Semula Mangata menduga akan mendapati kawasan yang lengang dan sepi seperti kompleks pemakaman umumnya, tapi saat mereka berempat berjalan memasuki kompleks makam di Kerkhoof ini, ternyata ada banyak orang di situ, beberapa diantaranya ada yang orang Belanda, Indo seperti maminya dan sebagian laiinya orang Jawa.
"Wah mereka sudah pada datang duluan," kata Ibrahim.
"Mereka siapa, om?" tanya Mangata penasaran.
"Hm ... mereka semua itu walaupun ada beberapa yang belum kami kenal adalah saudara kami, anak-anak pa van der Steur. Pa van der Steur berulang tahun lusa 10 Juli, jadi kami janjian buat kerja bakti, bersih-bersih kompleks makam sebagai kado ulang tahun sekaligus wujud penghornatan kami untuk papa," Ibrahim menjelaskan pada Mangata.
"Wah, tau gitu aku bawain sesuatu buat kita di sini," celetuk Mangata.
"Tidak perlu repot, nak. Ini kegiatannya cuma sebentar karena orang banyak yang ambil bagian bergotong royong, jadi kerjaan selesai sebelum kita merasa lelah. Lihat saja nanti, lebih lama ngobrol dari pada kerjanya, hehe ..." timpal Ibrahim.
"Wah, biasalah itu om sekalian nostalgia kaya om, tante dengan mami, jadi senang ketemu, kan?" sambut Mangata.
Usai bersih-bersih, mereka ngobrol sejenak di area makam. Satu per satu pulang hingga menyisakan mereka berempat yang masih betah bercakap, percakapan yang kemudian menghasilkan sesuatu yang diluar dugaan, sebab Ibrahim dan Laras banyak bercerita mengenai kehidupan mereka.
Berawal dari bagaimana dulu mereka bertemu di panti sebagai sesama anak asuh dari pa van der Steur lalu menikah, sampai mereka sekarang terlibat di yayasan Oranje-Nassau dan turut mengurus panti pa van der Steur yang karena sebab tertentu sudah berpindah ke wilayah Jakarta Timur.
"Kami tidak punya keluarga lagi, bahkan pernikahan kami yang hanya berselang 2 tahun dengan Helena dan Amar waktu itu, papa dan mama yang mengurus semuanya, jadi semua anak asuh yang disebut papa sebagai 'domba-domba Tuhan' dan semua yang terlibat dengan panti asuhan itu kami anggap sebagai saudara kami juga," tutur Ibrahim.
"Secara fisik, memang panti asuhan itu sudah tidak ada lagi di sini, tapi pa van der Steur dan mama juga beberapa Steurjes tercintanya terbaring damai di kerkhoof Magelang ini, dan menjadi semacam monumen yang mengingatkan kita bagaimana seseorang yang walaupun di cap bangsa kompeni namun sejatinya adalah sosok pria bersahaja dengan hati yang penuh welas asih. Kita berbagi bukan menunggu kita berkecukupan tapi saat kita terbeban memberi apapun yang bisa kita bagikan," lanjut Ibrahim lagi.
"Ah, itu benar. Gee, papimu dulu secara berkala datang mengajar anak-anak panti membaca dan berhitung-"
"Sebentar, jadi maksud mbak Laras, papi datang ke panti tanpa mengajak mami, Helena, aku dan Gerrard, begitu?" potong Geetruida.
"Iya, emangnya kamu tidak tahu?"
"Baru tahu sekarang."
"Astagaaa, hihi. Selain mengajar papimu juga sering datang bersama pengawalnya menemani papa membersihkan pekarangan panti dan berkebun terus di watu lain beliau memboyong beberapa remaja putri termasuk aku ke rumah kalian atau tepatnya tinggal di pavilliun di belakang rumah kalian. Nah di situ mamimu mengajarkan kami menjahit, menyulam, memasak-"
"Ah, iya. Aku baru ingat, mbak. Mami pernah tinggal di panti asuhan pa van der Steur yang kemudian saat Mr. dan Mrs. Overraker berkunjung, mereka memohon dengan sangat mami boleh ikut mereka. Nah, ketika tinggal dengan keluarga Overraker di Palembang, mami banyak belajar tentang segala sesuatunya. Mami itu fisiknya memang Jawa asli tapi dalemnya sudah separuh Belanda bahkan lancar berbahasa Belanda, makanya papi senang. Saat itu papi adalah pengawal pribadi Mr. Overraker jadi ... cinta lokasi gitu, mereka menikah di sana lalu 2 tahun kemudian pindah ke Magelang. Mungkin hal itu yang kemudian menjadi ikatan kekerabatan antara keluarga kami dengan panti pa van der Steur," Geetruida lagi-lagi memotong cerita Laras dengan cerita kenangan lain yang melintas di benaknya.
"Pantas saja. Jadi bisa dibilang kita ini juga bagian dari keluarga besar pa van der Steur, ya?" Kata Ibrahim.
"Iya, dong. Eh Gee, dulu kami sering dibikinkan baju oleh mamimu. Bayangkan ada ratusan anak yang tinggal di situ dan kami masing-masing punya baju yang dijahit sendiri oleh mamimu," imbuh Laras.
"Aku pikir mami cuma bikin baju-baju pesta aja," Geetruida beropini.
"Nyatanya gak tuh, Gee. Jadi memang spesialisasinya nyonya Sekar bikin baju atau gaun pesta karena menyesuaikan selera konsumen dan upah yang lumayan besar. Nah terus, untuk remaja putri yang kursus dengan beliau, hasil jahitan kami saat masih belajar seperti sprei, sarung bantal, sarung guling, taplak, gorden, dan lain-lain. Bisa dibilang orangtuamu, dan pa van der Steur adalah sahabat yang saling melengkapi. Hati mereka itu lho, benar-benar ringan menolong sesama," Laras pun menambahkan penuturannya.
"Mami masih bisa bahasa Belanda?" Mangata menyenggol lengan Geetruida.
"Hm, een beetje artinya 'sedikit'," jawab Geetruida sambil membentuk ibu jari dan telunjuknya seperti menjepit sesuatu.
"Kalau ini apa artinya, mi? 'NIET MYN NAAM DOCH MYN WERK ZYGEDACHT'," Mangata mengeja semampunya sambil menunjuk tulisan dalam bentuk lingkaran putih di nisan pa van der Steur.
"Oh itu, hm ... andai saja opa dan oma-mu masih ada, tentu artinya akan lebih akurat. Baiklah mami coba ya, itu kurang lebih artinya 'bukan namaku tapi pekerjaanku yang akan terus dikenang'."
"Wuih ... mantap banget ya mi, artinya. Jadi beliau ingin terus dikenang atas karya-nya," gumam Mangata.
"Begitulah," jawab Geetruida seadanya.
'Apa yang sudah kuhasilkan selama ini, apa pekerjaan dan karyaku? Ya Tuhan, jika aku sudah berpulang aku hanya mau dikenang sebagai sosok yang bermanfaat saja, bukan seorang gundik', Geetruida membatin.
Deretan tulisan yang terpahat di nisan pa van der Steur yang maknanya sempat ditanyakan oleh Mangata barusan menjadi semacam 'tugas' bagi Geetruida. Hal itu yang membuatnya tanpa ragu menawarkan diri menjadi donatur bagi panti asuhan yang saat ini sedang membutuhkan banyak dana, hal ini sangat menginspirasi Mangata untuk mengambil peran seperti yang maminya lakukan.
"Em, hari sudah mulai siang. Bagaimana kalau om dan tante beristirahat di rumah sekalian makan siang bersamaku dan mami?" tawar Mangata.
Sejak mereka bertemu dengan Laras dan Ibrahim, Mangata baru tahu kalau ternyata maminya adalah sosok yang penuh semangat dan suka mensupport orang lain, selama ini yang ia tahu Geetruida adalah pribadi yang tertutup dan anti sosial tapi hari ini membuka mata Mangata, bahwa Geetruida adalah wanita supel bahkan senang bercanda meskipun dengan orang yang baru ditemui. 'Aku membuatmu senantiasa tersenyum, mi', janji Mangata dalam hati.
"Wah, tawaran menarik dari orang-orang baik seperti kalian tentu susah ditolak," sahut Laras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Senajudifa
thor nyicil segini dulu y kutukan cinta dan mr.playboy hadir
2022-07-06
1
El Nino
jangan ditolak Laras hehe
2022-06-25
2
Laila Majnun08
pa vander steur... ya, ya ... jd ingat sosok beliau
2022-06-05
5