Nandang mendengar cerita yang emaknya sampaikan dengan seksama.
"Kalau memang rumah ini pernah di beli. Pasti ada bukti pembeliannya kan bu?"
"Ya tentu saja ada Nan. Nanti malam bantu emak buka berkas ayah ya Nan. Supaya besok ibu bisa menghadap kepala sekolah, agar kita tidak di pindah dari sini." pinta emak pada Nandang.
"Baik mak. Mak, Nan ijin bermain volly di lapangan ya. Bulan depan ada lomba antar desa, biasa tujuhbelasan mak."
"Iya... kamu hati-hati. Bawa minum dari rumah Nan. Supaya ga beli-beli." saran Puspa yang memang selalu irit.
"Iya pasti lah mak." Jawab Nandang juga yang sudah sangat hapal dengan permintaan sang emak. Kemudian memacu sepedanya.
"Kakak kemana mak?" tanya Andini yang barh selesai memetik jemuran, agak kewalahan sebab alas tidur Nandang juga termasuk tanggung jawabnya untuk mengangkat dan melipat.
"Latihan volly katanya."
"Hmm... setelah selesai ini, Ndin juga pamit latihan karate ya mak di lapangan SD." Ujar Andini yang memang sejak duduk di kelas 4 SD sudah menekuni olahbraga bela diri tersebut.
"Iya... tapi. Sepeda sudah di bawa kakakmu."
"Ga papa mak, nanti Ndin berjalan kaki saja. Tidak sejauh lapangan tempat kakak bermain Volly juga kok, mak." Ujarnya dengan gerakan tangan yang makin cepat melipat pakaian.
"Nanti, biar emak yang masukan pakaian ke dalam lemari. Supaya Ndin tidak terlambat latihan karatenya." Emak Puspa memang pengertian.
Sang penguasa langit malam telah bertengger dengan angkuhnya, memberi sinar terang seluas jagad raya. Dalam sebuah rumah kecil seorang janda beranak 2 itu sudah sejak sore terlihat sibuk membongkar tas berkas yang sudah usang. Siapa lagi kalau bukan Puspa yang tidak tau di mana kuitansi jual beli rumah yang mereka huni sekarang.
Hatciiis
"Mak.. Ndin sudah bersin-bersin nih banti emak cari yang emak maksud kok ga dapet-dapet siih?"
"Iya gimana namanya emak lupa." jawab Puspa yang sudah 3 kali membongkar tempat berkas yang sama.
"Mak... kalo memang pernah terjadi jual beli, apa bukan suratnya di miliki oleh kedua pihak mak?" tanya Nandang tiba-tiba.
"Iya benar. Tapi pas Sarwo kan juga sudah Alm. Nan." Jawab emak frustasi.
"Tapi kan itu di beli dari pihak sekolah mak, bukan untuk kepentingan pribadi. Pasti ada arsip di sekolah. Cape mak.. udah hampir pukul 9 ini. Bisa telat ngadon bahan kue untuk besok." Rutu Nandang.
Puspa mendengus kesal. Kenapa seceroboh itu dia menyimpan hal sepenting itu.
"Ya sudah. Bantu mak beresin lagi. Besok mak menghadap kepala sekolah saja. Seperti yang kamu bilang, Nan. Semoga masih ada arsip surat jual beli itu di sekolah." Harap Puspa.
Pagi menjelang, jualan kue untuk-untuk Puspa sudah siap di antar dan jajakan oleh kedua anaknya. Untuk urusan pencatatan pemesan Andini urusannya. Sebab, ia lumayan baik dalam hal mengingat dan rapi menulis. Nandang tentu orang yang paling bertanggung jawab dalam urusan pengantaran.
Nandang paling suka jika yang memesan adalah pas Camat. Selain selalu memesan dalam jumlah banyak, Nandang pun punya kesempatan melihat Naila adik kelasnya juga teman akrab Andini.
Naila anak tunggal, kulitnya putih badannya agak tambun, sehingga pipinya sangat chubi membuat parasnya semakin imut. Entah kenapa, tiap kali Nandang melihatnya, seolah ada magnet yang membuatnya tertarik untuk selalu memandang bahkan tanpa berkedip. Mungkin itu sebabnya, sampai Naila yerbawa ke dalam mimipinya Nandang.
Naila sering jadi bahan olok-olokan temannya karena postur tubuhnya itu kadang menjadi sasaran empuk untuk di bully. Ia kadang hanya berlari menangis dan meminta pembelaan dari sahabatnya Andini. Yang pasti selalu memberikan pelukan perlindungan untuk Naila.
Walau tubuh Andini jauh lebih kecil dari Naila, tapi karena ia menguasai ilmu bela diri. Naila selalu disegani teman atau lawan jenisnya. Belum lagi kalau sampai mereka di laporkan pada Nandang. Hmm... bisa habis mereka di hajar oleh Nandang.
"Ka Nan. Ayoo pulang. Bu Tatik sudah bayar harga kuenya." tegur Andini sebab sedari tadi Nandang hanya melongo ke arah dalam rumah pak Camat, karena sangat ingin melihat Naila.
"Oh... eh.. iiyaa." Buyarlah lamunan Nandang.
"Liatin apa sih Kak?" Andini menengok, ikut memandang kedalam rumah Naila.
"E.. ga... ga liat apa-apa." Gugup Nandang yang kemudian memalingkan arah sepedanya akan kembali pulang dengan kecepatan penuh. Sebab pukul enam sudah lewat.
"Permisi pak Kepala Sekolah. Boleh saya masuk. Ada yang ingin saya tanyakan." ucap Puspa setelah mengetuk pintu yang sudah terbuka.
"Oh... bu Puspa. Ia silahkan masuk bu." Ramah pak Chaerul sang kepala sekolah.
"Ah... begini pa. Sebelumnya maaf lancang. Saya mau bertanya, apakah di sekolah ini benar sudah ada petugas penjaga sekolah yang baru?" tanya Puspa bertanya dengan sopan.
"Oh... iya bu. Pak Andi baru 1 minggu ini mendapat SK akan bertugas menjadi penjaga sekolah di sini." Jawab pak Chaerul tak kalah sopan.
"Nah... jadi. Beliau sudah menemui anak saya Nandang. Beliau meminta agar kami tidak lagi menempati rumah dinas yang sekaranh kami huni pa."
"Oh... untuk itu. Seharusnya saya yang meminta maaf. Karena mestinya saya yang harus mengatakannya langsung pada ibu. Sebab, kita juga tau rumah yang ibu tempati sekarang adalah rumah dinas, rumah milik negara yang hanya boleh di tempati oleh orang yang bertugas di area sekolah sesuai SKnya." papar Pa Chaerul.
"Iya... saya sadar pa. Saya memang bukan penjaga sekolah yang memiliki SK. Saya hanya janda pegawi yang pernah bertugas di sekolah ini. Tapi, dulu alm. suami saya sudah pernah membayar senilai 15jt untuk menebus rumah itu, agar bisa menjadi hak milik pribadi pak."
"Waah... maaf bu. Setau saja, rumah dinas atau barang dinas milik negara itu tidak bisa di perjual belikan. Sebab, itu hanya bisa di tempati sesuai pemangku jabatan yang bersangkutan."
"Tapi mengapa alm. Pak Sarwo dulu menerima uangnya pa?" tanya Puspa agak kebingungan.
"Nah... untuk masalah mengapa beliau terima, saya justru baru tau sekarang jika rumah itu pernah di lakukan jual beli." tambah Chaerul lagi.
"Jadi... kami bagaimana pak?"
"Seandainya pernah terjadi jual beli pun. Apakah ibu masih memiliki surat menyuratnya? Lalu keterangan di surat itu apa? Perihal sertifikat atau lainnya bagaimana? Sebab setau saya, rumah dinas di sini, sertifikatnya menjadi satu kesatuan dengan surat tanah sekolah. " Jelas pa Chaerul lagi.
"Itulah masalahnya pak. Saya tidak menemukan bukti jual beli rumah tersebut. Semalam saya hanya menemukan kuitansi di tahun yang sama. Tapi isinya bukan jual beli rumah itu, tapi tanah yang saya juga tidak mengerti itu di mana?" polos Puspa pada pa Chaerul.
"Boleh saya lihat suratnya bu?" pinta pa Chaerul masih dengan nada bersahabat.
"Oh... ini pak." tunjuk Puspa pada sebuah nota jual beli.
Chaerul memicingkan matanya untuk membaca isi nota tersebut.
Bersambung...
Selalu tinggalkan jejak likenya ya
Readers biar makin lancar up nya
Makasih ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wanda Revano
apa mungkin suami si emak dikibulin y
2023-04-12
1
mama' roy
baru seminggu jadi penjaga sekolah udah naik jabatan aja jagi kepsek🤣. koreksi lagi dong
2022-02-05
3
Conny Radiansyah
ada typo ya Thor...mak dipanggil ibu dan pernyataan pak Chaerul, kalo pak Andi jadi kepala sekolah, harusnya penjaga sekolah 🙏✌️
2022-02-04
3