Nandang, Andini jua Puspa sudah pindah ke sebuah barak yang tidak jauh dari rumah Naila. Tapi, rumah itu tidak mereka diami, sebab mereka harus tinggal di rumah jabatan Camat sesuai jabatan yang ayahnya pangku. Tatik istri pak Bagus Pramana alias pak Camat. Sangat menyukai kepribadain anak-anak Puspa. Selain kasihan pada kedua anak yatim itu, beliau juga salut dengan cara Puspa mendidik kedua anaknya yang sangat terlihat mandiri juga tidak malu dalam hal melakukan segala pekerjaan.
Tatik menyadari berapalah gaji pensiun janda yang bisa di terima oleh Puspa dalam tiap bulannya, mungkin nominalnya tidak mencapai 2 juta. Tapi, Tatik juga tau penghasilan harian Puspa berjualan di kantin mungkin bersihnya berkisar 100 sampai 150 ribuan. Kalau hanya untuk makan saja tentu cukup. Tapi untuk biaya lain dan masa depan anak-anaknya tentu saja kurang. Sehingga Tatik meminta ijin untuk meminta Nandang dan Puspa bersedia bekerja untuk merawat rumah mereka yang tidak di diami tersebut. Agar selalu terjaga kebersihannya. Untuk alasan Tatik ingin menambah uang jajan kedua anak Puspa tentunya.
Nandang menerima pekerjaan tersebut dengan senang hati, bahkan merasa beruntung bisa keluar masuk di rumah orang nomor satu di desanya. Di samping itu, Nandang memiliki banyak kesempatan mengetahui lebih banyak sosok seorang Camat yang ia kagumi tersebut. Bagus Pramana memiliki bdan proporsional, gagah, tegap juga tampan. Itu masih sangat jelas terlihat walau kini sudah memasuki usia 42 tahun. Nandang membersihkan seluruh penjuru rumah tersebut, menyapu, memgepel juga membersihkan kaca dan bagian mana saja dengan kemoceng.
Nandang tak dapat menutupi kekagumannya pada Bagus Pramana, terutama saat melihat beliau di masa pendidikannya di Jati Nangor. Nandang membersihkannya sambil mengusap berulang-ulang, sembari membayangkan dirinyalah yang menggunakan pakaian seragam tersebut. Nandang benar-benar tertarik dengan serangam pendidikan tersebut.
“Nandang ya…?” Suara lelaki agak berat yang bagi Nandang sangat mengejutkannya, hingga ia terjatuh dari kursi yang ia gunakan untuk membantu tubuhnya bisa lebih tinggi menggapai foto-fot di dinding rumah itu.
“Aduuh.. eh. Pak Camat. I…Iii ya pak. Saya Nandang.” Gugup Nandang sembari berusaha untuk bangkit dari jatuhnya di bantu Bagus.
“Wah.. maaf nak Nandang. Ternyata saya mengejutkanmu. Apa itu sakit?” ramah Bagus menolong Nandang.
“Eh… tidak pak. Saya tidak apa-apa.”
“Makanya kalau kerja jangan sambil melamun.” Kekeh Bagus pada Nandang yang sangat terlihat malu.
“Hihiiii… saya tidak melamun pak. Hanya sedang terpesona melihat serangan yang bapak pakai di foto itu.” Jujur Nandang.
“Oh… iya itu seragam kebanggan saat sekolah di Jati Nangor. Kenapa kamu juga ingin memgikuti jejak bapak?” Tanya Bagus yang kemudian menyilahkan Nandang duduk di sebelahnya untuk mengobrol.
“Apa bisa saya sekolah sepert itu pak?” polos Nandang.
“Tentu saja bisa. Kamu kelas berapa sekarang?” Tanya Bagus perhatian.
“Kelas IX pak.”
“Oh… kamu lulus SMP tahun ini ya? Kalau di lihat dari postur tubuhmu, lumayan bagus. Tinggi badan mu masih bisa terkejar dalam 2 atau 3 tahun lagi. Bagaimana dengan nilai raport mu?”
“Alhamdulilah pak, tidak jauh tertinggal dari rata-rata.” Bohong Nandang merendah, jelas-jelasdia selalu menjadi juara umum sebab nilainyha selalu tertinggi di antara teman seangkatannya.
“Nanti SMA melanjutkan di mana?”
“Belum tau pa. Kata emak mungkin kami akan pindah ke kota, sebab di kecamatan kita ini belum ada SMA untuk melanjutkan.”
“Iya… inilah kelemahan desa kita, terlalu jauh dan terpencil, sehingga harus desa lain untuk mengejar sekolah menengah atas.”
“Mungkin hanya belum ya pak?”
“Iya tentu saja… mungkin tahun depan baru akan masuk pembangunan SMA di desa ini. Saran bapak, nanti kalau melanjutkan sekolah di kota. Harus yang negeri ya Nandang. Dan pertahankan prestasi nilaimu. Jika ada seleksi baris-berbaris untuk menjadi paskibraka, harus di ikuti. Kegiatan pramuka juga kamu ikuti, olah raga fisik pun harus kamu geluti. Agar fisikmu terbiasa kuat. Badanmu terbentuk, sehingga kamu bisa di terima di sekolah tinggi kedinasan itu, sekarang namanya Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau di singkat IPDN.” Papar Bagus pada Nandang yang terlihat begitu antusias.
“Apa syaratnya berat pa untuk masuk sekolah itu?”
“Bagaimana ya nak Nadang. Mau di katakana berat buktinya banyak saja yang berhasil masuk. Dikatakan ringan pun tidak boleh di sepelekan.” Ambigu jawaban Bagus.
“Mengapa pak?”
“Ah… standar sih Nan. Seperti kebanyak sekolah lain yang sifatnya ikatan dinas, yaitu calon peserta tidak teribat dengan criminal, tidak bertindik bagi laki-laki. Tidak bertato, tidak rabun, tidak juga buta warna, belum menikah dan banyak lagi persyaratan umumnya.”
“Apakah jika berhssil lulus, akan mendapatkan NIP pak?”
“Hahaha…. Kamu lucu Nandang. Yang namanya sekolah ikatan dinas tentu saja begitu lulus akan langsung mendapat NIP, dan kamu akan langsung di tempat yang sudah di tentukan.”
“Ooooh begitu. Mantap ya Pak. Lalu apakah semua orang lulusan sekolah itu bisa menjadi pejabat Camat seperti bapak?”
“Untuk hal itu, tidak bisa di pastikan Nan. Tergantung dari kinerja personalnya. Walaupun kebanyakkan memang lulusan IPDN akan ,menjadi pimpinan mulai dari tingkat keurahan dan kecamatan. Ada juga yang di tarik menjadi ajudan Bupati atau Gubernur. Semua tergantung nasib dan keberungtungan seseorang.” Jelas Bagus kembali pada Nandang.
“Berarti pak. Kalau sudah lulus sekolah ini pasti akan menjadi seorang pegawi negeri tanpa repot melamar pekerjaan ya. Waah… saya sangat tertarik pak.” Tukas Nandang bersemangat.
“Belajar yang giat ya Nan. Jaga pergaulan, merokok pun tak boleh lho. Itu akan membuatmu gagal. Nanti bapak bantu mencarikan jalurnya untukmu bisa masuk IPDN tersebut. Tapi…”
“Tapi apa pak?”
“Itu tadi, jangan sampai membuat bapak malu jika nanti bapak yang meromendasi kamu masuk kesekolah terebut.”
“Insyaallah pak.” Jawab Nandang berdiri. Kembali ingin melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
“Oh iya.. lupa bertanya. Bapak ada apa ke sini? Apakah bapak ingin meminum sesuatu? Saya bisa buatkan untuk bapak. Sepertinya stok teh, kopi dan gula sangat banyak di dapur rumah bapak ini.” Tawar Nandang ramah pada sang pemilik rumah.
“Tidak… tidak usah repot-repot Nan. Bapak sudah makan dari rumah. Kesini tadi, ada yang ingin bapak ambil saja di kamar. Mari… silahkan lanjutkan pekerjaanmu ya.” Lanjut Bagus yang kemudian masuk ke kamar pribadinya.
Sedari tadi Puspa di luar, bermaksud ingin membantu pekerjaan Nandang agar segera selesai. Tapi saat ia ingin masuk ia justru mendengar percakapan antara pak Camat dan anak lelakinya. Dada Puspa berguruh terharu, bahwa masih ada manusia yang Tuhan ciptakan memiliki hati peduli pada sesama. Inilah kelemahannya lahir sebagai wanita biasa, hidup di desa juga hanya lulus SMA. Berharap menikah dengan seorang guru SMP, nantinya aka nada yang akan mendidik dan mengayomi anak-anak mereka, tapi sudah tidak Tuhan ijinkan untuk berjuang bersamanya di dunia.
Bersambung…
Semoga berkenan ya🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Linggawaty
IPDN keren👍🏻 suamiku alumni IPDN, ijin PM, mampir di. Karyaku “Aku hanya inginkan Om” ya… makasih😉
2022-03-13
3
Conny Radiansyah
siapa Gilang, tiba" nongol... ada typo Thor.
btw Mak Puspa, semoga Nandang menjadi orang sukses dimasa depan
2022-02-06
3
Yen Lamour
Next kak❤️aku slalu dukung terus karya kakak😍+🌹
2022-02-05
7