Puspa dan kedua anaknya selanjutnya hidup tak seperti tatanan sebelumnya, jarak rumah dengan tempat berjualan juga ternyata mempengaruhi kemampuan Puspa dalam hal membagi waktu. Namun tetap pantang menyerah untuk terus giat berusaha. Puspa pun mendengarkan saran Andini untuk mereka memiliki sepeda motor untuk memudahkan mobilitas dalam hal angkutan jualan Puspa juga menyingkat waktu tentunya.
Berkat kedekatan Puspa dengan Tatik, juga pertemanan kental antara Naila dan Andini. Mereka pun mendapatkan kemudahan untuk menelusuri nota jual beli tanah yang ada di Kota Bandung. Tempat itu lumayan jauh dari pusat kota, bahkan bisa di katakana itu adalah pinggiran kota, Dan bahkan maaf tempat itu dekat dengan komplek lokalisasi jual beli perempuan dan prostitusi.
Puspa tak punya pilihan lain, mengingat hanya tanah itu yang sudah mendiang suaminya belikan untuknya dan anak-anak. Maka dengan modal meminjam pada bank dengan jaminan SK dan gaji pensiun suaminya. Puspa kini dapat membangun sebuah rumah sederhana dengan ukuran 10x17 dengan terdiri dari dua kamar, satu dapur, ruang keluarga tanpa ruang tamu, mengingat banguan tersebut tidaklah besar, namun cukup untuk mereka tempati untuk berteduh di kala panas terik dan hujan turun.
Dua tahun berlalu, Nandang sudah tumbuh menjadi remaja tampan berseragam putih abu-abu. Tapi masih setia dengan sepeda pacalnya untuk pergi kesekolah dan memenuhi segala kegiatannya. Puspa tidak lagi sebagai pengelola kantin tentunya. Tapi tetap menjadi pembuat kue seperti saat mereka masih di desa. Dan tetap di lakukan tiap subuh jam 3 untuk di jajakan di pagi hari. Nandang tetap tak malu membawa kue itu untuk di titip di kantin sekolah.
“Nandang… mamaku boleh pesan kue atau tidak. Katanya mau ada arisan gitu di rumah.” Ghea teman akrab Nandang tiba-tiba mendekati saat waktu istrirahat tiba. Saat kelas 1 mereka sekelas. Tapi tidak dengan sekarang, mereka sudah beda kelas. Tapi tidak menyurutkan keduanya saling akrab.
“Oh tentu bisa Ghea. Kamu tuliksan di sini ya, pesan berapa dan untuk hari dan jam berapa?” Nandang memberikan secarik kertas pada Ghea.
“Apaan niih surat cinta?” serobot Ratna, menarik selembar kertas di tangan Ghea yang sudah selesai ia tulis dan akan di serahkan pada Nandang.
“Ih.. kamu apaan sih Rat…?” Berang Ghea menyadai kertas itu sudah di remas oleh Ratna.
“Hah… ga usah malu gitu. Semua juga tau kamu suka kan sama Nandang. Norak banget sih kalian. Kecil-kecil sudah pacar-pacaran.” Cerocor Ratna pada Nandang dan Ghea yang masih berdiri saling tatap dan bingung dengan yang di katakana Ratna.
“Ngomong apa sih?”
“Sudah ga usah di tangepin, tulis ulang deh. Kalau kamu Cuma bilang nanti aku lupa.” Cuek Nandang tak memperdulikan Ratna yang wajahnya sudah mirip udang masak, karena malu tuduhannya justru tidak di tanggapi oleh keduanya.
Tiga hari kemudian Nandang sudah sampai ke rumah Ghea. Untuk mengantar pesanan ibunya Ghea.
“Nandang… jangan pulang dulu. Tante titp makanan buat kalian ya.”
“Jangan tidak usah repot-repot tante.”
“Ga papa. Tante pesannya banyak kok. Tunggu tante bungkuskan dulu.” Ramah ibu Ghea pada Nandang. Yang tentu sudah banyak mendapat crita dari Ghea, bahwa Nandangadalah anak seorang janda yang hidup mereka hanya mengandalkan sisa gaji pensiun yang sudah terpotong utang.
Nandang memacu sepedanya penuh semangat, betapa tidak ia sudah di bekali opor ayam, sambal goring kentang juga sayur lainnya. Nandang tak sabar untuk membaginya pada ibu dan adiknya. Hingga tak sadar ia terlalu cepat memacu sepedanya, sampai tak sempat lagi merem lajunya roda itu, hingga menabrak seorang wanita agak tambun berjalan agak oleng.
“Tante… tante… awas… tante.. awaaasss.!!!” Sepeda Nandang tidak ada klaksonnya, juga tidak ada kring-kringannya. Sehingga berteriak pun hanya orang kira. Dia sedang tidak berbicara pada siapa.
“Aduuuh… dasar breng sek…!!!” geram wanita yang sudah sukses terduduk dengan posisi kaki terjulur di atas aspal, menimbulkan cidera di siku wanita itu.
“Aduh… maaf tante. Maaf Nandang tidak sengaja.”
“Maaf.. maaf. Kamu kira maafmu bisa buat luka ini ga jadi luka? Bantu saya berdiri.” Hardiknya pada Nandang yang walau baru kelas XI atau kelas dua SMA itu, tapi ,memiliki postur tubuh yang proporsional.
“I..iiya. Maaf tante maaf.” Nandang dengan susah payah mengangkat tubuh itu agar berhasil berdiri.
“Tante… tante. Kapan saya nikah sama om kamu, hah. Antar saya kerumah.” Pintanya.
“Ah… tapi . Anu…”
“Kenapa kamu mau lari dari tanggung jawab, dasar bocah tengil, main tabrak lalu mau melarikan diri. Setidaknya kamu harus memberi saya uang untuk membeli obat luka ini.”
“Wah.. saya tidak punya uang tante.”
“Bohong…!!!” Ujarnya merogoh kantung celana Nandang.
“Ja… jangan tante.” Rengek Nandang.
“Ini apa…?” Tante itu sudah berhasil mengeluarkan isi dalam kantong Nandang.
“Tante jjjaaa…jangan. Itu uang jualan kue emak. Jangan di ambil. I..iiya nanti saya ikut tante, kerumah untuk mengobati luka itu.” Jawab Nandang mengalah.
“Bagus, ikuti saya.” Ujarnya dengan langkah kaki yang memang tidak senormal tadi, agtak pincang karena kerasnya tabrakan sepeda Nandang tadi.
Nandang sudah masuk dalam sebuah banguananyang di tutup gerbang tinggi. Dan betapa takjubnya Nandang, ternyata di dalamnya terdapat sebuah bangunan besar, dan banyak mobil terparkir diu dalamnya. Di sisinya juga banyak rumah-rumah bagai komplekan dengan bangunan yang rata-rata bentuknya. Nandang sungguh tidak mengira bahwa di dalam sana terdapat kehidupan manusia, bahkan bisa di katakana padat. Ia mengira tembik tinggi yang bagian luarnya di tumbuhi ilalang tinggi itu tak berpenghuni. Ternyata bahkan ru.”mah itu lebih dari 20 bangunan.
“Parkirkan sepedamu di sana.” Perintah wanita itu dengan nada agak keras.
“Iiya..” Jawab Nadang agfak bingung. Dengan bungkusan makanan yang di berikan oleh ibu Ghea tadi. Ingin di bawa takut di minta, di taruh di luar juga takut di gondola kucing.
“Lama sekali sih… kenapa? Mau lari…?”
“Oh… ti .. tidak tante.” Jawab Nandang akhirnya membawa bungkusan itu pasrah. Merasa lebih baik makanan itu di makan manusia dari pada binatang.
Tante itu mengeluarkan kotak P3K lalu memberikannya pada Nandang.
“Nih… cepat obati lukaku.” Perintahnya. MUngkin karena bentuk badan tambunhya, membuat wanita itu agak susah menjangkau bagian sikunya yang terluka. Nandang mulai membersihkan luka wanita itu dengan cermat dan hati-hati.
“Siapa namamu? Tanyanya.
“Nandang, tante.”
“Dimana rumahmu?
“Di sebelah kanan simpangan depan tadi tante.”
“Masih sekolah?”
“Iya kelas dua SMA.”
“Tinggal dengan siapa?”
“Emak dan adik.” Jawab Nandang singkat dan jelas.
“Bapakmu?”
“Sudaj 7 tahun meninggal dunia tante.”
“Innalilahiwainalilahirojiun.” Jawabnya.
“Apa pekerjaan ibumu?”
“Tidak ada, tante. Hanya berjulan kue.” Jawab Nandang lagi.
“Hah…? Jualan kue? Kue apa?”
“Roti panggang dan roti goreng, untuk-untuk namanya.”
“Masa hanya berjualan kue itu cukup untuk menghidupi kalian.”
“Alhamdulilah. Selama ini cukup saja tante.”
“Bilang pada ibu mu, tante punya pekerjaan yang akan banyak menghasilkan uang dengan cepat dan tidak capek.” Tawar wanita tambun itu pada Nandang.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wanda Revano
arep kog jual kah Tan emak puspa.
2023-04-13
1
Conny Radiansyah
jangan bilang itu "tante girang" Thor.
kerja ga capek dan cepat dapat uang, kerja apaan tuh ...
2022-02-06
3
skylow
wahh dksh kerjaan apa nich....
2022-02-05
2