Mangata menurunkan penumpangnya di depan rumah lalu kemudian ia mengganti kendaraannya, Mangata selalu merasa nyaman ke pasar dengan mengendarai motor bebek milik maminya, biar mudah parkir katanya.
"Nah, om dan tante silakan lanjutkan ngobrolnya ya, aku mau ke pasar dulu," pamit Mangata.
"Lho, itu ... anakmu cowok, gak apa-apa pergi ke pasar?" Laras keheranan.
"Gak apa-apa, mbak. Mangata biasa begitu, kalau pas menengokku ke sini, 1 sampai 2 kali dalam sebulan. Dia yang beres-beres rumah lalu memasak untuk kami berdua, Mangata lebih pintar memasak dari pada aku, coba saja nanti cicipin hasil racikan tangannya," jawab Geetruida dengan bangga.
"Oh iya, lalu suamimu?"
"Tidak ada, aku ... janda," sahut Geetruida pelan.
"Maaf, apakah karena bercerai? Dari tadi aku perhatikan foto-foto yang terpampang ini, tidak ada satupun yang menampakkan foto keluarga kecilmu, yang kalian bertiga. Ini malah adanya foto Helen bertiga dengan Amar dan juga anakmu dalam satu frame. Hm, andai mereka punya anak mungkin saat ini mereka sudah punya cucu seperti aku dan Ibrahim, Gee."
Geetruida tersenyum, "Suamiku sudah meninggal dan karena alasan tertentu maka kami tidak punya foto keluarga kecil kami sendiri, dan kenapa justru yang ada beberapa foto Helen bertiga dengan anakku, itu karena ... seperti yang pernah aku bilang, mereka tidak punya anak maka mereka menganggap Mangata seperti anak mereka sendiri. Ada masa beberapa tahun Mangata terpaksa aku titipkan dengan mereka, jadi merekalah yang berjasa merawat, mendidik anakku itu hingga menjadikan Mangata, anak yang berbakti dan penyayang, seperti yang mbak lihat." Ungkap Geetruida. Memang kenyataannya 'suami' Geetruida sudah meninggal dan lelaki itu bukanlah ayah kandung Mangata, Geetruida memilih untuk tidak membagikan hal itu begitu saja.
"Ehm, beneran lho ... anakmu begitu perhatian ya, kelihatan sekali kalau dia sangat menyayangimu," ucap Laras setengah menghibur.
"Ya begitulah, mbak. Aku rasa kalau Helena dan Amar masih ada, Mangata tetap melakukan hal yang sama baiknya terhadapku maupun terhadap mereka. Mbak tahu sendiri, walaupun sini - Semarang cukup jauh tapi dia selalu menyempatkan diri menengokku. Sebenarnya dia mengajakku tinggal bersamanya di Semarang tapi aku merasa nyaman tinggal di sini. Rumah di Semarang adalah kediaman milik Amar yang diwariskan untuk Mangata, kami sempat tinggal bersama di situ beberapa tahun tapi setelah Helena juga Amar meninggal, aku memilih kembali ke sini," papar Geetruida.
"Pesona Magelang membuat kamu lebih nyaman tinggal di sini, ya?"
"Benar, mbak. Aku dan saudara-saudaraku lahir dan dibesarkan di kota ini sampai ... ah, invasi Jepang telah merubah segalanya," suara Geetruida bergetar menahan haru yang tiba-tiba menyeruak.
"Sudahlah Gee, semua baik-baik saja. Semua itu terjadi di luar kehendak kita. Bersyukur kita masih bisa bertemu kembali ya, kan?" Geetruida mengangguk menyetujui pendapat Laras.
"Hm, aku sangat beruntung bisa memiliki rumah ini yang jika mbak Laras ingat lokasinya, rumah ini berada di Krawasan kawasan rumah papi dulu," ujar Geetruida lagi.
"Astaga, Gee ... dari tadi sebenarnya aku mau nanya" Laras membekap mulutnya sendiri.
"Rumah papi sih sudah gak ada, kabarnya semoat di huni tentara Jepang lalu terbakar habis. Tidak ada yang mengurus untuk mempertahankan hak kami waktu itu. Kondisinya, membuat kami sekeluarga pergi dari rumah hanya dengan pakaian seadanya." Geetruida berhenti bercerita, karena ia perlu mengatur napas dan menghapus airmatanya.
"Trus lokasi ini kemudian diambil alih oleh pihak lain?" tebak Laras.
"Benar mbak, bahkan tanahnya sudah dibagi-bagi dalam beberapa kavlingan. Saat Helena masih ada, aku sudah bilang keinginanku yang ingin kembali ke Magelang, tapi dia melarang, karena dia sakit kanker dan ingin berobat herbal saja, makanya ia memintaku untuk mengurusnya. Amar pensiun bersamaan waktunya dengan penempatan kerja Mangata yaitu RS Kariadi, lalu Amar memboyong kami pindah ke Semarang dan membeli rumah yang kemudian diwariskan untuk Mangata. Saat itu setelah Helena meninggal, muncul keinginanku untuk tinggal sendiri dan mencari ketenangan batin, aku bilang sama Mangata mau tinggal di Magelang, dia yang carikan lokasinya. Eh, kebetulannya pas banget kan, mbak."
"Tapi ini, model rumahmu khas rumah bangunan Belanda, deh Gee. Rasanya sama kayak memasuki rumah papimu dulu, hanya saja ini lebih kecil," ujar Laras lagi.
"Ini, hasil kerja sama antara Amar dan Mangata, mbak. Jadi ceritanya rumah ini semi villa gitu. Katanya biar aku betah, haha."
"Eh, tapi beneran, lho. Rumahmu nyaman, bikin betah," dukung Laras.
"Oh iya, aku mau cerita sedikit mengenai rumah ini yang menurutku adalah bukti 'rezeki' gak akan tertukar. Jadi setelah Mangata mendapatkan lokasi rumah ini, ia mengajak aku dan Amar bertemu dengan penjualnya untuk melihat-lihat, cocok apa gak, gitu. Nah pas ketemu penjualnya, bapak itu bilang 'maaf, ibu ini ... anaknya pak Conrad Peters, bukan?' ya aku jawab aja iya, bingubg juga sih karena aku tidak kenal sama penjualnya tapi penjualnya itu masih ingat dengan aku dan juga Amar. Singkat cerita, jadilah kavlingan yang luasnya hanya seperempat dari tanah papi dulu diberikan secara cuma-cuma ditambah uang kompensasi yang kemudian jadi modal buat bangun rumah ini. Begitu," urai Geetruida lagi.
"Wah, syukurlah ya. Jadi hak kalian gak hilang-hilang amat. Syukurnya masih ada orang yang tahu hak orang lain dan ingat balas budi. Ini rumahmu beneran adem banget suasananya. Halamannya luas, banyak tanaman. Persis kaya punya tuan Peters dulu," Laras menambahkan.
"Aku pulaaang," suara Mangata menggema di ruang tamu.
"Halo, sudah belanjanya?" sambut Ibrahim.
"Iya om ... ini mari dicoba, aku tadi beli ketan lopis dan cethil, ini juga ada geblek (sejenis kerupuk dari bahan pathi berbentuk angka 8) dan rengginang buat cemilan, dan ... oh iya ini tadi aku beli sesuatu buat oleh-oleh dibawa pulang ke Jakarta." Ujar Mangata sambil menaruh sebuah kardus di dekat kaki meja tamu.
"Lho, sebanyak ini? Kamu sedang modalin kami jualan cemilan khas Magelang, gitu?" seloroh Ibrahim.
"Ya, kalau ada yang beli sekalian saja, haha. Tidak, tidak, om ... aku dan mami titip oleh-oleh buat adik-adik panti, ya. Segera kami atur waktu agar bisa berkunjung ke Jakarta, melihat keadaan adik-adik, bukan begitu, Mi?" Mangata melirik Geetruida.
"Ya Allah, baik banget sih kalian ini. Ya ampun Gee, kamu gimana sih, caramu mendidik anak? Kok bisa ngganteng dan baik hati seperti ini?" sanjung Laras lagi.
"Ah, tante bisa saja. Aku terkesan atas percakapan kita tadi dan kebetulan ada rezeki yang bisa disalurkan, jadi sekalian saja," sahut Mangata rendah hati. "Dah, lanjutin ngobrolnya, itu cemilan jangan dianggurin ya. Aku mau masak enak dulu," ujar Mangata yang sudah menghilang menuju dapur.
"Emang anakmu masak apa, sih? Kok aromanya enak bener," kata Laras mengendus aroma semerbak dari dapur setelah beberapa saat Mangata berada di sana.
"Gak tahu, kan kita gak lihat apa saja yang dibelinya."
"Penasaran deh Gee, kita bantu masak, yuk."
"Jangan mbak, percuma saja. Udah di sini aja, biarin dia lqgi asik sendiri. Anakku selalu begitu, kalau dia bilang mau masak sendiri maka aku akan diusirnya mendekat, padahal inikan rumahku. Udah, tunggu saja panggilannya kalau semua sudah siap."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
El Nino
aq juga kenal seseorang yang jaman dulu nya dititipin ke adik dari bapaknya, waktu masih bayi umur seminggu sampai remaja..
2022-06-25
3
Author yang kece dong
aku mampir kaka
2022-05-11
5
🐰Far Choinice🐰
Lanjuutt bacaaa ^^
2022-04-10
7