Mangata menaruh kembali bacaannya dan sejenak meregangkan otot. 'Jadi mami 4 saudara, berdasarkan kisah itu selain umi Helena berarti masih ada om Gerrard dan Aldert? Di mana ya mereka sekarang? Apakah itu nama mereka yang sebenarnya atau ikut disamarkan seperti nama tokoh lainnya?' Batinnya.
"Maaf mas, makan siang sudah saya siapkan. Saya pulang dulu, ya?" ujar mbok Nah, mengejutkan Mangata yang setengah melamun. Mbok Nah memang hanya bekerja setengah hari dan langsung pulang begitu pekerjaannya selesai, itupun hanya 3 - 4 kali dalam seminggu.
"Eh, iya mbok. Tunggu sebentar," Mangata masuk ke kamarnya dan mengambil sesuatu.
"Ini ada titipan dari mami," ujar Mangata sambil memberikan bungkusan juga gaji yang sudah ia siapkan untuk mbok Nah.
"Wah, terima kasih ya, Mas."
"Sama-sama, mbok. Besok jangan lupa ajak bapaknya kontrol ke rumah sakit, ya." Pesan Manggala. Perkenalan Mangata dengan mbok Nah berawal karena Pak Sugiran, suami mbok Nah adalah pasiennya.
Waktu itu Mangata menemukan mbok Nah yang menangis di lorong rumah sakit karena tidak ada biaya untuk menebus obat dan biaya rawat inap suaminya. Mangata trenyuh, dan menawarkan bantuan dari kocek pribadinya dan sebagai imbalannya mbok Nah menawarkan diri menjadi pembantu di rumahnya. Tentu saja Mangata bersedia dengan syarat mbok Nah tidak boleh mengungkit masalah penggantian biaya perawatan pak Sugiran tempo hari.
Sepulang mbok Nah, Mangata pun menikmati makan siang.
"Hm, Arunika apa kabar ya?" tanya Mangata pada dirinya sendiri. Sempat terbersit keinginan untuk menemui gadis pujaannya itu tapi ia tahan. Ia harus membaca novel maminya sampai selesai dulu sebelum menemui gadis itu, barangkali ada rahasia lain yang belum terungkap, agar nanti ia tidak salah mengambil keputusan.
Lanjut, Mangata mulai membaca Bab 10.
Aya, si gadis belia itu berlari tergopoh-gopoh menghampiri pintu demi pintu mencari ibunya. Hingga pada rumah keempat yang ia ketuk, seorang nyonya mengatakan ibunya ada disitu sedang bekerja.
"Maaf nyonya, apakah saya boleh berbicara dengan mami saya sebentar?" tanya Aya sopan.
"Kalau tujuanmu untuk mengatakan sesuatu kemudian memintanya pulang, aku tidak izinkan. Pekerjaan ibumu masih banyak," jawab nyonya bernama Monic itu angkuh.
"Maaf nyonya, memang tujuan saya ke sini untuk memintanya segera pulang ... tapi saya akan menyelesaikan pekerjaan mami saya, nyonya jangan khawatir," ujar Aya penuh harap.
Nyonya Monic pun beralih menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. "Kamu masih muda sekali, kamu yakin bisa bekerja?"
Aya mengangguk tegas. "Bisa, Nyonya."
"Baiklah. Silakan temui ibumu dan selesaikan tugasnya yang belum selesai, jangan lupa temui aku setelahnya, sebab aku punya pekerjaan lain yang lebih menarik untukmu," sahut nyonya Monic dengan tatapan yang entah apa artinya.
Pekerjaan? Aya bingung, pekerjaan menarik apa yang bisa ia dapatkan nanti, bukankah nyonya Monic tadi seperti meragukan kemampuannya menggantikan tugas mami? Tanpa membuang waktu, Aya gegas berlari menemui ibunya.
"Mami, mamiiii ..." panggilnya.
"Ssssttt, Aya? Kenapa kamu menyusul mami? Apa Alderts cerewet?" sahut Sekar.
"Tidak, bukan Alderts, mi ... papi -"
"Ada apa dengan papimu?" Potong Sekar hawatir.
"Pa-papi pulang dari kebun, diantar temannya ... pa-pi batuk-batuk, muntah darah, lemes trus memintaku untuk lekas memanggil mami pulang," jelas Aya terbata tidak kalah khawatir.
Adolf Vooren pernah memohon pada pimpinan kamp agar boleh mengolah kawasan tidak terawat di belakang bangunan itu. Walaupun berjalan sedikit pincang, beliau berhasil mendapat kepercayaan mengelola sebidang tanah untuk ditanami sayur-sayuran, sebagian hasilnya dinikmati oleh sesama penghuni kamp, sebagian lain dijual oleh mami untuk beberapa majikan tempatnya bekerja.
"Aduh, bagaimana ini, Aya?" Nyonya Monic tentu tidak memberi izin mami pulang jika pekerjaan belum se-"
"Mami jangan panik. Cepat pulang saja, nanti Aya yang menyelesaikan. Aya bingung tidak tahu harus mengurus papi seperti apa," tukas Aya.
Sekar menatap anak gadisnya dengan perasaan haru, "Kamu yakin, Nak?"
Aya mengangguk kuat-kuat agar ibunya percaya. "Aya kan biasa mengerjakan pekerjaan rumah, jadi cepatlah, Mi. Papi sangat membutuhkanmu."
"Baiklah. Tolong bekerja dengan baik dan hati-hati ya, Nak. Usahakan jangan sampai menimbulkan masalah," pesan Sekar sambil memeluk putrinya.
Sekarpun bergegas meninggalkan rumah nyonya Monic usai berpamitan. Khawatirnya menjadi double, antara bagaimana keadaan suaminya dan anak gadisnya yang harus menggantikan tugasnya.
***
Selepas menyetrika pakaian, nyonya Monic meminta Aya menyapu rumah terus mengepel lantai. Nyonya cukup baik dan tidak banyak mengatur apalagi mengomel hanya saja ia terus mengamati Aya selama bekerja.
Aya bergidik ngeri saat ada lelaki bermata sipit yang baru masuk rumah dan langsung mencuri pandang padanya. Aya tidak tahu niat lelaki itu, tapi perasaannya jadi tidak enak saat ada kesempatan sekilas bersitatap, orang itu malah mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum. Bukan senyum sih, tapi tepatnya seringaian.
"Hai sayaaaang, udah pulang, ya." Nyonya Monic menyambut lelaki itu.
'Oh, jadi pria itu mungkin adalah suami nyonya Monic,' batin Aya saat melihat nyonya Monic memeluk dan menciumnya dengan mesra.
"Siapa gadis itu, sayang?" tanya pria yang kemudian diketahui bernama tuan Isao.
"Anaknya Sekar, yang bantu-bantu di sini," jawab nyonya Monic.
"Wanita Jawa itu? Wah, anaknya cantik sekali. Aku pikir anak gadis dari 'ianjo' kamu bawa kemari," tanggap tuan Isao.
"Bapaknya Belanda. Hei, aku pikir idemu bagus, kalau dia aku bawa ke ianjo bisa jadi primadona, sayangnya masih terlalu muda. Aku perlu waktu melatihnya dengan keras."
"Tentu saja, sayang."
'Ianjo? Apa maksudnya?' pikir Aya diam-diam.
"Hei anaknya Sekar, siapa namamu?" tanya nyonya Monic pada Aya.
"A-Arrabelle, nyonya."
"Hm, kerjaanmu cukup baik. Lusa pagi datang lagi kemari, ya." Kata nyonya Monic sambil memberikan bekal dan amplop. "Ini, bawa pulang sana."
"Baik nyonya, terima kasih banyak." Aya pun mengambil pemberian nyonya Monic dan bergegas pulang.
"Lho, anak cantik kok cepat-cepat pulang?" goda tuan Isao.
"Ck, dasar genit. Aku sudah memintanya lusa pagi datang lagi kemari," sahut nyonya Monic sambil mendelik pada tuan Isao.
***
"Mami, papi ... Aya pulaaang," ujar Aya saat masuk ke kamar untuk keluarganya.
"Syukurlah. Kamu bawa apa, Nak?" sambut Sekar.
"Ini, titipan nyonya Monic," Aya menyerahkan bungkusan beserta amplop itu pada ibunya.
"Tumben, tidak biasanya nyonya Monic memberi sesuatu. Upah mami bekerja pun biasanya diberikan setiap akhir bulan," celetuk Sekar bernada heran.
"Kalau diberi sesuatu sama orang tuh, mbok ya diterima aja tanpa prasangka, mi," usul Adolf.
"Wah, puji Tuhan. Isinya beras, garam, gula, minyak goreng dan telur ayam 10 butir, bisa buat bertahan beberapa hari ke depan, nih," Komentar Sekar saat membuka isi bingkisan yang dibawa oleh Aya.
"Syukurlah," sahut Adolf dan Aya bersamaan.
"Dan ini, uangnya juga lumayan, jumlahnya separuh dari upah mami biasanya, deh," ujar Sekar saat membuka amplop.
"Mungkin maksudnya buat biaya papi berobat, mi," timpal Aya.
"Hm, semoga saja begitu. Semoga upah mami diakhir bulan tidak dipotong," gumam Sekar berharap sambil menyisihkan sebagian untuk ditabung.
"Papi gimana, sudah baikan?" Aya bertanya pada ayahnya.
"Hm ... papi gak apa-apa nak, hanya perlu beristirahat sajat," sahut Adolf yang menutupi kalau ada sesuatu di paru-parunya.
***
Catatan : Ianjo adalah rumah yang digunakan sebagai tempat praktik prostitusi oleh para tentara Jepang pada masa Perang Dunia II.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
El Nino
rejeki nomplok hehe
2022-06-26
1
El Nino
rejeki
2022-06-26
1
nana laviestbelle
maaciiiihhh😍
2022-03-07
15