Lagi-lagi Mangata mengunjungi Geetruida, belakangan pemuda tampan itu memang getol memperjuangkan restunya demi nasib percintaannya. Kali ini anak lelakinya itu sengaja menginap. Membersihkan tiap sudut rumah Geetruida yang mungil, memperbaiki atap, mengecat dinding, merapikan halaman keliling, menemaninya beraktivitas juga memasak untuknya. Anak manis itu melakukan hal yang tidak kalah manisnya untuk Geetruida, tapi ... mana bisa hati Geetruida tergoyahkan begitu saja?
"Kamu tetap tidak ingin melihat keponakan satu-satunya milikmu ini menikah, Mam? Senang aku dijuluki bujang lapuk, begitu?" pancing Mangata saat ia mengajak Geetruida bersantai di tepi danau pada suatu sore.
"Hah, dengar Mangata ... orang tua mana sih yang tidak mau anaknya yang sudah saatnya menikah, berkeluarga? Kamu sudah sering aku desak untuk segera punya pendamping, bukan? Tapi ... jangan Arunika, deh. Gadis lain aja, bisa kan?" jawab Geetruida acuh.
"Aduh mamiii, aku cinta mati sama Arunika. Emangnya cinta itu macam saklar lampu yang bisa di on-off gitu trus pindah ke saklar lain?"
"Bisa saja, kalau kamu mau!" sahut Geetruida sambil melempar kerikil ke danau itu. Mangata mengikuti Geetruida, ia turut melontarkan beberapa kerikil.
"Benar, tapi apa kamu tidak punya sedikit empati untukku, hm? Ini semata hanya karena aku masih ingin menghargaimu sebagai satu-satunya keluarga yang aku punya, lho. Sampai nanti aku lelah, aku pikir aku akan tetap menikahi Arunika dengan atau tanpa restumu," kalimat Mangata mengintimidasi.
Geetruida menyembunyikan kepalanya ke dalam tangan yang bertumpu di kedua lututnya, "Kalau kamu tahu sebabnya, kamu akan mengerti," ucap Geetruida lirih.
"Kamu selalu bilang begitu, kamu berharap aku mengerti tapi kamu sendiri enggan memberitahukan padaku alasanmu. Kamu pikir aku ini cenayang, apa?"
Hiks ... hiks .... Geetruida mulai terisak.
"Hei, Mi ... Sedemikian beratkah alasanmu, Mi?" suara Mangata melunak, ia membelai lembut punggung Geetruida. Mangata masih ingat saat Geetruida masih berstatus istri dari Amar, ayahnya beberapa tahun lalu. Bagaimana wanita yang masih sangat cantik di usia paruh baya ini dengan sabarnya mengurus ayahnya selama sakit hingga meninggal. Satu permintaan terakhir ayahnya adalah untuk menerima Geetruida, memanggilnya mami, membahagiakannya dan jangan sampai membiarkan wanita ini menangis.
"Hidup mamimu sangat berat, Nak. Setidaknya saat aku sudah tidak bisa lagi menjadi teman hidupnya, jangan pernah menyakitinya apalagi membuatnya menangis. Kasihan, takdir sudah demikian kejam untuknya," begitu kata-kata ayahnya yang terdengar sederhana tapi pada kenyataannya ... ah, bahkan sore ini Mangata telah mengingkari permintaan ayahnya.
"A-apa aku terlalu berlebihan?" tanya Mangata yang mungkin lebih tepat ia tanyakan pada dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat Geetruida mengangkat kepalanya dan mengusap airmatanya, "Sebenarnya tidak juga tapi ... untuk masalah ini, aku harus tegas menolak hubunganmu dengan gadis itu," sahut Geetruida.
"Kamu butuh ini?" Mangata mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambil pemantik. 1 batang ia tarik sedikit ujungnya lalu menyodorkan benda itu kepada Geetruida .
Geetruida menggeleng, "Tidak, aku tidak merokok selain di tempat pribadi, stigma masyarakat kita terhadap wanita yang merokok masih negatif, aku tidak mau orang menilaiku buruk," tolaknya halus.
Mangata tersenyum miring, "Mau di rumah ataupun di luar rumah, sama saja. Untuk apa menutupi sesuatu seperti itu demi penilaian orang lain terhadap kita?"
"Hm, baiklah untuk kali ini," Geetruida menarik penuh 1 batang yang menyembul itu dan Mangata menyalakan pemantiknya lalu Mangata juga mengambil sebatang dan menyalakan rokok untuknya sendiri.
"Kamu? Sejak kapan jadi perokok juga?" Geetruida keheranan.
"Aku tahu, benda ini adalah sahabat sejatimu bertahun-tahun. Bersama asap yang mengepul jeritan batinmu menguap, seperti itu sampai kamu seolah tidak membutuhkan seseorang untukmu berbagi."
Geetruida tersenyum, "Tapi kamu seorang dokter, Mangata."
"Benar, memangnya ada aturan dokter tidak boleh merokok juga? Tidak kan, untuk kali ini aku bersedia menanggung akibat dari yang kuperbuat, sama sepertimu."
"Maksudmu?"
Mangata mulai mengisap lalu mengembuskan asap dari mulutnya seperti yang dilakukan Geetruida.
"Huuuh, apakah aku tidak boleh melakukan hal yang sama denganmu? Aku juga sedang dalam keadaan yang ... aku berharap seseorang mengerti isi hatiku tapi aku enggan berbagi dengannya, entah karena malu, sungkan atau ... marah, barangkali? Aku cuma berusaha mencoba menyelami bagaimana setiap pergumulan yang seolah 'selesai' bersama tiap puntung yang menyisakan abu ini. Uhuk ... uhuk ...." Mangata terbatuk karena tidak biasa dan memang baru kali ini mengisap benda terkutuk itu. 'Hah, gak tahu dibagian mananya bisa bikin candu,' rutuknya dalam hati.
"Sudah, jangan memulai sesuatu yang tidak seharusnya," Geetruida merebut batang putih yang baru terbakar sekitar 10% itu dari jemari Mangata dan segera mengisap benda itu.
"Hei ... itu bekas mulutku," protes Mangata.
"So, apa masalahnya? Aku bilang berhenti melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat sebelum kamu kecanduan sepertiku," tegas Geetruida.
"Pech gehad (sial)!" umpat Mangata.
"Maafkan aku, Mangata semua demi kebaikanmu," ujar Geetruida lembut.
"Baik, kembali ke topik Arunika, apakah -"
"Meskipun kamu sudah bilang kamu tetap akan menikahinya dengan atau tanpa restuku, hendaklah hatimu terbeban atas keberatanku, Mangata." Potong Geetruida.
"Kenapa dulu? Ba-bagaimana kalau aku bilang, kalau ... Arunika sedang mengandung benihku?" cakap Mangata pelan.
"Haha, jangan mengada-ada. Aku tahu kamu tidak sebodoh itu. Ingat, berhenti sebelum kamu memulai sesuatu yang tidak berguna untukmu dan jangan di luar batas, Mangata!"
"Yah, alasan itu tidak mempan ternyata."
"Aku tahu itu cuma akal-akalanmu saja."
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Entah, susah aku jelaskan kenapa aku bisa tahu kalau kamu sedang berusaha mengelabuiku, Haha. Jujur saja, Arunika memang gadis yang baik dan tepat untukmu, sayangnya ... dia anak gadis Sagara."
"Dari kemaren-kemaren aku juga nanya, kenapa emangnya kalau dia anak pak Sagara, kamu selalu saja berkelit. Kali ini biar semua cepat beres, tolong jelaskan. Jika memang alasanmu masuk akal maka aku dengan segala kerendahanhatiku akan menerima. Aku janji," Mangata mengacungkan jari kelingkingnya pada Geetruida.
"Pertemukan aku dengan ayah gadismu, agar aku bisa memastikan sesuatu, semoga saja firasatku salah," Geetruida enggan menautkan kelingkingnya dengan Mangata.
"Hm ... tap
firasatmu yang tadi benar. Gini deh, ini antara kita saja, beri satuuuu saja alasan dari firasatmu itu, setidaknya agar aku seperti yang kamu bilang tadi 'terbeban' untuk memikirkan keberatanmu."
"Apa kamu siap?" tanya Geetruida.
"Siap-lah!"
"Aduh kok aku yang deg-degan ya?" celetuk Geetruida ragu.
"Ck. Jangan alasan mengulur waktu atau kamu mau kita tidur di tepi danau saja malam ini?" tanggap Mangata.
"Sepertinya tidak buruk, boleh juga sesekali merasakan jadi gelandangan, hihi" Geetruida tertawa senang.
"Aku serius, Mi. Aku bahkan sengaja izin tidak masuk kerja demi bisa bersamamu dan berbicara denganmu seperti ini."
"Berapa lama kamu izin?"
"Selama kamu menutup rahasiamu itu."
"Hah, dasar anak keras kepala!"
"Hei, jangan salah ... anda yang memulai!" balas Mangata kesal.
"Kalau aku tidak kunjung mengatakannya padamu?"
"Ya sudah, besok pagi aku langsung menikahi Arunika."
"Jangan!"
"Jangan? Memangnya kamu siapa, apa hakmu melarang aku menikahi gadis pujaanku?"
"Ka-kamu yakin, ayah gadis itu merestui hubungan kalian?"
"Ck, sudah berulang kali aku bilang, mereka tidak masalah, hanya kamu yang mempersulit!"
"Aku ... mempersulit?" tanya Geetruida setengah berbisik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
🥀⃞B⃟c Qҽízα ₳Ɽ..k⃟K⃠✰͜͡W⃠
ish Geetruida kenapa g jujur aja sih, biar jelas gitu.. kan kasihani mangata.
2022-10-01
2
🌈 єνιʝυℓιє ♓ℹ️🅰🌴
masih ada rahasia lg kh 🤗
2022-10-01
0
🦋⃟ℛ🍾⃝ᴅͩʀᷞɪͧᴇᷠᴀͣʀ♕ᴬ∙ᴴ࿐
pasti ada alasan nya mangata, kenapa mami mu itu seperti itu, nurut laah sama mami mu
2022-10-01
0