sifat aslinya akan keluar dan dia justru adalah perempuan yang banyak maunya, bagaimana?"
"Lalu, jika aku menikahi Dian, apa ayah bisa menjamin dia adalah perempuan yang tepat untukku dan tidak banyak maunya?"
"Eh, itu .. mana ayah tahu?" Haidar terjebak dengan perkataannya sendiri
"Yah, kadang-kadang seseorang perlu dituntut dan didorong agar lebih maju, agar berusaha lebih giat lagi berusaha. Jadi kupikir, baik itu Dian, Clay atau siapapun kelak yang akan menjadi istriku, kalaupun banyak maunya, ya mau bagaimana lagi? Sebagai suami aku akan berusaha memenuhi tuntutannya."
"Astaga, kamu ini ... benar-benar keras kepala, susah dibilangin."
"Aku bukannya tidak bisa dibilangin, Yah. Aku hanya mau bilang, siapapun yang aku pilih, aku siap apapun tuntutan juga resikonya."
"Arrrghh, baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu, kapan kita menemui Mr. Vooren?" Haidar mengalah.
"Lusa ya, Yah."
"Baiklah kalau begitu, bilang sama Clay kalau kita akan berkunjung."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
🥀⃞B⃟c Qҽízα ₳Ɽ..k⃟K⃠✰͜͡W⃠
cinta tak memandang ras dan kasta seseorang.. tp terkadang manusianya sendiri yg sellu membatasi dan membedakan antara si A dan si B
2022-10-01
2
🌈 єνιʝυℓιє ♓ℹ️🅰🌴
namanya cinta semua terasa coklat maniez legit 🤗
2022-10-01
0
OFF🍭ͪ ͩჁօsղαⁿᶦᵏᵒ🏀👻ᴸᴷ
wah ada yang cemburu ni
2022-10-01
0