Chapter 18 – Bermain Bersama

Waktu kembali berlalu, kini Viole menjadi semakin dekat dengan Neila setelah mengembalikan kalung permata miliknya, dia juga sudah mengetahui makna dibalik kalung tersebut.

Bagi Neila arti dari kalung permata itu adalah barang berharga peninggalan terakhir dari sosok Ibu yang sangat dia cintai, sekaligus tanda kasih seorang Suami kepada Istrinya.

“Aku harus selalu menjaga kalung ini supaya bisa terus bermasa Ibu. Aku bisa merasakan pelukannya, terimakasih karena telah membantuku untuk tetap dekat dengan Ibuku.”

“Sudah menjadi hak anda.”

Ucapan Neila membuat Viole mengerti, sekarang dia faham kenapa Tuan Putri Neiladiota bisa menjadi pribadi yang pemalu dan penakut.

Terkadang, satu dua hal dalam masa kecil mu bisa memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan mu ke depannya.

‘Hah... Kasihan sekali dia... Rasanya pasti sangat menyakitkan. Heh, mungkin aku harus mengucapkannya kepada diriku sendiri.’

<----<>---->

Pada saat Laurent, Balft dan Lakius sedang sibuk mengurusi masalah Naga, Viole bersama Neila malah pergi bermain karena katanya anak-anak tidak boleh terlibat.

Viole merasa sedikit curiga, tapi dia mengiyakannya saja lalu mengajak Neila bermain, hanya bersantai setiap hari.

“Viole, apa kamu suka musik?” Karena sudah kehabisan permainan, Neila bertanya demikian.

“Entahlah, tapi aku suka bermain seruling. Setahun terakhir aku mulai mempelajarinya didorong oleh rasa bosan dan ternyata cukup menyenangkan. Mau mendengarnya?”

Tawaran dari Viole membuat pupil mata Neila membesar, dia terlihat sangat antusias. “Mau, mau, aku mau! Tunjukan itu kepada ku!”

Salah satu alis Viole terangkat, dia tidak menyangka kalau Neila akan menunjukkan reaksi yang seserius itu. “Um, baiklah... Anda tunggu saja di depan pintu, jadi kita bisa langsung berangkat.”

“Eh? Kemana?” Neila memiringkan kepala, memangnya untuk bermain seruling harus pergi ke suatu tempat? Pertanyaannya diikuti dengan ekspresi gelisah.

“Kemana? Tentu saja keluar, kita akan bermain di luar.” Viole segera mengambil serulingnya di kamar, setelah kembali dia masih melihat Neila pada posisi yang sama, gadis itu sepertinya tengah menghawatirkan sesuatu.

Sadar kalau Neila pasti memiliki trauma tersendiri terhadap lingkungan sekitar, Viole segera memikirkan beberapa cara untuk membujuknya.

Rayuan lama, cara itu kecil kemungkinannya untuk berhasil, tapi Viole sudah tidak memiliki cara lain dan terpaksa harus menggunakannya. ‘Kumohon, jadilah Tuan Putri yang penurut.’

Dia kemudian menghampiri Neila, duduk disampingnya lantas bertanya dengan suara lembut. “Tuan Putri... Anda kenapa? Apa ada sesuatu yang salah? S-saya mungkin bisa membantu anda. Ha ha...”

‘Oh ayolah, tunjukan keprofesionalan mu!’

“Mmmh...” Neila menurunkan pandangan, rasa gelisah disertai takut menyelimuti dirinya. “Aku benci dunia luar...”

‘Benci?’ Viole hampir tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar kata itu dilontarkan oleh Neila. ‘Siaal! Aku butuh usaha ekstra.’

Menggerakkan tangannya, Viole mengambil sebuah roti yang berada di atas meja. Dia diam sesaat, berfikir secepat mungkin dalam menentukan langkah selanjutnya.

“Hmm... Boleh saja anda tidak menyukainya, tapi anda tidak boleh membencinya, lihat roti ini.... Uh... J-jika anda membenci dunia luar, mereka tidak akan mau memberikan roti ini kepada anda.”

Kalimat Viole hampir terputus pada bagian itu, mengulangi cara lama ternyata lumayan sulit.

“Huf! Aku masih bisa mengambilnya!” Dengan paksa Neila merebut roti tersebut dari tangan Viole.

“Hah... Jangan.”

TUK!

Secara spontan Viole mengetuk kepala Neila.“Tuan Putri, anda merasa sedih ketika kalung milik anda menghilang, kalau begitu orang di luar sana pasti akan merasa jauh lebih sedih jika roti mereka direbut... Jadi, jangan melakukan itu.”

Memegangi kepalanya, Neila menjadi cemberut, karena kesal dia kemudian balas memukul-mukul Viole menggunakan tangan kecilnya yang tidak bertenaga.

Gadis itu hanya mengeluarkan gumaman, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

‘Dia adalah anak yang polos, tapi sangking polosnya, dia sampai tidak bisa memahami logika sedasar ini, hah...’

Viole menggelengkan kepala. ‘Pola pikirnya yang sekarang hanya akan membawa dampak buruk untuk dirinya di masa depan nanti, aku harus melakukan sesuatu.’

Viole kemudian berdiri, dia beranjak dari kursi menatap ke arah wajah cemberut Neila. “Kemari.”

Merasa kalau ini tidak akan ada akhirnya, Viole segera menggenggam tangan Neila, lantas menariknya secara paksa keluar dari Penginapan. “Sekarang lihat ini Tuan Putri, perhatikan mereka semua dengan mata kepala anda sendiri.”

Dari luar Penginapan cahaya matahari seketika menyinari mereka berdua, wajah terkejut Neila terlihat begitu cerah pada saat itu.

Berlanjut, Viole membawa Neila berlari, dia menarik gadis itu diantara sekumpulan pejalan kaki. “Bagaimana? Bukalah mata anda dan lihat Kota ini, pemandangan di dalam Kereta Kuda sangat jauh berbeda dengan melihatnya secara langsung kan?”

Neila tidak menjawab, dia lebih fokus memperhatikan sekelilingnya, mata sayunya yang bulat itu berkedip terlalu sering menandakan kegelisahan.

Dikelilingi oleh terlalu banyak orang membuat Neila gemetaran, dia memejamkan mata dan hanya menggenggam tangan Viole.

Bagi Neila waktu berjalan dengan sangat lambat, tubuhnya terasa kaku diikuti oleh keringat dingin yang bercucuran. “Aku- ingin pulang... Viole...” Neila merengek, dia sudah tidak kuat lagi.

Mendengar itu Viole menengok ke belakang, dia justru menyeringai. “Hehe~ anda merasa takut? Sebelumnya sudah saya bilang, buka mata anda!” Viole meninggikan suaranya untuk membentak Neila.

Alhasil gadis itu terkejut, mata Neila terbuka menatap wajah Viole yang tersenyum ke arahnya, pada saat yang bersamaan dia melihat pemandangan asli dari Kota Luizis.

Mulutnya terbungkam, Neila hanya bisa diam dalam keterkejutan bersama mata besarnya yang telah tercerahkan.

Baru kali ini dia merasakannya, rasa senang sekaligus takjub menjadi satu di dalam hatinya, menciptakan perasaan yang sangat sulit untuk di jelaskan oleh kata-kata.

Tubuhnya yang tadi gemetaran kini sudah kembali tenang, Neila melangkah seperti biasa layaknya seorang gadis kecil yang bahagia.

Tanpa sadar pandangannya terhadap dunia luar telah berubah, rasa takutnya hilang seketika hanya karena ajakan kecil dari Viole.

Membawa pemikiran barunya, Neila menapakkan kaki, sekarang dia menganggap pandangan orang lain adalah hal biasa yang pasti didapatkan oleh semua orang.

‘Apa yang aku pikirkan? Mereka semua hanyalah orang biasa, tidak semuanya berniat untuk menyakitiku. Benar, Viole benar! Aku hanya perlu lebih terbuka untuk mengetahuinya.’

“Whua... Tunggu, Viole! Kamu melangkah terlalu cepat!”

“Haha, tenang saja, anda tidak akan tertinggal! Teruslah berada di belakang saya dan anda akan melihat sesuatu yang luar biasa!”

“Ah-! Viole awas! Ada tia-”

TUNG!!

<----<>---->

Bersama bebatuan yang dikelilingi oleh pohon Maple Emas, Neila dan Viole duduk berduaan menghadap ke arah sungai Abisail, ditemani oleh angin semilir yang terasa begitu sejuk.

Di sanalah tempat di mana Viole akan bermain seruling, tapi bukannya bermain dia malah menyerahkan seruling tersebut kepada Neila. Sepertinya kepalanya mengalami masalah setelah membentur tiang lentera.

“Membosankan sekali rasanya jika hanya saya yang bermain. Tuan Putri, anda boleh mencobanya.”

“Eh?”

Neila menggaruk kepalanya, dia belum pernah memainkan seruling sebelumnya, jadi yang dia tau hanya meniup dan menekan secara acak, menghasilkan suara yang cukup mengerikan.

“Bukan begitu! Berhenti! Kumohon berhenti!”

Viole, dia segera menghentikan permainan Neila, duduk di belakangnya kemudian mengajarkan cara paling dasar untuk memainkan alat musik, yaitu memegangnya.

“Tuan Putri, anda harus memegang serulingnya seperti ini, lalu menempatkan jari-jari tangan anda pada posisi ini supaya bla bla bla bla.”

Panjang lebar Viole menjelaskan semuanya tanpa mempedulikan kondisi mental Neila saat ini. Ya, gadis itu terkejut bukan main ketika Viole tiba-tiba duduk di belakang punggungnya.

Rasanya seperti di sengat oleh kilat hingga jantung mu berdegup begitu kencang, sangking kencangnya Neila sampai tidak bisa mendengar suara Viole.

Yang mengisi kepala Neila sekarang ini hanyalah suara detak jantung dan beragam kejadian yang pernah dirinya lalui bersama Viole.

Mulai dari Viole yang menyelamatkan dirinya sampai menghilangkan traumanya terhadap orang asing. Walau baru beberapa hari, tapi semua moment itu memberikan kesan berharga bagi Neila.

Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya, membuat tubuh rapuh Neila kesulitan untuk menerimanya, ditambah Viole yang sedari tadi menyentuh tubuhnya semakin memberatkan beban batin di dalam hati Neila.

Sesuatu yang tidak terduga tumbuh di dalam hati gadis tersebut, membuat dia menyandarkan punggungnya pada dada Viole, lalu memejamkan mata sebelum akhirnya pingsan meninggalkan Viole sendirian.

“Eh...? T-Tuan Putri? Anda kenapa...? Tuan Putri? TUAN PUTRI?!”

<----<>---->

Sakit kepala bersamaan dengan tubuh yang terasa lemas, Neila bangun dalam keadaan seperti itu di sebuah ruangan yang terasa asing bagi dirinya.

Menengok ke arah kanan, Neila menemukan Viole sedang duduk menatap dirinya dengan wajah yang di penuhi oleh rasa khawatir. Tapi Viole tidak mengatakan apapun meskipun tau kalau Neila sudah terbangun.

Sampai ketika Neila mencoba memposisikan dirinya untuk duduk, Viole akhirnya mulai berbicara. “Maaf, sepertinya sikap saya terlalu berlebihan, saya terlalu memaksakan kehendak saya terhadap anda tanpa memikirkan perasaan anda. Maaf, saya benar-benar minta maaf.”

Viole mengucapkan sederetan kalimat itu dengan wajah penuh penyesalan, membuat Neila bingung harus bersikap seperti apa. “A-anu... Kamu membicarakan tentang apa?”

‘Uah...! Kenapa kamu menanyakannya? Neilaaa...’

“Uhm...” Viole mengalihkan pandangan dari Neila. “Saya tidak bermaksud untuk menghina anda, tapi... Tubuh lemah anda pasti kelelahan setelah mengikuti permainan bodoh saya, lalu anda pingsan di pinggir sungai Abisail setelah tertimpa daun maple.”

Sepertinya Neila melupakan beberapa kejadian, itulah kenapa Viole berkata demikian.

Tapi kenyataannya gadis itu mengingat semua hal yang terjadi pada hari ini dengan sangat jelas, membuat dia menggelengkan kepala. “Bukan... Permainan mu- bu-bukan lah penyebab-nya...”

Wajah Neila memerah, dia segera menambah jaraknya dengan Viole karena terlalu malu. Sedangkan Viole malah semakin mendekat, menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.

“Lalu apa? Kenapa anda pingsan?”

“Ja-jangan mendekat... Kamu-” Puf, sebelum menyelesaikan ucapannya, Neila sudah overheat duluan. Kepalanya pusing, dia tidak bisa mengucapkan apapun dan hanya menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan.

“Saya?” Viole menunjuk dirinya sendiri, bingung dengan tingkah laku Neila. Dia kemudian berpikir, kenapa sampai Neila bersikap demikian, setelah beberapa saat Viole akhirnya menyadari sesuatu.

Pengalamanya yang sangat sedikit dalam berinteraksi dengan perempuan ternyata menghasilkan kesalahan yang begitu besar.

Hari ini, Viole telah banyak melakukan hal yang sensitif terhadap Neila, seperti menyentuhnya tanpa izin dan masih banyak hal lainnya, setelah menyadari perbuatannya, Viole jadi ikut merasa malu.

Dia menghadap ke arah belakang, mempertanyakan tindakannya sendiri. ‘Sialan... Aku mau sok mengajari orang lain tanpa mengetahui kebodohan ku sendiri, bodoh, bodoh, bodoh, dasar bodoooh!’

Dan begitulah, hari singkat yang harus mereka jalani ini berakhir dengan saling menyalahkan diri mereka sendiri atas masalah yang sedang terjadi, di dalam kamar Viole.

‘Untung saja tidak ada penghuni Penginapan yang melihat kami! Aku masih bisa bernafas lega... M-mungkin.’

Will Continue In Chapter-19 >>>

–––––––

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!