Hampir dua minggu Bangkit tidak terlihat batang hidungnya di kelas. Padahal dulu itu yang sangat Lala harapkan. Namun kenyataannya, Kini setiap hari Lala celingak celinguk. Dia merasa kehilangan. Tidak ada lagi yang mengagetkan dan mengusili dirinya. Semua itu membuatnya bosan. Bahkan sejak datang, Lala terlihat mengetuk-ngetukkan pulpennnya di atas meja. Tanpa terasa satu persatu teman-temannya masuk kelas.
Semua itu tidak Dia hiraukan.
Sani yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala.
" Makanya jangan terlalu membencinya. Kini sebaliknya kan?" Goda Sani.
Lala langsung melirik tajam Sani. Sani hanya tertawa meledek.
" Sudah lah La. Nggak usah gengsi seperti itu." Saran Fani.
" Sekali tidak, ya tidak!." Ucap Lala.
Selesai perkuliahan, Lala langsung menuju ke perpustakaan.
" Aku duluan!" Lala langsung beranjak begitu saja. Sani dan Fani lagi-lagi hanya bisa saling berpandangan.
Lala tiba-tiba ingin memfokuskan Diri menyelesaikan skripsinya. Dia tidak ingin pikirannya tambah kacau. Dia ingin secepatnya lulus dan keluar dari zona yang membuat Dia toxic sendiri. Lala mengelilingi ruangan perpustakaan. Satu per satu buku sebagai sumber skripsinya Dia ambil, Dan Dia bawa dimeja dekat laptopnya.
Jari jemarinya menari diatas laptop, menyusun kalimat demi kalimat untuk skripsinya. Sesekali Dia meregangkan tangannya disaat lelah.
Lala melirik jam tangannya.
" Sudah sore." Pikirnya.
Dia mematikan laptopnya dan memasukkan ke tas. Sekalian mengembalikan buku-buku sumbernya ke tempat semula.
Rasa lelah membuat Lala sedikit tidak fokus. Dia sesekali tersandung-sandung dan hampir jatuh.
" La!" Tiba-tiba Dimas memanggilnya.
" Iya, Kenapa Dim?" Lala terlihat biasa saja. Rasa yang dulu pernah ada sudah sirna bagai ditelan bumi. Lala sudah menguburnya dalam-dalam.
" Hmmm, maafkan Aku." Ucapnya.
" Aku dulu benar-benar salah paham dan tidak percaya terhadapmu."Tambahnya.
Lala hanya tersenyum.
" Oya, Apa benar Bangkit ke Luar Negeri?"
Lala langsung terkejut.
" Kata siapa?" Lala tidak percaya.
" Yohanes yang bilang."
Lala terlihat antara percaya dan ragu.
" Kirain, Kau tahu."
" Tidak, Aku tidak tahu." Ucap Lala.
" Duluan Dim."
Dimas menganggukkan kepalanya. Rasa sendu jelas masih tersirat diwajahnya. Kesalahpahaman yang pernah terjadi masih mewarnai di benak Dimas. Namun tidak dibenak Lala. Lala cepat melupakan hal-hal yang menyakiti hatinya.
Lala terus melangkah. Dia memikirkan kata-kata Dimas tentang Bangkit.
'Benarkah? Tapi kenapa Dia tidak bilang apa-apa kepadaku?' Pikir Lala.
' Memang siapa Aku?' Lala langsung menjitak keningnya sendiri dengan pulpen.
Waktu terus berlalu. Bangkit yang selama ini menjadi saingan Lala. Sudah tidak terlihat batang hidungnya dikampus. Lala juga sudah mengundurkan diri dari perusahaan retail milik keluarganya Bangkit.
Namun semenjak Bangkit keluar Negeri, Andra tidak pernah mengganggunya.
" Mungkinkah Dia dipaksa keluar negeri? Tiba-tiba Lala bertanya pada diri sendiri.
" Siapa La?" Tanya Sani.
" Owh tidak San. Maksudnya ini revisi skripsiku sudah tidak ada lagi." Alasan Lala jauh dari topik.
Tidak terasa Lala sudah mengajukan jadwal sidang untuk skripsinya.
" Aku duluan San."
" Ok." Sani masih terlihat sibuk mengotak ngatik skripsinya.
Lala seperti ingin memutar kembali kenangan dikampus ini. Dia melewati koridor gedung perpustakaan hingga ruang BEM. Dimana itu menjadi kedekatan Dia dengan Bangkit bermula lebih intens.
Lala membuka dan memasuki ruangan BEM, yang sekarang sudah tidak pernah dikunci. Masih tertata rapi seperti dahulu. Dia menyelusuri tiap meja. Membayangkan bagaimana Dia dan Bangkit sering berseteru diruangan itu seperti tom and jerry.
Mentari pagi sudah mulai bersinar. Cahayanya memancar melewati sela-sela jendela. Lala langsung bangun dan menyambar sebuah handuk.
" Oh My God. Aku terlambat." Gerutu Lala.
Lala langsung berangkat ke kampus begitu sudah sarapan.
" Semoga berhasil." Ayahnya menyemangati.
Sedangkan Ibu tirinya hanya tersenyum sinis.
Lala terbiasa dengan semua itu. Baginya sudah menjadi makanan sehari-hari.
Dengan semangat, Lala langsung menuju ruang sidang. Beberapa temannya sudah datang dan menunggu didepan ruangan.
" Hei La!" Sani berlari-lari menghampirinya.
" Selamat La, akhirnya Kamu sidang."
" Iya, Kamu juga semoga cepat sidang ya. Semangat!"Lala balik menyemangati.
" Iya La. Makasih."
...***...
Empat Tahun Kemudian.
Sudah hampir tiga tahun ini, Lala sudah bekerja sebagai sekretaris disebuah perusahaan asing ternama. Ibu tirinya jelas bangga. Karena perekonomian keluarga menjadi lebih stabil dari sebelumnya.
Disore hari yang masih terik, Lala duduk dilobby kantornya. Dia menghela nafas panjang. Orang yang Dia tunggu belum juga datang.
Semilir angin masih setia menerpa wajahnya sejak tadi. Kicauan burung disore ini seakan menyanyikan lagu rindu untuknya.
' Aku merindukannya.' Hati Lala tiba-tiba tak bisa berbohong.
Walau kini jelas sudah berbeda. Waktu telah mengubah segalanya.
Tapi rasa menyesal masih Dia rasakan. Iya, selama ini tenyata yang dihatinya adalah Bangkit bukan Dimas atau cowok lainnya. Itu kesalahan besar yang pantas Dia sesali. Andai saja waktu itu Dia mengakui. Dia tidak perlu kehilangan kontak dan komunikasi seperti ini.
Lala memejamkan matanya agar bisa melihat bayangan wajahnya. Sungguh masih jelas terbayang wajahnya, senyumannya,tatapan matanya, keusilannya bahkan yang terakhir kemarahannya.
'Mungkinkah Dia masih mengingatku? Walau Aku hanya sekedar rivalnya. Sahabat keusilannya.' Batin Lala.
Lala tersadar. Dia pun membuka matanya kembali. Lala pun berpikir. Bangkit tak mungkin mengingatnya lagi. Bahkan Dia pergi tanpa sepengetahuan Lala. Jelas kepergiannya bertujuan memutuskan semua cerita dan melupakan semuanya.
" La!" Suara Sani mengejutkannya.
Hanya Sani yang masih setia menjadi sahabatnya sampai detik ini. Bahkan sampai kini Dia lebih mengerti hati Lala yang kadang tidak jelas.
" Kau sudah datang?"
Lala mengangguk.
" Ayo !!!"
Lala berjalan ke arah mobilnya yang terparkir tepat didepan tempat kerjanya. Dan masuk ke mobilnya Sani. Sebenarnya Lala tak ingin merepotkannya hari ini. Tapi apa boleh buat mobilnya sendiri sedang merajuk minta masuk bengkel.
" Bagaimana kerjamu hari ini?"
Sani terlihat berbasa basi.
" Biasa. Sibuk dengan mengatur jadwal Direktur. Padahal Aku bukan jurusan sekretaris melainkan manajemen. Tapi entah mengapa Aku ditaruh dibagian sekretaris, sejak sekretaris lamanya dua bulan yang lalu resign. Kau sendiri ? "
Lala menoleh ke arah Sani.
" Mungkin Kau terlihat bisa diposisi itu. Aku sendiri sibuk bertemu klien. Sampai pusing kepalaku." Keluh Sani.
Lala tersenyum mendengarkan pendapat Sani dan keluhannya.
" Kenapa Kau tidak kerja di perusahaan Ayahmu sendiri San? Bukankah itu lebih enak?" Tanya Lala.
" Aku masih ingin mandiri dulu, merasakan bagaimana kerasnya kerja dengan aturan orang lain. " Jelas Sani membuat Lala bangga.
" Pemikiran yang sangat dewasa."
Sani tersenyum bangga mendengar pujian dari sahabatnya itu. Jalanan yang macet disore ini membuat Mereka sedikit menahan rasa lapar.
" Aiiish, Kenapa kodomo selalu lewat sih." Gerutu Sani.
" Macet aja pakai aja kodomo dibawa-bawa." Sahut Lala merasa garing
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments