Puspa menatap haru pada Onel yang sempat meneteskan air mata. Ia tau tak semua orang yang bekerja di sana atas keinginannya sendiri. Mungkin mereka tak punya pilihan lain, juga terdesak karena kondisi yang memaksa melakukan pekerjaan tersebut. Walaupun sebagian juga atas kesadaran sendiri merasa nyaman mencari uang dengan menghalalkan segala cara.
"Mami... emak tidak akan memberikan ijin pada teman emak, jika mami tidak ijinkan. Bagi emak, kami sekeluarga sekarang punya penghasilan tambahan yang luar biasa menyokong ekonomi keluarga kami ini sungguh rahmat luar biasa dari Allah SWT."
"Ah... tidak mak. Silahkan saja ajak temanmu itu. Tapi sebelumnya katakan padanya dengan jelas jika di sini itu tempat orang yang kerjaannya ga bener. Kalo hanya untuk kerja yang bener-bener kerja kaya emak, silahkan. Tapi jangan sampai kami dengar dia cerita apa-apa di luar sana. Intinya kami tidak mengusik jadi juga tidak mau terusik."
"Baiklah... hal itu akan emak sampaikan padanya."
"Jangan bawa dia ke sini dulu. Nanti kita ketemuan di mana saja. Tapi tidak di sini " pinta Onel kembali.
"Hummm baiklah. Kenapa mami begitu pada orang yang akan bekerja di sini. Padahal saat mami menerima emak dulu tidak begini." telisik Puspa.
"Entahlah, walau pekerjaanku penuh dosa. Setidaknya aku masih punya hati yang peka. Saat bertemu Nandang, hatiku berkata dia anak yang baik, bertanggung jawab juga masih lugu. Sehingga aku yakin dia pasti berasal dari keluarga yang mendidik anaknya dengan benar." Jawab Onel dengan lugas.
"Terima kasih atas penilaian mami pada Nandang."
"Dan ternyata benar saja, selama ini tak pernah aku mendengar kalian menghina pekerjaan kami. Mau tau pekerjaan kami pun tidak pernah."
"Mami... mami. Kan pekerjaan kami hanya ngelaundry juga bersih rumah. Kalo harus di suruh ngurusi kerjaannya mami dan lainnya, ntar rupiahnya ga terkejar mi." Kekeh Puspa ingin mencairkan suasana.
"Aku senang dengan cara berpikir mu yang menular dengan anak-anakmu Mak. Mestinya saya malu dengan kalian, yang rela cape tapi tetap memilih bertahan hidup dengan mata pencaharian yang walau lelah namun tetap tabah menjalaninya."
"Jangan berlebihan Mi. Kami hanya terbiasa hidup prihatin saja. Sehingga lekas merasa cukup dengan penghasilan yang sedikit ini. Walau kadang cape, tapi semua hilang saat melihat rupiahnya terkumpul."
"Tidak berlebihan, hanya kadang aku iri dengan keteguhan hatimu. Emak yang sangat mandiri, patut di tiru oleh anak-anakmu. Mami doakan Nandang dan Andini jadi orang sukses ya mak."
"Amin. Maaf mi, apakah boleh emak meminta sesuatu?"
"Apa itu?"
"Emak cuma minta, agar mami menganggap kami seperti keluarga sendiri. Anggaplah Nandang dan Andini seperti anak mami yang juga perlu mami jaga dan lindungi."
"Maak... mak. Kamu itu lucu. Minta jaga kok dengan muci kari. Kamu yakin telah meminta tolong pada orang yang salah?"
"Mami... emak yakin kalau mami itu aslinya orang baik. Jadi emak yakin, mami akan bisa bantu mendidik dan mengarahkan mereka nanti."
"Tapi kamu sendiri kan tau, mami di jalan sesat mak?"
"Hanya orang yang memegang kompasnya yang tau jika jalan itu salah. Bukankan mami bisa mengarahkan mereka ke jalan yang benar." pancing Puspa.
"Ah .... sudah lah mak. Buruan pulang sana. Keburu hilang mataharinya. Soal pertemuan dengan temanmu. Emak atur saja kapan dan di mana. Mami akan datang."
"Baiklah. Siap mami." Jawab Puspa yang motornya sudah penuh akan muatan pakaian kotor.
Penghasilan Puspa sehari-hari kini bahkan bisa menembus 500rb/hari. Dapat di bayangkan bukan berapa yang yang bisa Puspa kumpulkan dalam satu bulan. Pemasukan mereka bahkan sudah melewati gaji PNS golongan IV.
Namun, hanya pemasukan mereka yang bertambah, sedangkan keseharian mereka, tetap saja irit. Lebih sering lauk tahu tempe dan sayur saja. Makan mereka tetap seadanya, penampilan mereka tetap bersahaja. Sehingga tak nampak mencolok perubahan mereka.
Sebab kini rekening atas nama Nandang dan Andini yang makin gendut. Puspa benar menyerahkan uang sesuai pembagian mereka di awal. Sehingga keduanya semakin bersemangat dalam hal mengumpulkan rupiahnya masing-masing. Mereka bahkan rela tidak banyak jajan. Dan memilih berbelanja dengan uang hasil jualan kue, seperti biasanya saja.
Waktu terus berjalan. perekonomian mereka semakin membaik bahkan berlebih. Dana untuk Nandang kuliah atau melanjutkan institut yang ia inginkan pun sudah terkumpul walau tidak banyak. Namun, mampulah bersaing jika itu di perlukan.
Diam-diam Puspa sudah menyiapkan kejutan untuk Nandang. Dengan pemikiran yang telah bulat dan matang, ia sudah memilih sendiri sebuah kendaraan matic baru untuk putra sulungnya yang akan berulang tahun 3 hari kemudian. Dan saat itu usia Nandang adalah 18 tahun. Sudah waktunya memiliki SIM dan sudah sangat boleh mengendarai kemdaraan roda dua.
"Nan... gimana persiapan masuk perguruan tingginya... apa sudah siap ambil jurusan apa?" tanya Puspa pada Nandang yang sudah menunggu masa tenang setelah ujian nasional.
"Sudah sejak bulan April lalu Nandang sudah daftar untuk IPDN mak. Tunggu kabar selanjutnya saja."
"Alhamdulilah. Banyak berdoa dan jangan lengah belajar juga berlatih ya nak. Agar di terima. Jangan pikirkan kemungkinan dapatnya, berikan juga rongga kosong untuk kemungkinan terburuknya."
"Insyaallah, Nandang juga akan mencoba mendaftar di perguruan tinggi ambil jurusan hukum mak."
"Doa terbaik emak selalu untukmu Nan." Jawab Puspa senang.
"Mak... emak tidak penasaran Andini nanti ambil jurusan apa?" celetuk Andini yang selalu ceriwis.
"Ndin kan baru berseragam putih abu tahun ini. Masa sudah di tanya lulusnya mau jadi apa?" kekeh emak di sela waktu mereka membungkus pakaian ke dalam plastik.
"Ya kak Nan, mau masuk IPDN juga sudah dari lama. Sejak kita masih di desa malahan iya kan kak?"
"Iya..." Jawab Nandang singkat dengan pikiran yang melayang mundur ke masa mereka masih di desa. Saat ia ngobrol dengan pak Camat ayah Naila. "Ah... apa kabar cewek chuby, mon tok, si cinta pertamaku itu." Batin Nandang dalam hati. Ya, sejak mimpi basah pertamanya tentang ciumannya pada Naila itu, Nandang yakin ternyata ia sangat suka dengan cewek bertubuh tidak langsing itu. Mungkin terlalu cepat bicara cinta di usia yang belum genap 18 tahun. Tapi, entah Nandang terlalu bangga dan senang membingkai nama Naila menjadi wanita terindah dalam hatinya. Padahal sudah hampir 3 tahun mereka tak saling bertukar kabar.
"Jadi... Ndin maunya kuliah apa nanti?" Tanya Puspa yang harus adil pada kedua anaknnya.
"He...he.. Ndin mau jadi guru matematika seperti ayah, mak. Ndin cita-citanya sama seperti Naila." Ujar Andini tanpa beban menyebut nama Naila. Yang justru berhasil menghadirkan gempa kecil di hati Nandang.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Rahayu
bawang merahhhh iniii.....😭😭😭😭😭😭
2022-04-01
2
Yen Lamour
Smoga mimpi nandang andini tercapai ya🙏
2022-02-18
4
Suparti Ginanjar
lanjut
2022-02-18
4