"Apa? Kamu, eh mami adalah .... Ah, tidak ... ini tidak mungkin, mami bohong, kan? Sengaja mencari-cari alasan agar aku tidak menikah dengan Arunika?" Sentak Mangata emosi setelah mendengar penuturan Geetruida.
"Untuk apa aku berbohong, Mangata? Sungguh aku harus mengatakan ini demi kamu dan masa depan kalian juga. Aku yang bodoh jika membiarkan saja semuanya sementara aku tahu kebenarannya," sangkal Geetruida.
"Jadi, seandainya gadis itu bukan Arunika putri dari pak Sagara, apakah kamu em, maaf. Apakah mami berencana tidak mengatakannya semua itu padaku?"
"Bisa jadi," jawab Geetruida pelan. "Ah, tapu rasanya tidak adil juga kalau demikian ya, seorang anak berhak tahu asal-usulnya, bukan?"
Saat senja mulai turun dan suasana hatinya agak tenang, Mangata mengajak Geetruida pulang.
"Mi, aku perlu waktu untuk mencerna semua yang mami katakan tadi. Aku tidak akan menyerah sebelum mendapatkan bukti yang kuanggap akurat dan jika nanti aku mempertemukan mami dengan pak Sa-Sagara ... aku hanya bisa berharap, bukan Sagara yang itu yang mami maksud," ujar Mangata pelan.
"Ehm, semoga aku keliru dan ... semoga saja harapanmu itu benar, maka aku tidak ada alasan untuk menghalangi niatmu menikahinya."
Setelah mendengar tutur demi tutur dari mulut Geetruida, Mangata jadi menghilangkan kata 'kamu' dan menggantikan dengan 'mami' pada wanita mengaku adalah ibu kandungnya. 'Ya Tuhan, ampuni atas sikapku yang seenaknya juga kekurangajaranku terhadap mami selama ini, jika memang benar begitu ... jadi aku bukanlah anak yatim piatu,' ujar Mangata dalam hati.
"Kita makan malam di Bakmi Pak Min yang dekat pasar Rejowinangun itu mau, ya mi? tawar Mangata sebelum meng-engkol motor bebek milik ibunya.
"Hm, boleh. Kebetulan aku lagi pengen makan capcay," sahut Geetruida sambil duduk diboncengan.
***
"Maaf, apakah kamu Gee, Geetruida Mutiara Peters?" Sapa seorang wanita yang beberapa kali melihat kearah Mangata dan Geetruida, sejak mereka tiba di rumah makan Bakmi Pak Min.
"Ehm, iya benar. Maaf anda ...?" Geetruida menggantungkan ucapannya, sambil berusaha mengingat siapa wanita yang memanggil dengan nama kecilnya itu.
"Hai Gee, lihatlah ... sudah berpuluh tahun tidak bertemu wajar saja kalau kamu lupa tapi aku selalu ingat sama kamu. Ibrahim, ternyata benar wanita cantik ini adalah noni Belanda anak tuan Condrad Adolf Peters dan nyonya Sekar Peters." Ujar wanita itu lagi.
"Hei, selain mengingat namaku kamu juga hapal nama papiku, mari kita berkenalan sekali lagi, boleh?" sambut Geetruida dengan senyum yang manis.
"Tentu. Wah, siapa sih yang tidak terkesan sama keluarga kalian pada masa itu? Oh iya, aku Laras dan ini suamiku Ibrahim," jawab wanita itu.
"La-Laras? Sebentar sepertinya aku ingat sesuatu," Geetruida tampak berpikir.
"Oranje Nassau, Panti asuhan Pa Van Der Steur, gadis perempuan yang belajar menjahit dengan nyonya Sekar," Laras memberi clue.
"Ooh iya, iya ... aku ingat sekarang. Maaf ya, mbak Laras. Benar, keping memoriku baru menyadari mbak adalah gadis itu, setelah mbak bilang Pa Van Der Steur. Ya, dulu papi sering mengajak kami berkunjung ke panti asuhan itu," Geetruida antusias.
"Tepat sekali, dulu kita memang jarang ngobrol karena aku seusia dan berteman cukup dekat dengan kakakmu, Helena. Ah, selalu kuingat nyonya Sekar yang telaten, sabar dan piawai mengajarku menjahit. Kamu tahu, Gee?Sekarang malah aku hidup dari hasil menjahit juga," kata Laras yang dibalas senyuman Geetruida.
"Begitu? Wah, tentu karena mbak sangat berbakat dibidang itu, bukan?"
Ingatan Geetruida sejenak melayang ke masa itu, papinya bersahabat baik dengan pendiri panti yaitu papa Johanes van der Steur dan menjadi donatur tetap di panti asuhan itu, tidak hanya dalam bentuk dana tapi di saat tertentu ayahnya langsung turun tangan mengajar baca tulis bagi anak-anak yang sebagian besar adalah anak terlantar korban perang, korban kawin campur Eropa dan Jawa atau anak kurang beruntung lainnya yang sengaja dititipkan orangtuanya. Nyonya Sekar yang disebut-sebut oleh mbak Laras tadi tidak lain adalah maminya Geetruida, yang juga tidak mau ketinggalan mengimbangi perbuatan baik suami, secara cuma-cuma menularkan ilmu menjahit, melatih dan menampung beberapa anak untuk magang di rumah jahit miliknya.
"Hei, mami baik-baik saja?" Mangata menyentuh lembut lengan Geetruida.
"Ah, iya. A-aku baik-baik saja, hanya sedikit em- bernostalgia saat teman mami ini, tante Laras ... em, oh iya, mbak Laras memang tinggal di Magelang atau ...?
"Tidak, kami hanyar berkunjung. Kami tinggal di Bandung dan baru saja tiba di Magelang tadi sore, kami sengaja ke sini karena mau nyekar ke makam Papa dan Moe can der Steur. Ngomong-ngomong, siapa pria ganteng yang bersamamu ini, Gee?"
"Oh, maaf lupa. Ini putraku Mangata," Mangata menjabat tangan Laras dan suaminya sambil tersenyum.
"Papanya mana?" tanya Laras.
"Ehm ... tidak ikut," sahut Geetruida tenang dengan menyunggingkan senyum.
"Oh jadi ceritanya lagi kencan sama anak sendiri gitu, ya. Eh, Helena apa kabar? Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Terakhir waktu aku mengantar Ibrahim berobat di RS Cikini, kebetulan dokter yang menangani adalah suami Helena. Dimana mereka sekarang, anaknya ada berapa?"
"Oh iya, itu mas Amar. Helena dan Amar sudah meninggal, mbak, sekitar 3 tahun yang lalu. Kebetulan mereka tidak mempunyai anak kandung jadi putraku ini mereka anggap seperti anak mereka sendiri," jelas Geetruida yang membuat hati Mangata tersentuh.
"Oh, begitu. Kamu, memang tinggal di sini, ya?"
"Iya, kalau Mangata tinggal di Semarang dia dokter di rumah sakit Kariadi," terang Geetruida.
"Oh, jadi cah bagus ini pak dokter juga kaya om-nya juga ya?"
"Hei, bukan 'cah' lagi ini, mbak nyaris bujang lapuk malah, haha ..." canda Geetruida.
"Gak apa-apa, anaknya sudah jadi pak dokter ngganteng tapi maminya masih kencang gini, kecantikanmu awet banget Gee," puji Laras lagi.
"Ah, mbak bisa aja." Percakapan itu terputus saat pesanan mereka masing-masing terhidang dan mereka memilih menikmati makanan dalam kondisi hening.
"Mbak, jadi besok rencananya mau ke makam papa Johanes, ya?" tanya Geetruida usai mereka bersantap, sementara Mangata melangkah ke kasir untuk membayar semua termasuk ke dua orang kenalan yang baru mereka temui tadi.
"Iya."
"Boleh aku ikut?" tanya Geetruida.
"Oh, tentu, tentu saja," sahut Laras.
"Aku juga mau ikut, Mi. Nanti biar kita bareng aja ke sana sama om dan tante ini," kata Mangata yang kembali bergabung di meja itu.
"Ok. Jadi mbak, besok pagi jam 7-an tunggu kami jemput kalian di hotel ya," putus Geetruida.
"Jemput pake apa, Gee? Soalnya kami berencana sewa ojek ke situ."
"Ehm, jangan tante. Kebetulan saya bawa mobil dari Semarang, jadi biar besok kita bareng aja. Soalnya saya juga mau ke situ selama ini cuma dengar cerita." Sambut Manggala.
"Oh begitu, baiklah. Duh, pak dokter ini lho, udah cakep baik lagi. Memang ciri khas keluarga Peters nih ya, kebaikannya awet banget," puji Laras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
delete account
nah gimana tuh ingatan siapa yang ingatan?
2022-10-01
2
delete account
aksi ditawari itu
2022-10-01
2
delete account
kenapa dia berbohong kepada nya kasihan
2022-10-01
2