Gita Senja Geetruida
Kisah ini hanyalah fiktif belaka dan ditulis atas ide sendiri. Mohon maaf jika ada kemiripan alur, karakter, tempat begitu juga jika ada kesalahan penyebutan nama organisasi, kegiatan dan istilah tentu.
Ayahnya memberikan nama Geetruida Mutiara Peters yang kurang lebih bermakna gadis kuat. Geetruida adalah seorang wanita paruh baya yang gemar membaca dan menulis untuk mengisi waktunya.
Sebagai penulis lepas, sesekali ia meraup rupiah dari hasil tulisannya yang muncul baik berupa artikel, cerpen atau berupa novel. Gee (baca : Ji) demikian nama kecilnya, ia lahir di Magelang dan berencana menghabiskan usianya di kota yang sejuk dan damai itu.
Rentetan kejadian memilukan dan memalukan ia alami. Senyuman menambah guratan kecantikan yang masih tercetak di wajahnya semakin nyata. Penyakit perlahan menggerogoti tubuh terawatnya dan mungkin saja hidupnya hanya sebentar lagi tapi justru diusianya kini ia menemui ketenangan dan semakin giat berkarya.
Huuuup, haaaass ....
Berulang kali Geetruida menghela dan melepas udara saat ia bangun tidur. Hari masih gelap, azan subuh belum berkumandang saat wanita itu duduk di sisi tempat tidurnya.
Glek, glek. Ia meminum tandas segelas air yang sengaja ia siapkan di nakas dekat ranjangnya. Usai beribadah sejenak, ia mengganti daster lusuhnya dengan pakaian training dan bersiap melakukan aktivitas paginya, joging di seputaran rumah dan pulang setelah mentari mulai meremang terang.
Ia sangat menikmati kesendiriannya. Sambil bersenandung, Geetruida memanggang roti dan menyeduh kopi, lalu menyalakan radio dan mulai menyusun kerangka naskah yang akan diketiknya.
Brum.
Ia tersenyum saat mendengar suara kendaraan dimatikan di depan rumahnya.
Ceklek.
Terdengar suara handle pintu dibuka.
"Mami ...!" Mangata sambil masuk ke dalam rumah mungil nan asri itu.
"Mangata, aku di sini," balas Geetruida yang sudah asyik mengetik naskah di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang kerjanya.
Tik ... tik ... sret ... ting.
Jemari Geetruida lincah menari diatas tombol mesin ketiknya.
"Mi ..." Mangata mendudukkan pantatnya di kursi, berhadapan dengan Geetruida.
"Hm," Geetruida enggan mengalihkan pandangan dari mesin tik-nya.
"Padahal mami sudah mengenal Arunika bahkan berteman dengannya, kenapa malah ketika aku hendak melamarnya, mami menentang?" Sembur Mangata langsung pada permasalahan yang menganggu pikirannya akhir-akhir ini.
"Bolehkah pertanyaan itu tidak kujawab? Terkadang mengetahui sesuatu hanya mengorek luka," sahut Geetruida malas.
"Jawablah dengan sesuatu yang pasti dan mudah kumengerti, Mi."
"Aku tidak mau. Ah, bukan tidak mau tapi mungkin juga belum saatnya. Intinya, aku tidak saja tidak merestui pernikahanmu dengan Arunika tapi melarang keras," tegas Gee lagi.
"Tidak bisa begitu! Ish, dasar noni Belanda keturunan kompeni, mami tidak kenal kompromi," umpat Mangata.
"Heish ... jaga ucapanmu, anak muda. Tidak boleh rasis begitu."
"Ups. Sorry."
Kedamaian pagi dimana rerumputan dan dedaunan masih segar basah karena tetesan embun harus terusik akibat perdebatan 2 anak manusia beda generasi itu.
"Mami! Ah, kamu bahkan tidak pantas kusebut mami olehku," Mangata yang emosi mengucapkan kata itu setengah berteriak.
Geertruida bergeming, ia hanya menatap sekilas wajah pria muda didepannya, "Apa kamu bilang? Dengar, aku memang tidak layak jadi ibumu tapi kamu tidak punya pilihan. Kalau kamu tahu alasannya, kamu akan mengerti dan pasti berubah pikiran."
"Berilah jawaban yang masuk akal, Mi. Cuma kamu satu-satunya keluargaku. Aku ... ah, jujur aku benci jika harus bertentangan denganmu gara-gara calon pendamping hidup yang selama ini terus kau tanyakan."
Geetruida terkekeh, kini tatapannya beralih pada Mangata seraya membubungkan asap rokok keluar dari mulutnya ke langit-langit ruang, "Kamu boleh marah, boleh tidak suka, boleh benci sama aku tapi kamu gak bisa ingkar atas kenyataan ..."
"Apa? Kenyataan apa? Jangan suka menggantung kalimat seperti itu, bikin penasaran saja," ujar Mangata dengan gerak cepatnya menyambar pemantik api, saat wanita tua yang dia panggil mami itu mulai akan menyalakan bilah berikutnya.
"Hei," protes Geertruida, "Tidak bisa lihat orang senang?"
"Mami, ini sudah batang ke 4 yang kau nyalakan sedari tadi selama kita berbicara. Ingat kesehatanmu," Mangata memperingatkan wanita dihadapannya sambil menghitung puntung di asbak.
"Hah! Jangan mengaturku. Air mataku sudah kering akibat terlalu sering mengalami kekecewaan, hanya benda ini yang mengerti perasaanku."
"Heis, mami gak bisa membedakan teman curhat sama kecanduan," Mangata mendengus.
"Whatever, usiaku juga sudah hampir 50 tahun, menjelang lansia. Jika mati pun, wajar saja. Toh banyak yang usianya lebih muda dan tidak merokok, mati duluan dari aku," elak Geertruida.
"Hah, orang tua emang susah dibilangin!"
"Halah, kamu selaku orang muda apalagi. Aku heran bagaimana ayah dari gadis itu mau menerimamu."
"Aku tampan, punya pekerjaan dan karir gemilang juga dari keluarga baik-baik, beliau tidak punya alasan untuk menolakku," timpal Mangata membanggakan diri.
Geertruida melepaskan kacamata baca yang sedari tadi bertengger di hidungnya, "Dengar anak muda, jika dia tahu siapa ibumu maka ia juga akan menentang pernikahan kalian."
"Tidak mungkin, ayah Arunika bahkan kenal dengan orang tuaku, umi Helena dan abi Amar Maulana ketika mereka masih hidup. Tidak ada masalah."
"Jangan lupa, aku satu-satunya keluarga yang kamu punya, jadi hanya aku yang akan memberimu restu dan itu tidak sulit kuberikan asal Arunika bukanlah putri dari Sagara ," ungkap Geetruida seraya menyeruput kopi yang mulai dingin.
"Bagaimana mungkin Mi, bahkan beliau yang akan menikahkan kami nanti."
"Cepat batalkan pernikahanmu dengan Arunika! Jauhi dia, lupakan dan cari perempuan lain, beres, kan?"
"Sekali tidak, tetap tidak. Kamu tidak berhak mencampuri urusanku, kamu hanya tanteku, adik umiku, kamu perempuan yang mau-maunya berbagi suami dengan kakak perempuanmu sendiri, kamu ...."
"Cukup Mangat, mami mohon jangan kelewat batas, coba kamu temui Sagara dan tanyakan apa makna Mangata menurutnya kemudian, tanyakan lagi apa arti Mangata Peters padanya."
"Hah, apa artinya ayah Arunika mengenalku sebelumnya? kenapa pertanyaanya mengandung namaku?."
"Tanyakan saja dulu, karena jawaban Sagara-lah yang akan menjawab semua pertanyaanmu, Nak."
"Sebentar ... bukankah Peters adalah nama belakangmu, Mi?"
Geertruida mengangguk, "Benar."
"Tapi kenapa, apa hubungannya dengan Mangata Peters de-dengan aku, apakah itu adalah ...."
"Akan kuberitahukan jika sudah kau tanyakan padanya," jawab Geertruida seraya tersenyum simpul, ia kembali memencet mesin tik-nya, melanjutkan naskah cerita yang sempat tertunda.
"Ah, tidak bisa terelakkan lagi, masa lalu pasti akan selalu menghantuiku sampai ke masa tuaku," gumam wanita itu berbicara pada dirinya sendiri.
"Apa kamu bilang?"
"Pergilah, semakin lama di sini moodku jadi terganggu. Apa kamu lupa kalau aku hidup dari tiap lembar yang kuketik ini?" usir Geetruida pada Mangata.
Mangata berdecak sebal. "Ck, kamu bahkan bisa hidup cukup dengan uang pensiun janda atau aku akan memberimu uang jajan tambahan tiap bulannya."
"Aku bukan pengemis, Nak. Sudahlah, pulang sana."
"Setidaknya biarkan aku disini hingga selesai makan siang. Tadi begitu selesai dinas malam aku ke pasar pagi dan langsung ke sini. Aku akan memasak untuk kita karena rindu makan bersamamu," ujar Mangata melunak.
"Kalau itu bagian dari usahamu mendapat restuku mempersunting, Arunika ... percuma saja."
"Nyonya Peters, anda terlalu sering melewatkan waktu makan. Hanya berteman roti, kopi, rokok dan air putih, aku heran bagaimana sistem ditubuhmu masih bekerja baik hingga saat ini."
"Katakanlah karena aku beruntung karena aku gemar mengkonsumsi minyak zaitun dan teh hijau atau ... mungkin juga Tuhan sedang berbaik hati memberi waktu yang berharga di penghujung senja usiaku untuk memperbaiki masa laluku."
Mangata tidak melanjutkan bahasan itu dan memilih melenggang ke dapur, memasak untuknya dan Geetruida.
"Aku bilang jangan mengangguku," hardik Geetruida.
"Ck, aku hanya meminjam pemantikmu untuk menghidupkan kompor sekalian agar kamu tidak merokok lagi setidaknya selama benda itu ditanganku," jawab Mangata seraya berlalu melanjutkan aksinya di ruang yang letaknya berada dibagian belakang rumah itu.
"Panggil aku kalau semuanya sudah matang," ujar Geetruida yang kembali tenggelam dalam dunianya.
"Baik, Nyonya Peters," balas Mangata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Putri Minwa
hai thor kk putri mampir ya
2023-09-18
0
Ika Ika
Mudah banget buat aku jatuh hati novel nya.
2023-09-18
0
༺❥ⁿᵃᵃꨄ۵᭄
mampir kak salken dri kalsel
2022-10-01
1