Puspa menatap cemas penuh harap isi dari kuitansi yang di serahkannya pada pak Chaerul adalah sesuatu yang tidak merugikannya. Tak mampu nalarnya memikirkan bagaimana kelanjutan hidup mereka bertiga kelak.
“Maaf bu, ini adalah kuitansi bahwa Alm. Pak Sarwo pernah menjual sebidang tanah berukuran 20 x 30 di Bandung, ini ada alamat lengkapnya terlampir.” Jawab Chaerul setelah meneliti Kuitansi dan tulisan di belakang serta beberapa berkas penunjang terlampir.
“Astagafirullahalazim. Jadi bagaimana ya pak?” Puspa melemas.
“Ya… dengan berat hati saya mengatakan. Maaf, bahwa ibu sekeluarga memang tidak memiliki hak lagi untuk tinggal di rumah dinas tersebut. Tetapi, perihal ibu mengais rejeki sebagai pengelola kantin. Secara pribadi dan mewakili sekolah. Saya masih mengijinkan.” Tegas Chaerul.
Luruh rasa hati Puspa mendengar perkataan yang di sampaikan oleh kepala sekolah tersebut. Puspa tidak menyalahkan pihak sekolah, justru merasa malu. Bahwa sesungguhnya selama ini mereka telah bagai benalu tinggal di sebuah rumah yang sama sekali bukan haknya.
“Tidak pak. Bapak tidak salah. Saya yang merstinya harus minta maaf, sebab tak tau malu tinggal selama ini dengan keterangan tidak jelas. Untuk itu, bisakah bapak meberikan kami waktu paling tidak satu minggu untuk berkemas dan pindah rumah?”
“Maaf bu, bukan ingin ikut campur. Kira-kira ibu akan pindah kemana? Mengingat putra ibu Nandang sudah duduk di penghujung waktu kelulusan. Tentu tidak boleh pindah sekolah.”
“Iya… tentu saja kami hanya pindah rumah yang masih di sekitar kecamatan ini pak.” Jawabnya cepat.
“Baiklah, kami berikan tenggang waktu setidaknya 10 hari ya bu. Dan akan kami sampaikan juga kepada pak Andi. Sebab beliau juga sudah berkeluarga, mungkin akan membawa serta anak dan istri beliau kesini.”
“Iya terima kasih atas kemurahan hati bapak untuk memberi kami waktu. Sekali lagi, maakan saya dan keluarga ya pak.”
“Tidak masalah bu, sebab dengan adanya ibu tinggal di sekitar sekolah juga selama ini sangat banyak membantu dan menjaga kebersihan lingkingan sekolah. Kami yang harusnya berterima kasih.” Ujar Chaerul dengan penuh kehati-hatian.
Puspa menarik nafa dalam, menyadari bahwa kini mereka harus berkemas untuk pindah dari rumah yang banyak menyimpan kenangan bersama almarhum suaminya tersebut. Tapi, apa mau di kata. Sebab untung memang tak dapat di raih dan malang pun tak dapat di tolak.
Puspa memutar otaknya untuk berpikir, akan kemana mereka pindah rumah. Bukan masalah biaya, sebab selama ini Puspa memang jenis ibu beranak beranak dua yang sangat hemat juga pandai menabung. Tujuannya tidak lain, ingin mengumpulkan uang untuk mendukung tercapainya cita-cita kedua anaknya. Tapi, kemanakah mereka pindah dalam waktu dekat ini.
“Bu Puspa…?” Panggil seseorang saat Puspa baru saja masuk ke kantin sekolah, yang tadi ia tutup karena menghadap kepala sekolah.
“Oh.. bu Tatik. Tumben ke sekolah bu?” Sapanya ramah kepada bu Tatik yang notabene adalah istri Camat ibunya Naila teman Andini.
“Iya, saya ingin bertemu dengan bu Puspa.”
“Oh.. iya ada apa ya bu?” penasaran Puspa.
“Itu, di kantor Bapak lusa akan ada acara. Lumayan mendadak bu, ada tamu dari Kabupaten sekitar 15 orang. Kata bapak perlu kudapan juga makan siang. Saya sudah menghubungi bu Leha, tempat biasa saya berlangganan makanan. Tetapi, beliau tidak menyanggupi bu. Karena, penyakit asam uratnya kambuh katanya. Apa ibu bersedia menerima pesanan tersebut, saya yakin selain membuat kue dan roti, ibu pasti bisa memasak yang lainnya. Bagaimana bu?”
“Aduh… bagaimana ya bu. Sebenarnya sih bisa bu. Tapi maaf saya baru saja dapat sedikit masalah.” Ungkapnya sedikit ragu.
“Masalah apa bu?” Tanya bu Tatik ingin tau. Dan Puspa pun menceritakan perihal rumah yang sedang bermasalah tersebut juga perihal tenggang waktu yang sekolah berikan padanya. Bu Tatik menyimak dengan seksama.
“Oh… itu bukan masalah besar bu. Tidak jauh dari rumah jabatan Camat. Kami punya rumah pribadi yang kebetulan tidak ada yang menempati. Jika ibu mau, silahkan tinggal sementara di sana.”
“Maaf bu… maksudnya tinggal sementara bagaimana?”
“Ya, asalkan ibu merawatnya seperti merawat rumah sendiri saja untuk sementara.”
“Maaf bu, untuk sementara itu tetap harus ada jangka waktu. Dan tinggal dengan merawat bagai rumah sendiri itu bagaimana? Apakah saya harus bayar sewa begitu?”
“Tidak usah bu, tingal secara cuma-cuma saja. Setidaknya hingga bapak tidak menjabat sebagai camat lagi.”
“Maaf bu, kira-kira bapak jadi Camat sampai berapa lama?”
“Nah, kalau untuk itu. Kami juga tidak bisa menetukannya.”
“Kalau begitu, saya juga tidak berani menempatinya bu.” Jawab Puspa tegas.
“Oh… bagaimana jika ibu menyewa di salah satu barak milik kami. Juga tidak jauh dari rumah itu. Tapi, ukurannya sangat kecil bu jika untuk ibu tinggal bertiga. Sebab itu, biasa di gunakan untuk pasangan baru menikah yang mungkin baru punya anak bayi.”
“Oh, tidak apa-apa bu. Lebih baik kami menyewa barak itu saja. Mungkin kami hanya menunggu Nandang lulus SMP ini saja. Untuk tetap tinggal di Kecamatan ini. Sebab, di sini memang belum ada Sekolah Menengah Atas kan bu.” Papar Puspa kemudian.
“Iya juga sih. Berarti kurang lebih 11 bulan saja lagi ya bu.” Tambah bu Tatik lagi.
“Iya insyaallah begitu.”
“Tapi bu, sungguh. Barak itu akan sesak jika ibu dan barang-barang ibu pindah ke sana.”
“Barang kami tidak banyak bu, untuk perabotan seperti kursi, lemari bahkan tempat tidur yang ada itu masih milik Negara mungkin bu. Kami hanya memiliki kasur, bantal guling, beberapa pakaian dan alat makan untuk mendukung jualan saya saja.” Jawab Puspa agak malu.
“Oh… kalau begitu cukup bu. Jadi, tolong ibu terima dulu pesanan saya. Kemudian kami akan bantu kepindahan ibu, bagaimana?”
“Alhamdulilah. Bagaimana dengan harga sewanya bu? Apa saya bayarkan tiap bulan atau langsung untuk setahun saja?”
“Nanti saja kita bicarakan hal itu ya bu. Yang penting ini ibu terima dulu uang untuk belanja modal pesanan saya.”
“Wah… jangan begitu bu. Tolong sebut saja nominalnya, agar saya siapkan.”
Tatik mendengus agak dalam, tak tega sesungguhnya ia menarik uang sewa pada seorang janda ini, terlebih selama ini Andini adalh teman terbaik anak tunggalnya.
“Apakah lima ratus ribu itu terlalu mahal bagi ibu?” tanyanya pelan.
“Mengapa ibu bertanya pada saya? Bukankah barak yang ibu sewakan sudah ada tarif standartnya.” Senyum Puspa agak heran pada Tatik.
“Ya… anak kita kan sahabatan bu. Masa tidak bisa kurang lebih. Kan saya jadi malu menaruh harganya.” Jawab Tatik lagi.
“Bu… saya lebih malu jika harganya tidak sesuai tarif normal.”
“Begini saja. 5 juta untuk setahun ya bu. Terserah ibu mau mulai bayar atau cicilnya mulai bulan kapan.” Tukas Tatik memgambil kesimpulan.
“Masyaallah… ibu baik sekali. Yakin bu?”
“Insyaallah yakin. Dan Deal ya bu.” Tatik menjulurkan tangannya pada Puspa.
“Deal.” Jawab Puspa yang sungguh bersyukur telah mendapat jalan keluar pada masalah yang sempat merusak tatanan pikirannya tadi.
Bersambung…
Hai Readers
Jangan Lupa tinggalkan like mu
Agar emak bisa makin semangat nulisnya
Makasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wanda Revano
ini dikota apa desa y nyak sewa rumahnya.ditempatku kontrak 1th masih 3jt nyak.apa tempat ku yg emang masih desa bgt y
2023-04-12
1
Partini Maesa
biar gx mampu hrs punya harga diri
2022-04-10
2
Ipeh Nurfitria
semanggat mak nan-nin.semanggat uga emak thor
2022-02-22
3