Usai sarapan, Mangata duduk di ruang tamunya dan kembali menekuri catatan hati Geetruida.
"Selamat pagi, mas. Dinas sore apa malam, hari ini."
Sapa seorang wanita paruh baya sambil memasuki rumahnya.
"Eh, pagi juga mbok Nah. Hari ini masih pengen libur," sahut Mangata.
"Oh begitu, saya bersih-bersih dulu ya, mas ... kalau ada perlu apa-apa, bilang saja," pamit wanita yang biasa datang ke rumah Mangata untuk bersih-bersih tiap 2 hari sekali.
"Ok, mbok."
Meskipun sudah memberi tanda lipatan pada ujung kertas yang dibacanya semalam, Mangata sengaja sedikit membaca ulang bab sebelumnya.
Bab 7
Sore itu kami kedatangan tamu yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Papi memperkenalkan kami kepada salah satu tamu yang dia sebut sebagai 'Om Hendrick', papi bilang beliau adalah kakak kandungnya dari Epen, tanah kelahiran papi. Epen merupakan sebuah desa di bagian Selatan provinsi Limburg di Belanda. Meskipun wajah dan fisiknya cukup mirip dengan papi, tapi aku tidak suka dengannya, entah kenapa aku merasa dia berbeda dengan papiku. Ah, atau mungkin ini karena aku belum mengenalnya saja.
"Adolf, pulang. Kamu tidak tahu kalau Hindia Belanda sedang tidak aman?" kata om Hendrick langsung pada tujuannya, tanpa banyak berbasa-basi.
"Untuk apa? Hidup dan matiku di sini. Kamu tidak melihat mereka adalah urat nadi penyemangatku," sahut papi seraya melirik anak dan istrinya.
"Ajaklah mereka ikut ke Epen juga, mama dan papa pasti akan senang sekali," ujar om lagi mencoba bernegosiasi.
"Tidak, Hendrick. Aku tidak akan membawa mereka ke sesuatu yang tidak pasti. Lagi pula, Sekar sedang hamil anak kami yang ke empat, aku tidak mau terjadi sesuatu pada kandungannya."
"Anak ke empat? Anakmu yang satunya lagi mana?"
"Clay sudah menikah hampir 1 tahun ini dan tinggal di Batavia bersama suaminya," terang papi.
"Oh begitu, tapi tetap di sini juga sama tidak pastinya, Adolf!" Intonasi suara pria itu mulai meninggi dan mami pun meminta aku dan Gerry menjauh.
Aku memilih ke ruang kerja mami untuk menemui mbak-mbak yang sedang belajar menjahit, dan Gerry bermain di ruang tengah, mungkin ada hal penting yang mau dibicarakan para orang tua itu yang tidak perlu kami tahu, pikirku.
Dari ruang kerja mami, masih terhantar sayup-sayup suara orang bertengkar, bersahut-sahutan dan saling mengumpat dalam bahasa Belanda yang bahkan baru aku tahu, papi tidak pernah semarah dan sekeras itu saat berbicara.
Kemudian aku mendengar suara senjata diletuskan 2 kali diikuti bunyi gedebug keras. Apa yang membuat mereka sampai baku hantam segala, bahkan om Hendrick datang bersama beberapa pengawal? Hingga terdengar suara mami yang melengking, meneriakkan nama Gerry, adik lelakiku yang masih berusia 8 tahun.
Aku panik dan segera mendatangi ruang tamu, terlihat olehku papi sedang menangis sambil memeluk mami.
"Sayang, bangun ... Gerry, maafkan papi yang tidak bisa melindungi kalian," ucap papi dengan suara yang lemah. Dari bingkai pintu aku melihat Gerry yang meronta dan menangis di gendongan om Hendrick. Mereka telah menculik adikku. Apa yang bisa kulakukan?
"Aya, tolong panggil om Abbe," kata papi sebelum terjerungkup sambil memeluk mami.
Aku baru sadar kalau ada darah menggenang, siapa yang terluka? Mami atau papi? Lalu aku bergegas menghampiri om Abbe yang sedang berada di kebun belakang. Tadi mami sempat menyuruhnya memetik kelapa muda untuk disuguhkan pada tamu yang datang itu.
"Om, turun. Papi dan mami berdarah!" teriakku.
"Apa?"
"Cepat om, papi dan mami berdarah," ulangku dengan volume yang lebih nyaring lagi.
Om Abbe menuruni pohon kelapa itu dengan sangat cepat, lalu berlari menuju kamar istirahat para pengawal papi lainnya dan menggedor pintu dengan keras, "Bangun. Cepat ke depan, keadaan darurat," ujarnya lalu melesat menghampiri papi dan mami.
Segera saja, papi dan mami diantar ke rumah sakit. Ternyata kaki papi terkena tembakan dan mami pingsan karena shock.
Sasaran peluru sebenarnya adalah mami, karena dianggap sebagai penghalang kembalinya papi ke Belanda, tapi papi sempat menghalau sehingga ia yang terkena tembakan. Mendengar ada kegaduhan, Gerry berlari ke ruang tamu tapi malah langsung digondol oleh om Hendrick.
Sepulang dari rumah sakit, Papi bilang kalau waktu itu om Hendrick datang membawa tiket kapal SS Aramis untuknya, agar segera kembali pulang ke negaranya, tapi papi menolak karena beberapa pertimbangan, salah satunya mami yang sedang hamil besar.
Mami sangat sedih karena Gerry yang 'diculik' oleh om Hendric dan karena tekanan itu membuat mami melahirkan sebelum waktunya. Mami melahirkan bayi lelaki prematur yang diberi nama Alderts Putra Vooren.
Kelahiran Alderts membawa kebahagiaan baru di keluarga kami namun masih belum bisa menutupi kesedihan akibat kepergian Gerry. Sementara Clay baru saja kehilangan calon bayi pertamanya, jadi belum bisa pulang ke Magelang.
Clay juga mengatakan kondisi Batavia sedang tidak baik-baik saja entah apa maksudnya papi tidak ingin memberitahukan kepada kami tapi kurang lebih 2 bulan kemudian terdengar kabar pecah perang dunia II, keruntuhan Hindia Belanda dimulai ketika tentara Jerman menyerbu dan melancarkan perang kilat. Setelah bertempur selama 4 hari, tentara Belanda menyerah. Kalah dari Jerman, Hindia Belanda kembali harus menghadapi kegagalan ketika Jepang melakukan invasinya di tahun 1940. Disinilah penderitaan itu berlanjut.
Lagi-lagi papi mendapat pesan dari keluarganya yang meminta agar segera kembali ke Belanda, tapi papi terus saja menolak. Papi bilang, apapun yang terjadi, kami tidak boleh terpisah-pisah kecuali Clay karena dia sudah punya keluarga sendiri.
Aku sangat sedih, kondisi negara telah menjungkirbalikkan semuanya, termasuk harapan keluarga kami. Aku tidak lagi dapat tidur nyaman di kamarku, tidak ada segelas susu hangat sebelum tidur bahkan aku berhenti bersekolah karena kami sekeluarga dipaksa meninggalkan Magelang dan terdampar kamp interniran di Batavia.
Papi yang kakinya belum pulih akibat luka tembakan, tidak luput dari sasaran penyiksaan, hidup kami hanya bergantung dari penghasilan mami sebagai penjahit dan mengambil upah sebagai buruh cuci keliling sekaligus juga tukang masak di luar kamp. Sungguh berbeda 180° dibanding kehidupan sebelumnya dimana mami yang adalah seorang nyonya.
Aku tidak habis pikir mengapa papi tidak mau dievakuasi kembali ke negaranya, memilih pergi hanya sampai Batavia saja.
Diusia 14 tahun aku menjejakkan kaki yang kedua kalinya di Batavia. Namun kedatangan kami sekeluarga kali ini tidak lagi untuk bersenang-senang seperti dulu, sebab saat itu situasi nasional sedang genting, ada operasi darurat repratriasi warga Belanda yang mewajibkan Belanda totok, sinyo dan noni meninggalkan Indonesia. Banyak yang kembali tapi tidak sedikit juga warga Belanda yang memilih tetap tinggal di Indonesia karena berbagai alasan, papi Adolf Vooren salah satunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
El Nino
hadir lagi kk
2022-06-26
1
Author yang kece dong
Aku hadir semangat kakak
2022-05-13
5
Gadis23
gak tau mau komen apa😅
2022-05-06
8