Nandang dan Andini sudah berada di sebuah tempat makan bakso terkenal enak di kota mereka.
Ini adalah kali pertama Nandang pergi dengan Andini tanpa emak. Mana janjian sama Naila lagi. Saat di desa dulu saja ia tak pernah sebegininya menjaga adik satu satunya itu. Tapi, berhubung mereka kini sudah tinggal di kota besar. Tentu saja Nandang tidak berani menolak permintaan sang emak.
Nandang lama merindukan senyum Naila, ia juga sadar ada getaran aneh dalam dadanya saat hanya mendengarkan nama Naila saja di sebut oleh Andini.
Tapi, Nandang tidak berani menyimpulkan jika itu cinta atau bukan. Ia merasa belum jadi manusia. Tapi kadang ada nama Naila ia sebut untuk memohon agar bisa bertemu kembalk dalam keadaan sehat, syukur syukur bisa selalu dekat.
Hanya verbal Nandang selalu tidak singkron dengan hatinya. Ia tak pernah memperlakukan Naila dengan baik, ia lebih suka meledek pipi chuby Naila yang ternyata bahkan tidak pernah menyusut sejak dulu.
Naila tetap bertubuh agak bongsor, karena itulah dia tumbuh menjadi remaja yang pemalu dan sulit mendapat teman setulus Andini yang sejak dulu selalu baik dengannya.
Naila anak semata wayang, mana mungkin di ijinkan pergi begitu saja sendirian. Kalau tidak Tatik, supir, tentu ayahnya sendiri yang akan mengantarnya kemana mau. Seperti hari ini, ia di antar oleh sang ayah.
Perjanjian dari rumah, ayahnya hanya mengantar. Tidak boleh ikut nimbrung, sebab ia pasti akan merasa tidak bebas bercengkrama dengan sahabatnya.
Bagus Permana memang membatasi pergaulan anak gadisnya. Tetapi bukan berarti tidak mengijinkan anaknya berteman. Ia lebih memilih mengalah repot, asalkan ia dapat memastikan jika anaknya baik-baik saja.
Tadinya Bagus akan menunggu di mobil saja atau berada di luar temoat makan mereka, untuk menunggui Naila. Tapi niat itu di urungkannya saat melihat ada Nandang bersama Andini.
"Waah... ada Nandang. Kebetulan sekali. Kita ngobrol di luar saja Nan. Biarkan mereka berdua-duaan di mana suka." Wajah Bagus sumringah melihat ada lawan bicaranya.
Wajah Nandang tak kalah senang, terlihat dari senyum tetukir bak bulan sabit yang tercetak di bibir merah mudanya. Walau sesungguhnya agak kecewa tak bisa lama-lama memandang Naila.
"Nan... gimana sudah daftar IPDNnya?" tanya Bagus penuh semangat.
"Sudah pak tinggal tunggu panggilan tes selanjutnya."
"Perbanyak latihan fisik Nan. Juga banyak-banyak mengerjakan latihan soal ujiannya."
"Nan sudah ikut bimbingan belajar pak, juga banyak mendownlod kisi-kisi soal." Jawab Nandang apa adanya.
"Naah... mantap. Itu maksud bapak tadi Nan. Kok jadi susah ngomongnya. Haa...haa. Nanti kalau nilaimu sudah masuk standard minimum, bapak akan bantu titip namamu dengan bagian yang bisa bapak mintai tolong."
"Kenapa begitu pak?"
"Agar berkasmu tidak di geser. Jadi akan selalu di kawal biar dapat."
"Hah... harus begitu ya pak?"
"Tidak selalu sih. Tapi jika memang ada kolega kenapa tidak."
"Bagaimana kalau Nan coba kemampuan Nan sendiri dulu pak?"
"Ya saat meraih nilai sesuai standar itu kamu sudah berusaha sendiri namanya." Lanjut Bagus yang sangat ingin membantu Nandang.
"Huum... baiklah. Nan akan berusaha semaksimal mungkin pak." Optomis Gilang.
"Nan... misalnya kamu tidak dapat apakah kamu sudah punya alternatif lain?" tanya Bagus lagi.
"Nan sudah masuk PTN tanpa tes lewat jalur SBMPTN. Sebab sudah saya persiapkan srjak kelas X, sebab data nilai sudah di ambil sejak semester 1 sampai 5 pak." Terang Nandang apa adanya.
"Alhamdulilah. Kamu ambil jurusan apa Nan?"
"Fakultas Hukum pak."
"Mengapa tidak kedokteran?"
"Minat bakat saya tidak merujuk ke jurusan itu Pak. Dari pada keteteran belajar nantinya. Jadi yang pasti saya sukai saja." Bagus mengangguk-angguk setuju.
"Di makan baksonya Nan. Keburu dingin sedari tadi kita ngobrol saja." Tawar Bagus pada Nandang.
Selanjutnya mereka menikmati bakso yang sudah terhidang di depan mereka. Dilanjutkan obrolan-obrolan ringan lainnya.
Nandang memang baru akan lulus Sekolah Menengah Atas, tapi wawasannya cukup luas. Sehingga di ajak ngobrol bertema apa saja oleh mantan camat yang kini menjabar sebagai sekretaris di sebuah kantor di pemerintahan pun, ia tampak bisa mengimbangi.
"Nan... kalau adikmu mau main dengan Naila, sebaiknya kamu antar ke rumah ya. Kita bisa main catur selama mereka saling bercengkrama. Bagaimana menurutmu?"
"Waaah ide bagus tuh pak. Tapi... apa kami tidak akan mengganggu bapak. Mungkin sekarang bapak banyak pekerjaan setelah pindah ke kota." tolak halus yang sebenarnya sangat suka dengan tawaran tersebut.
"Aaah... bisa di atur lah itu Nan. Kasian Naila belum banyak punya teman. Dan susah akrab dengan orang baru." Jawab Bagus tiba-tiba curhat pada Nandang.
"Iih... ayah. Naila yang ketemuan sama Andin. Kok malah jadi ayah yang susah di ajak pulang setelah ketemu kak Nan." Tukas Naila yang sudah berdiri di dekat ayahnya.
"Lhooo.... kalian sudah selesai? sebentar sekali ngobrolnya. Ga kurang lama Nai?"
"Ini sudah dua jam ayah." Jawab Naila.
"Oke... oke. Baiklah. Kita pulang sekarang nih?" tanya Bagus pada anaknya.
"Huum... masih sore sih. Maunya masih sama Andin." Naila meminta perpanjangan waktu pada sang ayah.
"Ya di lanjut saja kalau memang belum puas. Ayah betah kok di sini." Jawab Bagus pada anaknya.
"Bosan dong ayah kalo di sini terus." Rengek Naila lagi.
"Maunya kemana?" Naila hanya mengangkat kedua bahunya. Tak punya ide akan kemana lagi, agar tetap bersama Andini.
Bagus melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul 5 sore lewat.
"Bentar ayah bayar bakso kita dulu."
"Maaf Pak. Sudah Ndin bayar semua." jawab Andini malu-malu.
"Waaah.... bapak di traktir nih ceritanya?" kekeh Bagus.
"Iya ayah... Andin hari ini ulang tahun." Jelas Naila lagi pada ayahnya.
"Ooh... begitu. Selamat ulang tahun ya Andini. Panjang umur, sehat selalu, jadi anak pinter yang bisa di banggakan orang tua, terlebih tumbuh dalam lindunngan Allah SWT." Doa Bagus untuk Andini.
"Amiiin. Terima kasih doanya pak." hormat Andini pada ayah sahabatnya itu.
"Karena bapak sudah di traktir, sekarang giliran bapak yang mentraktir yang ulang tahun. Bagaimana kalau kalian nonton bioskop saja?" tawar Bagus yang tentu di balas dengan antusias dari mereka.
"Horeeee.... makasiih ayah." Naila kesenangan bahkan melebihi Andini. Hanya Nandang yang memasang raut wajah datar.
"Kakak... kenapa tidak suka?" tanya Andini peka.
"Bukan tidak suka. Tapi ini sudah hampir magrib. Kita bagaimana pulangnya? Belum sholat juga." Jawab Nandang agak resah. Sebab pamitnya tadi hanya sampai sebelum magrib sudah harus di rumah.
"Tenang. Sebelum ke bioskop, kita sholat di masjid terdekat dulu. Soal pulang terlambat nanti bapak yang ijin sama emak kalian. Kalau takut pulangnya jauh, nanti bapak dan Naila yang mengiringi kalian pulang. Bagaimana?" tanya Bagus yang memang sangat senang anaknya bergaul dengan Nandang dan Andini yang berkepribadian santun itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
alhamdulillah, Pak Bagus baik banget
2022-02-21
7
Suparti Ginanjar
wah nandang calon mantu idaman pak camat 👍👍
2022-02-21
4
Mma Rachmawati
Rezeki anak sholeh 😊
2022-02-21
5