Suasana auditorium begitu tenang. Gedung besar dan luas milik seorang pelukis terkenal berinisial A3 itu, penuh dengan peserta lomba. Mereka semua sedang fokus dengan lukisan masing-masing.
Yang mengikuti lomba adalah pria dan wanita berusia 17 tahun hingga akhir 30-an. Tentu saja Rhiana pengecualian, karena Artya ingin melihat tujuan sebenarnya gadis yang menarik perhatiannya itu. Rhiana sengaja menambah umurnya agar bisa mengikuti lomba ini. Tentu saja, Artya tahu itu.
Selain itu, Artya penasaran, kenapa nona muda keluarga Veenick itu menyamar menjadi gadis cupu. Padahal gadis itu sangat cantik. Artya ingin mengenal gadis itu lebih jauh. Tanpa pria itu sadari, dia sudah membangun harapan dalam hatinya, bahwa gadis itu adalah gadis yang dia cari selama ini.
Rhiana menguap sebentar setelah lukisannya sudah setengah. Rhiana lalu melihat sekeliling. Dia menaikkan sebelah alisnya melihat banyak sekali orang yang mengikuti lomba ini. Entah kriteria seperti apa yang diinginkan pelukis A3 ini.
Tidak ada informasi apapun tentang kriteria melukis. Di poster perlombaan, hanya tertulis persyaratan usia. Di sana juga tertulis, peserta diperbolehkan melukis sesuai imajinasi masing-masing. Hasil karya akan dinilai sendiri oleh pelukis A3.
Rhiana sendiri ingin mencoba melukis sesuatu yang selalu muncul dipikirannya. Jika dia lolos, itu bagus. Jika tidak, dia masih punya cara lain untuk menyusup ke dalam ruang pribadi pelukis terkenal itu.
Rhiana menyipitkan matanya ketika tidak sengaja melihat Artya masuk ke salah satu lift. Tidak sembarang orang bisa naik ke atas, karena itu hanya dikhususkan untuk pelukis A3 dan orang kepercayaannya. Rhiana tidak memikirkan itu lagi, dan fokus dengan lukisannya.
"Waktu tersisa 1 jam lagi! Yang sudah selesai, boleh meninggalkan gedung ini. Pemenangnya akan dihubungi beberapa hari lagi," Seorang pengawas lomba berbicara membuat Rhiana tersadar dan segera menyelesaikan lukisannya.
...
"Bagaimana tadi, Kak?" Axtton menyambut setelah Rhiana keluar gedung. Brilyan sendiri mendengus tidak senang. Sejak awal, dia berpikir hanya dia sendiri yang datang. Nyatanya, Axtton tiba-tiba muncul begitu saja.
"Sangat menegangkan. Aku bahkan masih gemetaran sampai sekarang," Rhiana menjawab asal. Axtton sendiri sudah menahan tawa. Dia jelas tahu, kakak kesayangannya ini sedang berakting. Sangat menggemaskan, pikirnya.
"Eh?" Rhiana tertegun melihat Brilyan yang mengambil kedua tangannya dan menggenggamnya menyalurkan kehangatan di sana. Rhiana tahu, pria itu ingin menenangkannya.
"Pengumuman hasilnya beberapa hari lagi. Sebelum pulang, ikut aku ke suatu tempat," Brilyan mengajak Rhiana dengan lembut.
"Hanya kita berdua!" Brilyan menambahkan, karena Axtton terlihat ingin ikut. Rhiana tersenyum tipis dan menatap Axtton. Remaja pria itu hanya bisa cemberut dan mengangguk setuju.
***
"Anda harus melihat ini, Tuan." Felix baru saja masuk sambil membawa sebuah lukisan.
Artya yang sedang menatap interaksi antara Rhiana dan Brilyan melalui layar iPad, mengangkat kepalanya menatap asistennya itu.
Artya dengan tenang meletakkan iPad di atas meja. Pria itu mulai beranjak dari tempat duduknya, dan menghampiri Felix. Artya menatap lukisan yang baru diletakkan di atas meja sofa.
Di lukisan itu, terlihat seorang gadis yang sedang berbaring telungkup di sofa. Bagian punggung gadis itu tidak di tutupi oleh apapun. Di samping sofa, ada sebuah kursi kecil di sana. Di sekeliling ruangan itu, ada banyak lukisan yang terpajang di dinding, ada juga yang baru selesai dilukis dan masih dibiarkan di lantai.
Artya tiba-tiba memijit pelipisnya pusing melihat lukisan itu. Setelah beberapa saat, pria itu mengangkat kepalanya, kemudian melepas sarung tangan yang dia pakai. Artya menatap kembali lukisan itu kemudian menyeringai. Pria itu melirik bagian ujung kanan bawah lukisan itu. Ada sebuah nama di sana.
"Hubungi dia! Pasang kembali lukisan ini. Aku akan menambahkan bagian yang hilang,"
"Baik, Tuan." Felix kemudian keluar untuk mengambil perlengkapan untuk melukis.
"Sepertinya kalian berdua sama-sama tidak tahu apapun," Artya bergumam pelan sambil menatap keluar jendela.
***
Dua hari kemudian, Rhiana dipanggil kembali ke auditorium itu. Rhiana sudah bisa menebak hasil yang diperoleh.
Sampai di sana, Rhiana dibawa ke ruang pribadi pelukis A3. Masuk ke dalam, Rhiana tidak heran lagi ketika melihat banyak hasil karya pelukis terkenal itu. Baik yang sudah selesai maupun yang belum selesai. Rhiana menyipitkan matanya melihat lukisan yang dia kenal. Hanya saja, lukisan itu sedikit berbeda.
"Mungkin itu bukan milikku," Ujar Rhiana dalam hati.
Rhiana menoleh ke meja kerja yang tidak jauh darinya. Seseorang terlihat duduk di sana tetapi membelakanginya. Pelan-pelan kursi itu bergerak menghadap ke arahnya.
"Asisten pria penggila kebersihan?" Gumam Rhiana dalam hati, karena orang yang duduk di kursi itu ternyata Felix.
"Halo... saya peserta lomba yang dihubungi untuk datang. Nama saya, Rhiana Senora." Rhiana memperkenalkan diri dengan sopan.
"Saya, pelukis A3. Kamu pasti sudah tahu tujuan kamu dipanggil ke sini," Felix membuka suara dengan tenang. Sesekali dia akan melirik ke arah pintu dipojok ruangan. Ada tuannya di sana.
Rhiana mengangguk sebelum bicara. "Bolehkah saya bertanya, Tuan?"
"Silahkan,"
"Lukisan itu, milik siapa?"
Felix menoleh ke arah lukisan yang Rhiana maksud. Ternyata, itu lukisan milik Rhiana yang dilukis tambah oleh tuannya.
"Milikmu! Saya hanya menambahkan beberapa hal agar terlihat lebih nyata," Felix menjawab sesuai perkataan tuannya.
Rhiana tidak mengatakan apapun. Dia juga setuju dengan penambahan objek pada lukisannya. Rhiana terus menatap lukisannya yang sudah berubah. Tadinya kursi di samping sofa kosong, kini sudah ada seorang pria yang duduk di sana. Bukan hanya itu. Pria itu justru sedang melukis sesuatu di punggung gadis itu.
Rhiana mengerutkan kening merasa kepalanya sedikit berdenyut. Tiba-tiba saja, dia bisa melihat kejadian di lukisan itu secara nyata. Rhiana merasa, bahwa gadis itu adalah dia sendiri.
Rhiana menggeleng berusaha menghilangkan denyut di kepalanya. Hanya beberapa saat, kepalanya tidak pusing lagi. Gambaran lukisan itu di kepalanya juga hilang.
Rhiana beralih menatap Felix yang tenang di tempat duduknya. Lagi-lagi Rhiana mengerutkan kening melihat Felix yang baru saja mengeluarkan sesuatu di saku jasnya dan meletakkan di atas meja.
"Kenapa sapu tangan milikku, ada padanya?" Tanya Rhiana dalam hati. Rhiana sudah mencari sapu tangan itu, tetapi tidak menemukannya dimanapun. Ternyata ada pada pria ini.
"Maaf, Tuan. Sapu tangan itu..." Rhiana tidak bisa menahan diri.
"Oh, ini milik saya. Seseorang memberikannya pada saya, sebagai hadiah." Felix menjawab dengan tenang.
Artya memang sengaja membiarkan Felix menunjukan sapu tangan itu pada Rhiana. Artya ingin tahu seperti apa reaksi Rhiana ketika melihat sapu tangan itu. Ternyata perkiraannya benar. Rhiana bereaksi terhadap sapu tangan itu. Artya menyeringai di kamar pribadinya.
"Itu milikku. Apa yang sebenarnya terjadi?" Rhiana tidak tahu apa sudah dia lewatkan. Gadis itu jelas mengenali benda berharga miliknya.
Rhiana masih kebingungan, memilih diam dan tidak bertanya lagi. Dia lalu bertanya apa yang harus dia lakukan setelah memenangkan lomba ini. Felix dengan tenang menjelaskan.
Rhiana masih punya banyak waktu sebelum mencari tahu tentang sapu tangannya dan tato di punggungnya.
***
Rhiana dan Brilyan sedang dalam pesawat menuju Swiss. Rhiana tidak punya kesempatan bertanya pada Felix tentang lukisan itu. Bukan tidak punya kesempatan. Felix justru menghindari pertanyaan itu. Artya sudah memberi instruksi untuk tidak membahas hal itu.
Rhiana menghela nafas, karena merasa sangat lemah. Belum ada satupun yang berhasil dia lakukan. Jika dia meminta bantuan kedua orang tuanya, tentu saja semua yang dia inginkan didapatkan dengan mudah. Sayangnya, Rhiana ingin melakukan semuanya sendiri.
"Ada apa?" Tanya Brilyan yang tidak tahan dengan kerutan di dahi dan helaan nafas dari gadis yang duduk di sebelahnya ini.
"Tidak ada. Aku hanya sedikit pusing. Aku akan tidur. Bangunkan aku ketika sampai," Rhiana lalu memejamkan matanya dan tertidur.
Brilyan yang duduk sampingnya hanya menatapnya dalam diam. Merasa Rhiana sudah terlelap, Brilyan sedikit merapat pada Rhiana, kemudian dengan hati-hati memposisikan kepala gadis itu agar bersandar pada bahunya. Senyum lembut terukir di bibir Brilyan melihat wajah tenang Rhiana yang terlelap.
"Aku tidak tahu bagaimana cara membuatmu menyukaiku, tapi aku akan berusaha semampuku. Kali ini aku tidak akan kalah dari kakakku." Gumam Brilyan lalu memejamkan matanya.
***
Rhiana dan Brilyan hari ini dipanggil ke ruang guru. Keduanya saling menatap karena bingung, kenapa mereka dipanggil.
"Kalian pasti berpikir apa yang sudah kalian lakukan sehingga dipanggil ke sini. Jangan khawatir, Saya hanya ingin mengatakan sesuatu pada kalian!
6 bulan lagi, akan diadakan kejuaraan takewondo tingkat internasional. Bukan hanya takewondo, tetapi olimpiade untuk semua jenis olahraga. Kejuaraan ini selalu diadakan setiap tahun.
Saya hanya ingin kita menang lagi dalam kejuaraan takewondo. Untuk olahraga yang lainnya, saya tidak meragukan itu. Sudah hampir 5 tahun sejak sekolah kita menjadi juara pertama lomba ini. Itupun, dalam kategori putra.
Melihat kemampuan kalian berdua pada jam olahraga waktu itu, saya tertarik untuk merekrut kalian masuk ke dalam club takewondo. Saya tidak akan memaksa kalian. Semua terserah kalian.
Ini formulir masuk club untuk kalian berdua. Jika kalian ingin ikut, saya akan menunggu kalian 2 hari lagi. Kalian boleh kembali," Rhiana dan Brilyan hanya menerima formulir itu dan kembali.
...
"Mau ikut?" Tanya Brilyan setelah keduanya sampai di kantin untuk makan siang.
"Aku tidak tahu. Aku harus bertanya pada ibu," Rhiana menjawab asal.
"Baiklah. Aku akan ikut jika kamu juga ikut."
"Kenapa?" Rhiana heran dengan Brilyan. Pria itu selalu ingin menempel padanya.
"Tidak ada,"
"Permisi..." Suara itu mengalihkan perhatian Rhiana dan Brilyan.
Brilyan seketika merubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Pria itu tidak suka pada dua orang ini. Tentu saja keduanya adalah Dalfa dan Dalfi. Brilyan tidak suka melihat mereka, karena mereka setiap hari selalu menatap Rhiana selama di kelas.
Bukan hanya itu. Mereka setiap hari akan memberikan sesuatu pada Rhiana. Brilyan sangat tidak menyukai itu. Tindakan mereka juga membuat Rhiana tidak disukai banyak orang. Khususnya kamu hawa. Mereka jelas iri karena Rhiana didekati oleh para pria populer di sekolah.
"Kami boleh duduk di sini?" Tanya Dalfa dengan senyum lembutnya. Rhiana ingin menolak, tapi ketika melihat sekeliling, banyak sekali para betina di kantin yang menatap horor padanya.
"Senang sekali melihat ekspresi mereka." Gumam Rhiana dalam hati. Rhiana lalu mengangguk setuju. Brilyan hanya menampilkan ekspresi datarnya seperti biasa.
"Meja ini terlihat sangat ramai. Aku juga ingin bergabung," Hann muncul dengan dua temannya. Mereka langsung duduk tanpa menunggu persetujuan.
Rhiana tidak melirik pria itu. Gadis itu sudah sibuk dengan hidangan di depannya. Rhiana bisa merasakan tatapan iri dan benci yang diarahkan padanya. Jelas sekali para siswi di kantin iri padanya karena bisa duduk dan makan bersama para pria populer di sekolah mereka.
***
Hari ini adalah hari pertama sekolah elit di Swiss tempat Rhiana bersekolah mengadakan ujian tengah semester. Ujian akan berlangsung selama seminggu.
Beberapa hari lalu, Rhiana sudah mengisi formulir masuk club takewondo. Tentu saja Brilyan juga ikut. Dia tidak akan membiarkan gadisnya dilirik oleh pria lain. Belum lagi, keahlian gadisnya dalam takewondo, pastinya akan membuatnya menjadi sorotan. Brilyan harus ada di sana untuk memberi para pria itu peringatan.
Rhiana sengaja menerima tawaran masuk club, karena setelah mencari informasi, ternyata tempat kejuaraan takewondo itu di negara tempat markas utama organisasi bawah tanah berada. Rhiana berencana menyusup ke markas itu. Dia tidak bisa pergi diam-diam lagi, karena Brilyan pasti akan menyusulnya dan menemukannya seperti waktu itu.
Latihan takewondo akan dimulai setelah ujian mereka berakhir. Rhiana juga masuk club basket untuk kejuaraan nanti. Setiap club di sekolah elit itu akan berlangsung rutin setelah ujian semester berakhir. Tapi itu hanya jeda beberapa minggu saja.
Berbeda dengan club yang akan mengikuti kejuaraan, mereka akan memiliki banyak waktu untuk berada di club. Mereka akan fokus dalam club untuk kejuaraan. Mereka akan dibebaskan untuk mengikuti ujian akhir semester.
Kelas Rhiana begitu tenang untuk ujian hari pertama. Sekolah elit ini ketika mengadakan ujian, mereka tidak lagi menggunakan kertas ujian. Mereka akan menggunakan iPad untuk ujian.
Jadi, hasil ujian akan keluar setelah waktu ujian berakhir. Bukan hanya soal pilihan ganda. Ada juga soal esaay yang diwajibkan untuk dijawab langsung di layar iPad dengan menggunakan stylus pen.
Waktu yang dibutuhkan hanya 90 menit untuk setiap pelajaran yang terdiri dari 100 soal. Meski itu pelajaran menghitung sekalipun. Tentu saja, sudah menjadi peraturan di sekolah elit ini. Namanya sekolah elit, sehingga sudah menjadi resiko jika waktu ujiannya hanya satu setengah jam.
Rhiana menjawab soal dengan tenang. Ada baiknya membuat kehebohan cukup bagus, pikirnya. Rhiana sengaja, karena dia ingin melihat sifat asli teman sekelasnya. Terkhusus kaum hawa yang selalu iri padanya.
Ting.
Suara tidak terlalu keras melalui speaker di ruangan itu membuat semua peserta ujian menoleh menatap pengawas di depan. Mereka jelas tahu itu tandanya salah satu peserta sudah menyelesaikan ujiannya.
Mereka penasaran, siapa orang itu. Masih 45 menit, tetapi 70 soal pilihan ganda dan 30 soal esaay sudah selesai. Bukankah itu terlalu jenius?
"Teman kalian, Rhiana sudah menyelesaikan ujiannya." Pengawas membuka suara.
'Orang bodoh sepertinya selesai secepat ini? Dia pasti menjawab asal.' Seperti itulah kira-kira pemikiran para siswa dalam kelas itu.
Mereka berpikir seperti itu, karena Rhiana tidak pernah aktif dalam kelas. Gadis itu selalu melamun dalam kelas dan menatap keluar jendela. Jadi, mereka tentu saja beranggapan seperti itu.
Berbeda dengan Dalfa, Dalfi dan Brilyan. Kedua kakak Rhiana itu tidak heran lagi dengan adik kesayangan mereka. Keduanya memang selalu kalah jika itu berurusan dengan pelajaran. Mereka memang cerdas, tapi tidak secerdas Rhiana dalam hal pelajaran.
Jika Dalfa dan Dalfi sudah tahu tentang Rhiana, Brilyan justru kebingungan. Dia memang selalu memperhatikan Rhiana setiap jam pelajaran. Brilyan khawatir Rhiana akan dipindahkan ke kelas khusus.
Tapi, setelah dipikir-pikir, jika Rhiana dipindahkan ke kelas khusus, Brilyan akan membuat Rhiana kembali ke kelas normal. Pria itu tidak khawatir lagi, dan menyelesaikan ujiannya dengan cepat.
90 menit berakhir. Semua siswa sudah mengirim jawaban masing-masing.
"Baik. Saya akan membaca hasil pekerjaan kalian. Dimulai dari urutan terakhir." Pengawas ujian mulai membaca satu persatu nama siswa. Ada sekitar 50 siswa di kelas itu.
Semua orang mendengar dengan saksama. Ada beberapa siswa yang mulai saling pandang dan memberi isyarat, agar ketika nama Rhiana dipanggil, mereka akan bersorak mengejeknya.
Terus menunggu, ternyata nama Rhiana sama sekali belum dipanggil. Brilyan yang menyadarinya, mengalihkan pandangannya ke arah Rhiana.
"Berikut, dua orang yang menduduki peringkat ketiga karena memiliki nilai yang sama yaitu 98 poin. Mereka adalah Dalfa Chixeon dan Brilyan Scoth. Berikan tepuk tangan untuk mereka berdua."
Prok
Prok
Prok
"Selanjutnya peringkat kedua, dengan jumlah nilai 99 poin. Atas nama Dalfi Chixeon."
Prok
Prok
Prok
"Dan yang terakhir, peringkat pertama di kelas ini,"
Semua orang sudah menatap Rhiana yang namanya belum dipanggil.
"Ya, seperti dugaan kalian. Peringkat pertama di kelas ini adalah Rhiana Senora. Nilainya sempurna. Berikan tepuk tangan meriah padanya. Dia juga satu-satunya siswa dengan nilai sempurna untuk pertama kalinya selama 10 tahun ini."
Hening.
Mereka sama sekali tidak menerima itu. Dalfa dan Dalfi tetap tenang di tempat mereka. Brilyan sendiri masih menatap Rhiana dengan syok. Ini benar-benar kejutan untuknya.
"Ada apa? Kalian seharusnya senang," Tanya pengawas itu bingung.
"Saya tidak setuju, Pak!"
"Saya juga."
"Benar, Pak. Kami juga tidak setuju!" Yang lain ikut menyahut.
"Alasannya?" Tanya pengawas dengan kening berkerut. Dia memang tidak mengajar di kelas ini. Dia hanya betugas untuk mengawas hari ini.
"Selama pelajaran berlangsung, dia sama sekali tidak mendengar pelajaran. Dia selalu melamun. Bisa jadi dia mencuri kunci jawabannya."
"Setuju!"
"Dia pasti membeli kunci jawaban untuk ujian ini,"
"Itu benar!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
hiro😼
Sayang sekali, mending sama aku aja hehe
2024-02-04
0
anggita
peringkat pertama.. 👏👏👏
2022-10-17
0
RIRES
Begitulah orang-orang yang iri, tanpa bukti malah menuduh orang yang tidak tidak.
2022-07-15
0