“Hayooo kakak ada janjian apa sama emak…?” Suara Andini dari kamar sebelah yang rupanya sudah bangun.
Nandang panik lalu segera masuk kemarnya untuk mengalihkan kejaran Andini.
“Mak… kakak ada janji apa sama emak? Andin ga di ajak?” rengek Andini pada mak Puspa.
“Tidak ada janji apa-apa. Tadi cuma janji hari ini emak saja yang antar kue ke langganan?” bohong Puspa pada Andini.
“Masa… gitu aja pakai janjian?” Andini mencuci mukanya dan tangan kemudian melumuri telapak tangannya dengan minyak goreng untuk segera membantu mak Puspa menguleni adonan kuenya.
“Masa gitu aja Andin ga percaya sama emak?” Puspa balik bertanya.
Andini pun tertawa pada emaknya.
“Tempat tidur sudah rapi Ndin?” mak Puspa Memastikan.
“Sudah mak. Lebih sebentar merapikan tempat tidur mak, tidak sampai 5 menit, ketimbang ga di rapikan. Bisa 5 jam di omelin oleh mak.” Kekeh Andini pada Puspa.
“Tentu saja, tempat tidur itu adalah tempat paling pribadi Ndin. Sama seperti WC. Dengan sepintas orang melihat suasana kamar mu atau WCmu, orang akan dapat menilai bagaimana kualitas pribadimu. Sebab di dua tempat itulah kita paling lama berdiam diri, sendiri setiap hari.”
“Masa mak? Andin mana pernah lama di WC?”
“Iya tapi tiap pagi absennya di sanakan? Coba kalau WCnya kotor, sedangkan itu adalah tempat pertama yang kita datangi setelah bangun tidur. Kita bisa bete seharian lho Ndin kalau bangun pagi liat yang kotor-kotor. Kalo sudah bête, lalu wajah merengut seharian, kalau sudah merengut, membuka pintu dan jendela di pagi hari saja dengan wajah masam. Itu rejeki yang tadinya mau datang beramai-ramai kerumah kita, ga jadi datang, liat tuan rumahnya cemberut macam limau purut.” Puspa memberikan filosofi pada anak nya yang belum jadi gadis ini.
“Hm… begitu ya mak. Pantesan emak selalu marah jika sore-sore Ndin atau kakak Nan belum bersihkan kamar mandi.” Urai Andini mengingatkan topik utama sang emak biasanya ngedumel.
“Kalau tempat tidur, tak perlu mak jelaskan ya. Bahwa wajib dalam keadaan bersih dan rapi.”
“Wajib juga dong ma di jelaskan, emang kenapa mak?”
“Ya supaya penghuninya selalu betah masuk untuk beristirahatlah. Apalagi nanti jika kamu sudah menjadi gadis lalu menikah punya suami. Tempat itu harus selalu kencang, rapid an wangi. Agar suamimu betah untuk selalu tidur dan beristirahat di dalamnya bersama kamu.”
“Haha…haha… mak lucu. Kalau suami istri kan memang pasti selalu tidur bersama dalam kamar bersama istrinya mak. Masa akan tidur bersama orang lain. Emak-emak.” Tawa Andini mengguruh, Sungguh tak mengerti dengan arah pembicaraan sang emak, yang sudah melewati hampir mendekati setengah abad itu.
Puspa hanya menghela nafasnya, sadar jika lawan bicaranya masih bocah yang baru berseragam putih biru bahkan belum mendapat haid pertamanya.
”Wooii… tumben kakak subuh-subuh sudah ngelepas seprei. Ngompol yaaa….?” Ledek Andini tiba-tiba saat melihat Nandang berjalan pelan membawa gumpalan alas tidur di tangannya.
“Ye.. siapa yang ngompol?”
“Laah itu… bawa alas tidur buat di cuci, ini masih subuh kakak.” Cecar Andini.
“Terus… tunggu mataharinya ketawa di atas kepalamu gitu, kakak baru nyuci?” Ketus Nandang agak kesal di ledek oleh Andini.
“Ya.. ga gitu juga. Setelah panggang roti juga bisa.”
“Suka-suka lah. Kamu mau nyuci buat kakak?”
“Ya ga juga sih.” Jawab Andini melemah.
“Makanya jangan bawel.” Umpat Nandang. Yang kemudian terdengar sibuk mengucek alas tidurnya yang ternoda oleh mimpi basahnya beberapa jam yang lalu.
“Ndin… sepagi ini, di hindari lah bicara yang sekira membuat emosi lawan bicaramu. Hal itu juga akan menimbulkan kemarahan yang berkelanjutan, juga akan menimbulkan kekesalan terhadp orang lain. Itu dosa nak.” Tegur puspa pada Andin. Yang entah pagi ini tiba-tiba mellow. Terutama setelah mengetahui jika putranya sudah memasuki mas pubertas.
Andini hanya mengangguk keki, mencoba mecerna dan tidak menolak semua yang ibunya sampaikan padanya bagai kuliah subuh itu.
“Mas Dehen… jika saja mas tidak cepat kembali ke sang pencipta, mungkin mas yang akan menjelaskan dan membimbing Nandang memasuki masa akil baliqnya ini.” Batin Puspa nelangsa mengingat suaminya yang sudah 5 tahun meninggalkan mereka.
Sinar mentari sudah muncul lurus, selurus jemuran alas tidur yang Nandang cuci tadi pagi. Tampak kencang membentang di atas tali tambang. Tes… tes, Nampak air menetes, pertanda tak kuat Nandang peras tampak berjatuhan ke tanah. Ya, mereka hanya mengandalkan perasan manual untuk mencuci pakaian, berharap matahari di siang hari dengan galaknya menjilati bahkan mengisap uap yang timbul dari pakaian yang mereka cuci agar segera kering. Maka dalam keadaan pakaian itu masih panas dari jemuran, adalah tugas Andini untuk segera memetiknya untuk segera melipat dalam keadaan panas tersebut, agar hasilnya kencang seperti habis di setrika, rapi.
Puspa selalu mendidik kedua anaknya dengan disiplin tapi bukan berarti kejam. Lebih ke arah tertib saja. Tugas Nandang dan Andini terkoordinir dengan jelas, dalam hal pembagian tugas. Bahkan tidak peduli dengan jenis kelamin kedua anaknya yang berbeda, Puspa tetap mengajarkan keduanya bisa bekerja di dapur untuk memasak, membersihkan rumah dan pekarangan. Apalagi selama anak-anaknya menimba ilmu, Puspa juga menghabiskan waktunya di kantin untuk berjualan.
Kadang di hari-hari tertentu Puspa kadang membuat nasi goreng, kadang juga membuat soto, godokan mie instan sudah pasti semua ia sediakan di kantin tersebut. Kantinnya juga menyediakan aneka snack ringan dan minuman dingin segar yang tentu menimbulkan sampah di jam akhir sekolah. Alhasil, tidak semua warga sekolah dapat menjaga kebersihan sesuai dengan petunjuk guru, juga tidak sepenuhnya sadar akan pentingnya kebersihan sekolah.
Maka tiap menjelang senja, tugas Nandang lah memunguti dan membakar sampah tersebut. Agar keadaan sekitar sekolah selalu bersih terjaga. Dengan demikian mereka akan tetap dipercaya untuk boleh mendiami rumah dinas penjaga sekolah tersebut. Walau kini bukan mereka lagi penjaga sekolah.
Namun, Nandang pernah di panggil oleh penjaga sekolah yang kini menjabat di sekolah tersebut, bahwa meminta mereka mengosongkan rumah dinas tersebut. Sebab dialah kini yang mejabat sebagai penjaga sekolah tersebut. Dan hal itu pun Nandang sampaikan pada Puspa.
“Mak… Kemarin pak Andi datang menemui Nandang di kelas. “
“Pak Andi siapa?”
“Itu penjaga sekolah yang baru saja di terima di sekolah ini mak.”
“Oh… apa yang di katakana beliau saat menemuimu?”
“Katanya… sebaiknya kita tidak menempati rumah dinas ini lagi mak. Karena beliaulah yang menjadi penjaga sekolah sekarang. Bukan Kita.” Ucap Nandang dengan pelan pada Puspa.
“Iya dia benar Nan. Tapi, dulu waktu ayahmu masih ada, rumah ini sudah di beli oleh ayahmu. Jadi statusnya bukan rumah dinas lagi. Hanya, jual beli itu terjadi pada masa jabatan kepala sekolah sebelumnya. Waktu pak Sarwo masih ada. Tapi sekarang baik pak Sarwo dan ayahmu semua sudah meninggal. Apa mungkin orang akan percaya jika rumah ini sudah menjadi milik kita?” Puspa sedikit meragu.
Berambung…
Jangan lupa tinggalkan jejak like n komen agar Otor selalu semangat menulis yaaa
Terima kasih 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wanda Revano
apa gak ada sertifikatnya Mak atau surat diatas matre gitu mak
2023-04-12
1
mumu
aku balik lagi Thor, nyicil ya ☺️
2022-05-24
2
Rahayu
baru baca.....udah syemangat banget buat bacanya...
2022-04-01
3