Yusuf bersyukur, walaupun dari golongan kaum penjajah yang terkenal sebagai penindas yang sangat kejam tapi mertuanya adalah salah seorang yang patut dikecualikan, bahkan bisa dibilang lelaki hampir paruh baya ini sangat Indonesia sekali. Yusuf sampai melongo melihat papi mertua yang lahap memakan nasi dengan lauk mangut lele dan buntil daun talas.
"Hei Suf, kenapa hanya melihatku makan? Apa yang terhidang di sini tidak sesuai seleramu, hm?" tegur Adolf.
"Ah, ti-tidak, pi. Semuanya lezat. Aku hanya tidak menyangka kalau papi makan nasi dan mau makan yang bersantan, aku pikir papi makannya roti-roti dan daging-daging, gitu," sahut Yusuf cengengesan.
Adolf meneguk air untuk membersihkan rongga mulutnya sebelum menyahuti Yusuf, "Oalah Suf ... Suf, nah ini juga pesan untuk kalian ya Clay, Aya, Gerry, kelak mungkin saja kalian meninggalkan tempat ini entah karena pekerjaan atau pernikahan, nanti mau dimanapun kalian berada, ingatlah untuk berusaha secepatnya menerima dan beradaptasi dengan tempat yang baru. Hormati adat istiadat setempat, jangan kalian bawa kebiasaan kalian ditempat lama apalagi kalau itu sesuatu bertentangan dan bisa berakibat buruk untuk kalian sendiri."
"Itu, ada peribahasanya lho, 'di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung'" timpal Sekar.
"Nah, tepat sekali yang mami bilang termasuk, kenapa akhirnya sampai jodohpun, papi malah memilih orang pribumi," tutur Adolf sambil menatap mesra istrinya.
Dengan wajah yang tersipu,, Sekar menyahuti suaminya; "Lho kok jadi ke situ arahnya, pi? Maksudku adalah, dari prinsipmu itu hasilnya kamu tetap dihormati oleh bangsamu juga disegani secara sukarela oleh warga pribumi, dan sangat dicintai olehku gitu lho, pi."
"Ah, haha. Bisa aja istriku ini. Tapi benar, benar sekali yang mami bilang barusan. Ehm ... Clay, ketika kamu masih dirumah ini, kamu dilayani sebagai seorang nona, bukan?" lempar Adolf pada putrinya.
"I-iya, pi," jawab Clay seraya menebak arah pertanyaan papinya.
"Nah, apakah ketika kamu sudah tinggal sama suamimu, kamu berharap kamu dilayani sebagai seorang nona juga?"
"Ah ya tidaklah pi, kan Clay istri justru Clay yang melayani suami, yah walaupun masih dalam tahap belajar," sahut Clay malu-malu.
"Nah, itu yang papi maksud. Jangankan tiap daerah, masing-masing rumahtanggapun punya aturan yang berbeda, bahkan ... rasa buntil ini, sekali cicip aja papi tau mana yang bikinan mami dan mana yang mbok Jum bikin," lanjut Adolf.
"Hm, jadi ini buntil bikinan siapa, pi?" tanya Clay.
"Mami-lah, biarpun resepnya sama, masakan mamimu tetap yang terbaik," puji Adolf seraya mengerling pada Sekar.
"Sudah, sudah. Benar ini masakan mami semua, jadi apa point yang mau kamu bilang, pi? Lihat nasi kami jadi dingin hanya karena mendengarmu bicara dari tadi," protes Sekar.
"Oh, astagaaa ... maaf, maafkan papi ya, anak-anak. Ayo, silakan lanjutkan makannya, aduh belum juga jadi opa udah mulai lupa-lupaan gini," kilah Adolf sambil terkekeh. Keluarga itupun larut dalam keheningan mengisi kampungtengahnya masing-masing.
"Ini sebenarnya papi sengaja undang kalian makan bersama karena mau pamer, kemaren baru panen lele dan ini ... daun talas ini, juga kuah santan ini kelapanya adalah hasil kebun yang ditanami papi sendiri," jelas Sekar usai mereka menikmati makan siang. Keluarga Adolf punya kebiasaan mengobrol sejenak di ruang makan usai bersantap.
"Lho, jadi papi pelihara sendiri lele-nya?" tanya Yusuf.
"Iya lah. Papi punya kolam kecil di belakang rumah ini, bahkan sapi, ayam, bebek yang kemarin dihidangkan waktu resepsi pernikahan kalian ... jangan kamu kira semua itu papi beli. sebagian besar hasil panen papi, lho. Papi. Sejak lama papi sengaja mempercayakan dan mengupah beberapa orang untuk mengelola perternakan dan perkebunan, termasuk ayahmu yang mengelola kebun kopi."
"Oooh gitu, tapi ..." Yusuf menggantungkan kalimatnya sambil manggut-manggut seolah tak percaya.
"Kenapa? Emang kompeni gak boleh beternak dan bertani, gitu?" Adolf balik bertanya.
"Ah ... tidak, aku hanya tidak kepikiran kalau papi ..."
"Wajar, Suf. Papi tahu alangkah menderitanya bangsa ini akibat keserakahan bangsa kami. Kamu tahu sendiri, ada banyak nyawa yang terhilang sia-sia akibat penindasan dan tindakan yang non prikemanusiaan, yang papi lakukan ini masih tidak seberapa."
"Tapi ... apa papi tidak takut di skors sama pihak ehm ... atasan papi?" tanya Yusuf tertarik.
"Harusnya sih tidak, karena ini kan sudah diluar konteks tujuan utama bangsa papi ke Indonesia, Suf. Awalnya target Belanda ke Indonesia adalah mencari rempah-rempah demi memenuhi kekosongan kas di sana sekalian mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk ongkos perang melawan Spanyol, tapi makin ke sini kaum kami malah jadi penguasa hampir di semua pulau yang ada di Indonesia ini. Jujur saja, papi malu melihat polah kaum papi yang arogan sama penduduk pribumi padahal kami sedang mengeruk keuntungan, lihat saja ada berapa orang pribumi yang sukses berusaha di atas kakinya sendiri?"
"Ehm ... sedikit sekali, bahkan bisa dibilang tidak ada atau mungkin aku yang tidak tahu," jawab Yusuf hati-hati.
"Benar, yang berhasilpun masih harus dibawah tekanan pihak kami karena memang dikondisikan seperti itu. Suf, padahal gak semua orang Belanda yang sombong itu orang kaya dan disegani di tanah Holland sana. Contohnya aku, papimu ini hanyalah anak petani, hidup dalam segala keterbatasan jadi papi tahu rasanya menjadi orang susah, makanya papi bertekad masuk tentara untuk mengubah nasib, tapi orang tua papi menentang, sehingga sampai sekarang papi putus kontak dengan keluarga papi. Nasib memang berubah lebih baik, tapi jatuhnya jadi tidak berkah, tidak bermanfaat untuk orang lain."
"Ah, tidak boleh begitu, pi. Masalah berkah atau tidak, bermanfaat atau tidak itu urusan yang Di Atas yang ngatur, pi. Tugas kita hanyalah meniatkan dan melaksanakan, perkara hasil percayakan sama Yang Maha Mengatur saja," timpal Yusuf.
"Nah, itulah makanya, Suf. Papi bersyukur tinggal di Magelang, nyaman. Ditambah lagi suasana, cuaca dan kondisi tanahnya cocok. Jadi papi mudah mengembangkan hobi yang menghasilkan, Suf. Kita gak tau kan, apa yang bakal terjadi besok. Seandainya bisa, papi maunya jadi orang Indonesia saja tanpa embel-embel kemiliteran Belanda. Kayaknya kok nikmat aja gitu, pagi-pagi sudah nyawah."
"Memangnya kenapa, pi?" Clay penasaran, seolah ada sesuatu yang sedang bergelayut di benak ayahnya.
Adolf gelagapan dan mengalihkan percakapan, "Ya itu tadi, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok apalagi warga pribumi juga kian gencar mengusahakan hak dan kemerdekaannya. Eh ... Ngomong-ngomong dari tadi papi perhatikan, wajahmu tampak gembira sekali, Suf ... efek baru menikah, masakan lezat mertuamu atau ada kabar gembira lainnya?" goda Adolf pada menantunya.
"Husss ... papi, becandanya kira-kira dong, ada Aya dan Gerry nih," protes Sekar sambil memberi kode khusus pada suaminya.
"Lah, kan biasa aja pertanyaanku, Mi. Ya, kan Suf ... Clay?" Adolf minta pembelaan.
"Hehe ... papi hebat. Seolah bisa membaca isi kepalaku," sahut Yusuf masih dengan senyum lebar. Hidupnya kian lengkap setelah menikahi Clay, kebutuhan lahir dan batinnya terpenuhi dengan sempurna, maka bagaimana ia bisa menyembunyikan kebahagiannya?
"Sepertinya efek bersatunya kalian, membuat kita jadi ikutan sehati, Suf ... katakan, masa kamu tidak mau berbagi dengan kami?"
"Yah, tepat seperti tebakan papi, semua benar. Hanya point yang ke tiga adalah ... ini mau aku sampaikan ke Clay tadi waktu masih di rumah sakit tapi aku tunda, biar semua mendengar kabar baik ini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
🥀⃞B⃟c Qҽízα ₳Ɽ..k⃟K⃠✰͜͡W⃠
kira kira kabar baik apa y.. jadi penasaran deh 🤔🤔🤔
2022-10-01
2
🌈 єνιʝυℓιє ♓ℹ️🅰🌴
ada kabar baik ap ya 🤗
2022-10-01
0
🦋⃟ℛ🍾⃝ᴅͩʀᷞɪͧᴇᷠᴀͣʀ♕ᴬ∙ᴴ࿐
hehehe...kompeni pamer panen lele
2022-10-01
0