Hari yang dijanjikan pun tiba, Yusuf beserta kedua orangtuanya bertandang ke rumah Adolf Vooren.
Pantas Clay bilang papinya pasti kenal dengan orang tua Yusuf, sebab Haidar Maulana adalah orang kepercayaan Adolf yang mengurus kebun kopinya di Ungaran.
Hal itulah yang membuat Haidar merasa 'kecil' dan ragu menanyakan Clay bagi Yusuf. Meski tahu Mr. Vooren adalah sosok tang arif, tetap saja ada rasa ragu. Pikir Haidar, daripada nanti dipermalukan dan harga diri mereka diinjak-injak, maka lebih baik ia meminta putranya menimbang hal itu berkali-kali sebelum memutuskan menemui Mr. Vooren, tapi Yusuf keukeuh dengan pilihannya.
Saat memasuki gerbang rumah Mr. Vooren yang megah itu, nyali Haidar semakin ciut. Sungguh, beliau sedang berusaha menguatkan hati menerima apapun yang akan dikatakan Mr. Vooren nantinya. Ah, jika saja ia bisa membelokkan hati putranya, maka Haidar ingin agar Yusuf tidak jatuh cinta sama Clay.
"Yusuf, kalau kamu ragu, kita balik aja sekarang," ujar Haidar setengah berbisik.
"Aku, atau ayah yang ragu? Ayah keder ketemu sama tuan Adolf Vooren?" Yusuf menjawab dengan balik bertanya.
"Ehm ... ayah hanya tidak siap, Nak."
"Bagaimana kita coba saja, ini sudah tinggal selangkah kita menemui beliau. Aku janji, seandainya tuan Adolf Vooren menolak, maka aku tidak akan memaksa."
"Baiklah kalau begitu," sahut Haidar pasrah.
***
"Hm, berani juga kalian kemari, ya," sambut Adolf terdengar kurang ramah saat Haidar dan rombongan kecilnya duduk diruang tamu.
"E-eh, maaf ... maafkan kami, mister," sahut Haidar.
"Aku hanya memastikan, apakah Yusuf benar anakmu apa bukan," kata Adolf lagi.
"Be-benar tuan,"
"Hah, meskipun anakmu, sifat dan sikap kalian berbeda sekali, Haidar. Dengar, apa kamu tahu kenapa aku memintamu menemuiku?"
"Maafkan kelancangan kami, mister. Kami tahu anak kami tidak layak untuk mendapatkan putri mister," sahut Haidar.
"Hah. Maksudmu tidak layak, apa?" tanya Adolf dengan nada suara yang masih tidak bersahabat.
"Ma-maafkan kami mister, jika tidak berkenan dengan kedatangan kami, maka kami pamit undur diri," Haidar yang hendak berdiri segera ditahan oleh Adolf.
"Tunggu. Ish, kamu ini, benar-benar ... Haidar, begitukah caramu menanggapi undanganku, hah?"
Haidar terkesiap, begitu juga dengan Yusuf.
"Hanya maaf dan maaf saja yang kudengar dari tadi, kamu lupa kenapa bisa berada disini?"
"Tuan, sesuai yang saya katakan tempo hari ... saya berniat untuk menjalin hubungan serius dengan Clay," sela Yusuf dengan percaya diri.
"Nah begitu, Haidar. Belajarlah dengan anakmu yang berani ini. Jadi, apa perkataanmu bisa dipertanggungjawabkan, anak muda?"
"Eh, sa-saya ... apa tuan meragukan kesungguhan saya?"
"Apa yang kamu punya sehingga memiliki niat memilikinya?"
Haidar menatap Yusuf seolah bilang 'tuh, kan ... aku bilang juga apa?'.
"Saya akan berusaha membahagiakannya dengan segenap hati dan hidup saya, tuan."
"Baguslah. Kalau saja kamu bilang karena kamu punya berhektar-hektar kebun, atau rumah gedong atau otto mahal, percuma ... tanpa kamu pun aku masih bisa memberikan," jawab Adolf sementara Haidar masih bingung menebak isi hati Adolf.
"Jadi bagaimana, mister?" tanya Haidar ragu.
"Ya sesuai apa tujuanmu kemari, Haidar?"
"Yusuf memaksaku untuk ... melamar putri mister menjadi istrinya," sahut Haidar dengan suara pelan.
"Jadi, kalau Yusuf tidak memaksa kamu tidak akan mau kemari, begitu?" pancing Adolf lagi.
"Aaa, kami tahu kami tidak sepadan, mister."
"Apanya yang tidak sepadan? Kita sama-sama manusia ciptaan Tuhan. Ah sudahlah, pusing aku mendengar celotehan bapakmu ini, Yusuf ..."
"Iya, tuan?"
"Coba katakan sekali lagi agar kami terutama ayahmu ini mendengar apa yang kamu bilang tempo hari," pinta Adolf, kali ini terdengar lebih ramah.
"Saya menyukai nona Clay sebagai perawat di rumah sakit tempat saya bekerja, sebelumnya saya tidak tahu kalau nona Clay adalah putri dari tuan Adolf. Saya jatuh hati dan berniat menjalin hubungan yang serius dengan nona Clay," jawab Yusuf lancar.
"Ya ... ya, saya merestui niat baikmu itu, Yusuf. Sekarang katakan, kapan kamu akan merealisasikan niatmu itu?"
"Secep-"
"Ah, begini mister ... tidak lama lagi Yusuf akan ditugaskan keluar pulau, maka ... jika memang mister merestui hubungan putra dan putri kita, ada baiknya kita mengikat mereka dalam pertunangan," Haidar memotong kalimat anaknya, sebab sekarang ia merasa bebannya terangkat dan mulai lancar berbicara.
"Kenapa pakai acara tunangan segala? Yusuf itu akan pergi dan bekerja di tempat yang jauh dengan Clay, mana tahu di sana ia kepincut gadis lain?"
Deghh.
Haidar terhenyak karena sesuai dugaannya, Adolf tentu menolak lamarannya. Bisa saja tugas Yusuf jadi akal-akalan saja, mungkin Adolf punya alasan lain untuk menolak niat baik mereka, begitu sangkaan Haidar dalam hati.
"Ja-jadi ... bagaimana, Tuan?" Haidar mencoba memberanikan diri bertanya, untuk memastikan solusi yang akan mereka sepakati kemudian.
"Tidak perlu janji-janji, pertunangan atau apalah itu namanya. Lebih baik kita langsung tentukan tanggal pernikahan mereka saja," sahut Adolf spontan.
"A-apa?" Haidar tergagap senang. "Ta-tapi, 2 minggu lagi Yusuf akan berangkat menuju Borneo Selatan...."
"Justru itu, pak Haidar. Anak-anak kita saling mencintai dan sudah sama-sama dewasa, apalagi yang kita tunggu? Ya sudah, pernikahan itu bisa dilangsungkan sebelum Yusuf berangkat, berarti paling lambat minggu depan mereka sudah harus menikah," jawab Adolf tenang seketika membuat orang-orang yang berada di ruangan itu lega.
"Ehm ... kalau begitu, masih ada 1 kendala lagi, tuan," sergah Yusuf.
"Apa? Kamu masih belum mempersiapkan mas kawin untuk menikahi anakku?" tebak Adolf.
"Bukan. Itu, aku seorang muslim, kita berbeda keyakinan, tuan."
"Clay, kemari nak. ..." Adolf memanggil putrinya.
"Iya, pi?" dengan tergopoh-gopoh Clay bergabung ke ruang tamu.
"Sayang, kan papi sudah merestui hubungan kalian. Ayahnya Yusuf ingin kalian bertunangan sebelum Yusuf bertolak ke kalimantan, tapi papi gak setuju."
"Pa-papi gak setuju Yusuf ke Borneo?"
"Bukan, papi gak setuju kalian tunangan."
"Lho, tadi papi bilang merestui hubungan kami, kok gak setuju kami tunangan?" protes Clay.
"Ck, dengar dulu. Jangan suka mengambil kesimpulan sendiri. Dengar sayang, papi mau kalian segera menikah."
"Apa?" Clay terkejut campur senang.
"Cuma ada 1 kendala nih, kita berbeda keyakinan dengan keluarga Yusuf. Bagi papi ini sangat prinsipil, sih ... tapi terserah kamu, jika kamu memilih ikut keyakinan Yusuf, papi akan mendukung," lembut sekali Adolf berbicara seraya mengelus rambut putri sulungnya itu.
"Ehm ..." Clay menatap Yusuf yang juga sedang menatapnya.
"Jika memang papi tidak keberatan, aku mau mengikuti keyakinan Yusuf, pi."
"Hmm. Ok, baiklah. Yusuf, tolong kamu carikan guru yang bisa membimbing Clay agar mengenal agamamu, ya."
"Baik, tuan."
"Hei, aku ini calon mertuamu. Tidak boleh menyebutku dengan 'tuan', panggil papi, ok?"
"Si-siap tu- eh, papi."
Meskipun sedih, anak gadisnya memilih berpindah keyakinan, menikah lalu nanti ikut suaminya merantau, Adolf bahagia melihat senyum cerah di wajah anak dan calon menantunya.
Adolf ingat kata-kata atasannya di Palembang, Mr. Overraker dulu, bahwa niat baik jangan ditunda sampai merasa siap, sebab kesiapan itu akan sempurna bersama kebulatan tekad. Maka tanpa proses yang rumit, Adolf dan Sekar segera menjadi sepasang pengantin. Perkataan Mr. Overraker itu pula yang menginspirasi Adolf untuk menyegerakan niat baik bagi Clay dan Yusuf.
Yang kemudian paling sibuk atas ide dari kepala keluarga Vooren tentulah nyonya Adolf Vooren. Meskipun ia sangat terbantu atas terbentuknya panitia pernikahan untuk mengurus prosesi pernikahan dan mengatur konsumsi, nyonya Adolf Vooren terpaksa menolak beberapa orderan gaun dan kebaya selama beberapa waktu, bahkan menunda membuat beberapa pesanan yang sudah dibikin sketsanya, karena beliau harus ngebut membuatkan gaun yang indah untuk Clay, kebaya cantik untuknya sendiri, baju baru untuk Aya dan Gerry juga tentunya jas bagi suami tercintanya.
"Ini sudah malam, apa yang bisa kubantu agar pekerjaanmu cepat selesai, Sayang?" Tanya Adolf saat melihat istrinya masih berada diruang jahit.
Sekar mendengus pelan. "Berhenti merengek dan menempel denganku seperti ini, Pi," tegas Sekar serasa menyandarkan kepalanya di bahu suami yang tengah merengkuhnya dari belakang, hal itu sontak membuat suaminya gemas.
"Hehe .... Astaga, maaf tapi aku sungguh berniat menolongmu."
"Pi, tolong jaga jarak atau nanti Clay akan mengenakan gaun yang tidak selesai dijahit," ancam Sekar.
Adolf terkekeh senang.
"Emang kenapa, hm?"
Cup.
Ia memberikan kecupan mesra di kening Sekar sebelum berlalu memberi waktu bagi istrinya melanjutkan pekerjaan.
"Baiklah. Aku mau ke kamar anak-anak dulu. Clay ... ah, gak kerasa, sebentar lagi dia akan jadi milik orang lain ya, Mi," ucap Adolf sambil menuju pintu ruang jahit Sekar.
"Pi, kok kayak gak rela Clay menikah? Sampai kapan pun, meski nanti Clay telah memberi kita cucu, dia tetap anak gadis kita, tidak ada istilah dia diambil terus kemudian menjadi milik orang lain, tidak ada yang bisa mengambilnya dari kita," ujar Sekar.
Adolf berbalik kembali menuju istrinya, "Hm ... sayang, kalau begitu ...."
"Apa, pi?" Sekar melepaskan tangannya yang semula menahan kain di mesin jahit saat Adolf dengan cepat memeluknya lagi.
"Sayang, rumah kita tentu akan sepi jika Clay ikut suaminya nanti ... kamu, apakah kamu bersedia melahirkan 1 malaikat kecil lagi untuk menyemarakkan rumah kita, Sayang?"
Sekar memejamkan matanya, menikmati pelukan suaminya untuk beberapa saat, "Hm ... aku akan membereskan sedikit pekerjaanku, kamu temui anak-anak seperti biasa dan lekaslah ke peraduan kita, kita coba wujudkan menghadirkan 1 malaikat kecil sesuai keinginanmu," ujar Sekar.
"Benar ya, Mi?" Mata Adolf berbinar ceria.
"Tentu saja, sayang. Semoga saja Allah berbaik hati mengabulkan keinginan kita," sahut Sekar manja.
Cup.
Satu kecupan sekali lagi Adolf bubuhkan di dahi Sekar sebelum melesat ke kamar anak-anak mereka.
***
"Huft ... mendeskripsikan hubungan hangat dan manis antar suami istri selalu jadi bagian tersulit bagiku," gumam Geetruida.
Bagaimana tidak sulit? Ia belum pernah mengalami hal yang semanis itu, hanya bisa membayangkan saja. Memang dulu ia sering melakukannya itu demi pundi rupiah, bukan karena cinta dan kebutuhan pribadinya. Pria-pria yang menggunakan jasanya hanya menjadikannya sebagai media penyalur hasrat, tidak ada yang dengan damba memintanya melahirkan anak-anak manis seperti Adolf. Pernikahannya dengan Amar Maulana, hanya karena paksaan kakaknya, Helena. Katanya demi status Geetruida, yang kemudian setelah Helena meninggal status itu berfungsi agar ia dan lelaki yang merupakan kakak iparnya itu tidak menjadi bahan pergunjingan.
Kenyataannya, hubungan Geetruida dengan Amar tidak lebih dari relasi sepasang sahabat yang tinggal satu atap. Meski pernikahan mereka syah, namun seolah ada pembatas sehingga hubungan Geetruida dan Amar layaknya kakak ipar - dan adik ipar yang saling menghargai privasi masing-masing. Hal itu yang tidak diketahui oleh Mangata.
Geetruida menghela nafas pelan, melepas kacamata bacanya dan memijat pelan tekuknya. Kopi, ia butuh cairan hitam pekat pahit manis itu untuk membantunya melancarkan aksi Sekar dan Adolf selanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
🥀⃞B⃟c Qҽízα ₳Ɽ..k⃟K⃠✰͜͡W⃠
pak Haidar g gentle kaya yusuf... tidak semua orang yg punya kedudukan atopun martabat tinggi bersikap acuh cuek.. buktinya tuan Adolf..
2022-10-01
2
🌈 єνιʝυℓιє ♓ℹ️🅰🌴
wah D segerakan 🤗
2022-10-01
0
OFF🍭ͪ ͩჁօsղαⁿᶦᵏᵒ🏀👻ᴸᴷ
wee keren habis
2022-10-01
0