Halo, semuanya...Gimana kabar kalian?
Maafkan aku karena baru up. Aku beneran sibuk di real life.
Terima kasih karena masih setia menunggu updetan cerita ini. Terima kasih banyak, teman-teman.
Tetap stay di cerita ini, ya. Karena aku akan tetap up hingga cerita ini tamat.
Mari kita lanjutkan kisah Rhiana.
.
.
.
"Maafkan aku, tolong maafkan aku, Dear."
"Pria ini..." Rhiana mendengus dalam hati.
"Maafkan aku. Aku janji... kedepannya, apapun yang kamu lakukan, aku akan percaya padamu. Maafkan aku, hmm?" Brilyan sadar, perkataannya tadi pasti menyakiti gadis ini.
"Setidaknya jangan memelukku terlalu erat, Bung. Hei... beraninya dia mencium kepalaku?" Kesal Rhiana dalam hati. Rhiana kesal, karena Brilyan dengan berani mencium kepalanya berulang kali.
"Aku tidak marah, hanya kecewa. Tujuanku datang ke sini karena aku akan mengikuti lomba melukis. Hadiahnya cukup untuk berobat ibu. Temanku mengajakku tinggal bersamanya di sini. Jadi, jangan sembarangan menuduhku."
Rhiana baru saja memikirkan alasan ini. Dia sempat membaca sebuah poster di meja apartemen Artya. Di poster itu tertulis, pelukis terkenal, berisinial A3 membuka lomba melukis untuk mencari bakat-bakat baru yang akan dia latih sendiri.
Rhiana tertarik, karena nama A3 juga tertulis dipojok kanan bawah lukisan pedang naga yang dipajang di apartemen Artya. Tentu saja, dengan menjadi murid pelukis A3, dia dengan mudah bertemu pelukis itu, dan bertanya apa dia yang melukis tato di punggungnya atau tidak. Setidaknya ada titik terang tentang tato di punggungnya. Rhiana sudah mendaftar tadi sore. Lomba melukis akan diadakan lusa.
"Maafkan aku,"
"Iya. Jadi, tolong lepaskan pelukanmu. Aku sesak." Rhiana berusaha sabar dengan mendorong pelan Brilyan.
"Terima kasih. Kamu sudah makan malam? Ayo makan bersama," Tawar Brilyan dengan lembut. Pria itu sudah melepaskan pelukannya. Jangan lupakan senyum menenangkan yang jarang terlihat itu.
Rhiana sedikit berpikir, kemudian mengangguk. Dia juga sedang bosan malam ini.
Keduanya lalu pergi dengan taxi. Tentu saja, Brilyan tidak ingin Rhiana menaiki mobil yang dia sewah tadi, karena kacanya sudah pecah.
Keduanya tidak sadar, bahwa interaksi mereka diperhatikan oleh Artya lewat kamera pengawas apartemen.
Artya menatap layar iPad di tangannya dengan datar. Tapi percayalah, pria itu berusaha menahan dirinya untuk tetap tenang ketika melihat Brilyan memeluk, bahkan mencium kepala Rhiana beberapa kali. Ada yang aneh dengan dirinya melihat interaksi intens dua orang itu.
"Kekasih Brilyan ikut mendaftar untuk lomba melukis lusa nanti, Tuan." Felix membuka suara setelah merasa suasana hati tuannya sedang tidak baik.
Artya melirik Felix ingin tahu, kemudian bertanya, "Nama siapa yang dia pakai?"
"Rhiana Senora." Artya hanya mengangguk mengerti. Pria itu kemudian meletakkan iPad di atas meja. Artya lalu memijit pelipisnya pusing. Kepalanya selalu seperti ini jika dia berusaha mengingat sesuatu.
...
Rhiana dan Brilyan sedang makan malam di restoran miliknya. Restoran ini Rhiana bangun setelah menabung beberapa kali dari hasil dia menjalankan misinya. Karena Brilyan bertanya ingin makan dimana, tentu saja Rhiana dengan senang hati mempromosikan restoran miliknya.
Restoran ini cukup mewah dan menyediakan cukup banyak menu, membuat pelanggan dalam berbagai usia bisa datang di sini. Selain menu, interiornya yang juga kekinian, membuat restoran ini selalu menjadi spot terbaik untuk anak muda berfoto di sini.
Rhiana memesan seafood. Brilyan hanya mengikuti. Sambil menunggu makanan mereka disajikan, keduanya hanya diam. Rhiana sibuk menatap keluar, Brilyan dengan senang menatap Rhiana. Tentu saja pria itu tidak akan pernah bosan menatap wajah polos itu. Apalagi jika gadis itu tersenyum, Brilyan rasanya ingin menggigit pipi cabby itu. Terlalu menggemaskan.
"Kak Anya?" Seseorang memanggil Rhiana dari nama tengahnya, Lavanya.
Merasa dipanggil, Rhiana langsung menoleh dan tersenyum manis pada pemuda tampan yang juga membalas senyumnya. Brilyan sendiri menatap tidak suka karena Rhiana menunjukan senyum itu pada orang lain. Jarang sekali gadis ini tersenyum padanya. Tentu saja Brilyan tidak senang.
"Axtton?" Rhiana sangat senang melihat adik kesayangannya ini.
Axtton adalah anak satu-satunya dari pasangan Kharalex Sach Warrython/Lesfingtone atau yang kita kenal dengan panggilan Alex dan istrinya, Tellyana Marcus Johnson. Axtton 3 tahun lebih muda dari Rhiana.
"Aku sangat merindukanmu, Kak. Karena kakak pergi, aku kesepian. Tidak ada yang menemaniku tidur lagi," Axtton sangat manja pada Rhiana. Dia juga tahu penampilan Rhiana sekarang.
Remaja berusia 12 tahun itu sangat menyukai Rhiana. Dia lebih suka mendengar perkataan kakak kesayangannya ini, ketimbang kedua orang tuanya. Benar-benar aneh.
"Aku sangat ingin ikut kak Anya, tapi papa melarang. Katanya, akan mengganggu kak Anya di sana. Aku sudah berusaha kabur, tapi papa selalu berhasil menangkapku." Axtton mulai bercerita dengan wajah cemberut. Rhiana hanya terkekeh dan mencubit gemas pipi remaja tampan ini.
Rhiana tidak sadar dengan tatapan mematikan seorang Brilyan yang sedari tadi menatap Axtton seakan menelan anak itu hidup-hidup.
"Menjauh darinya, bocah!" Brilyan sudah tidak tahan melihat sikap Axtton yang terlalu menempel pada Rhiana.
Remaja tampan itu dengan seenaknya menggenggam satu tangan Rhiana dan mulai bercerita membuat Brilyan ingin sekali meninjunya.
"Dia siapa? Teman kakak? Kenapa kak Anya berteman dengan orang seperti ini? Aku tidak setuju!" Axtton seketika merubah ekspresinya menjadi tidak suka pada Brilyan.
"Dia..."
"Aku pacar Rhiana!" Brilyan menyahut sebelum Rhiana menjawab.
"Pacar? Hahaha... Dunia sekarang, pacar tidak lagi dibutuhkan. Semua orang butuh status yang jelas dan yang penting, sah. Aku hanya perlu beberapa tahun lagi agar usiaku legal sebelum melamar kak Anya menjadi istriku.
Kedua orang tua kak Anya sudah setuju. Memangnya kamu berani melamar kak Anya di depan kedua orang tuanya? Tentu saja, tidak berani, 'kan?" Axtton mulai mengibarkan bendera perang membuat darah Brilyan mulai naik perlahan.
Rhiana sendiri hanya menahan tawa. Dia merasa terhibur dengan perdebatan ini.
"Kenapa tidak berani? Semua butuh waktu. Bocah sepertimu, sebaiknya pulang dan belajar." Brilyan membalas dengan kesal.
"Jangan meremehkanku! Aku sedang mengambil kelas ekselarasi agar segera menyusul kak Anya. Dengan begitu, aku bisa bersamanya dan menjauhkannya dari orang sepertimu." Axtton adalah ahli debat. Remaja tampan itu sangat pandai merangkai kata untuk membalas seseorang. Tentu saja sifatnya yang cerewet itu menurun dari ibunya.
"Ck... Siapa yang akan percaya dengan bocah sepertimu?" Brilyan mencibir dan menatap remeh Axtton.
"Kenapa aku harus membutuhkanmu untuk percaya? Aku hanya perlu kak Anya untuk percaya padaku dan menungguku. Iyakan, Kak?" Rhiana hanya mengangguk dan tersenyum. Respon Rhiana tentu saja, membuat Brilyan kesal setengah mati.
"Kamu..."
"Permisi... ini menunya, Tuan, Nona." Seorang pelayan muncul membuat Brilyan berhenti bicara. Pria itu menghela nafas dan mengangguk pada pelayan itu.
"Suapi aku, Kak." Permintaan Axtton berhasil menghentikan tangan Brilyan yang ingin mengambil seekor kepiting.
"Apa aku harus mematahkan tanganmu?" Kesal Brilyan.
"Memangnya kamu berani?" Axtton menatap Brilyan seakan menantang. Remaja itu tidak memikirkan usianya yang masih muda. Meski usianya 12 tahun, tapi postur tubuhnya hanya kurang sedikit dengan Brilyan. Tentu saja dia berani menantang pemuda itu.
"Jangan memikirkan dia, Kak. Suapi aku. aa..." Axtton sudah menunggu suapan dari Rhiana.
Rhiana tersenyum lucu dan mulai mengambil udang yang sudah dia kupas tadi dan bersiap menyuapi Axtton.
"Hei... itu milikku. Beraninya..." Teriak Axtton tidak terima karena Brilyan dengan cepat mengarahkan tangan Rhiana ke mulutnya, sehingga dia berhasil memakan udang di tangan Rhiana. Brilyan menguyah sambil menatap Axtton dengan tatapan kemenangannya.
"Dia mencuri udang itu, Kak. Aku mau lagi..." Axtton merengek manja pada Rhiana.
Remaja 12 tahun itu seketika waspada saat tangan Rhiana ingin menyuapi udang padanya.
"Enaknya..." Axtton mengunyah dengan senang, setelah udang berhasil masuk ke mulutnya. Brilyan hanya menatap datar remaja itu dan mulai mengupas kepiting besar di depannya.
"Buka mulutmu," Brilyan berbicara dengan lembut. Tangan kanannya mengarahkan cangkang kepiting yang sebagiannya sudah dikupas ke arah Rhiana.
Rhiana terdiam sebentar kemudian melirik Axtton yang mendengus tidak senang. Baru saja Rhiana akan membuka mulut menerima suapan dari Brilyan, ponselnya di atas meja berdering. Yang menelpon ternyata Mommy Rihan.
Rhiana menghentikan niatnya, dan mengambil ponselnya. Tentu saja, itu membuat Brilyan tidak senang. Pria itu kesal dan bertanya dalam hati, siapa yang beraninya mengganggu di saat seperti ini.
Baru saja Brilyan akan bertanya, satu kata dari Rhiana membuatnya menelan ludah gugup. Hampir saja dia marah pada calon mertuanya.
"Mom..." Rhiana tersenyum tipis menjawab telepon.
"Senang bermainnya? Pulang sekarang!"
"Hehehe... maafkan aku, Mom. Iya, secepatnya, Mom." Rhiana menggaruk tengkuknya dan memutuskan sambungan telepon.
"Apa yang calon mertuaku katakan, Kak?" Tanya Axtton ingin tahu. Brilyan juga diam-diam mengangguk setuju.
"Tidak ada. Aku harus pergi!" Rhiana dengan tenang berdiri. Brilyan mengerutkan kening bingung. Kemana gadis ini akan pergi?
"Pergi bersamaku, Kak. Aku juga mau pulang," Axtton tentu saja tahu ke mana kakak kesayangannya ini akan pergi.
"Aku akan mengantarmu," Brilyan ikut berdiri. Dia juga penasaran kemana Rhiana ingin pergi. Rhiana menggeleng tidak setuju. Brilyan tidak boleh tahu identitasnya.
"Antar kakak, Ax." Rhiana beralih menatap Axtton. Remaja itu dengan senang hati menyambut itu.
"Kenapa tidak pergi bersamaku?" Brilyan kecewa karena Rhiana tidak mau dia mengantarnya.
"Ada yang harus aku lakukan, dan itu tidak ada hubungannya denganmu. Jadi..."
"Itu ada hubungan dengannya?" Brilyan segera memotong dengan pertanyaan. Rhiana melirik Axtton dan mengangguk saja agar dia cepat pergi. Rhiana bahkan tidak menyadari ekspresi kecewa seorang Brilyan.
"Baiklah. Hati-hati. Jika ada sesuatu, hubungi aku." Brilyan menghembuskan nafas pelan sebelum membiarkan Rhiana pergi bersama Axtton. Rhiana mengangguk dan pergi bersama adik sepupunya itu.
***
"Jadi, kenapa tidak meminta bantuan mommy dan daddy?" Rihan bertanya pada anak bungsunya, Rhiana.
Rhiana tersenyum tipis sebelum menggeleng. Gadis itu lalu menjawab, "Aku tahu seperti apa kemampuan mommy dan daddy. Jika aku meminta bantuan kalian untuk misi ini, tentu saja itu tidak seru. Semua akan berjalan lancar dan aku tidak suka itu.
Aku ingin belajar banyak hal dengan kemampuanku sendiri. Aku ingin belajar dan menyelesaikan semuanya dengan kekuatanku sendiri. Aku ingin sama seperti mommy dan daddy yang membangun semuanya dari nol. Aku ingin seperti kalian. Jadi, mommy dan daddy hanya perlu memantau dari jauh. Tunggu dan lihat kesuksesan anak kalian ini,"
Rihan dan Zant saling menatap kemudian tersenyum. Keduanya lalu mengangguk. Mereka sama-sama memeluk Rhiana yang duduk di antara mereka.
"Baiklah! Tapi mommy akan memberikanmu sedikit nasihat. Apa yang kamu lihat belum tentu benar. Seburuk apapun seseorang, itu belum tentu buruk. Dan sebaik apapun seseorang, itu belum tentu baik. Jadi, apapun yang kamu alami ke depannya, ingatlah untuk berpikir sebelum bertindak. Jangan sampai menyesal di kemudian hari."
"Meski kamu saat ini tidak mengerti, tapi percayalah, kamu akan mengerti maksud mommy suatu hari nanti. Kami akan selalu mengawasimu dari jauh, Swety." Zant menambahkan sambil mengelus sayang kepala Rhiana.
"Terima kasih, Dad, Mom."
"Sama-sama."
"Ekhem... Tapi, pemuda bernama Brilyan itu cukup baik. Oh, iya...masih ada kakaknya juga. Keduanya terlihat menarik. Siapa yang akan kamu pilih?" Rihan menggoda setelah mencubit pelan pipi Rhiana.
"Huh? Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, ya... misiku belum selesai." Rhiana menggeleng tidak terima dengan godaan mommynya.
"Semua terserah kamu, Swety. Lagipula, daddy masih tidak rela ada orang lain yang menjagamu selain kami." Zant menyahut lembut.
Jujur, Zant tidak ingin orang lain mengambil anak bungsunya ini. Zant merasa belum cukup menghabiskan waktu dengan anak kesayangannya ini. Meski itu hanya berpacaran, Zant tentu saja tidak rela.
***
Hari ini adalah lomba melukis. Brilyan sudah menunggu Rhiana lebih awal di lobby apartemen. Tentu saja dia tidak ingin Axtton tiba-tiba muncul dan mengganggu waktunya dan Rhiana.
Brilyan sendiri bahkan tidak tahu jika kakak beda ibunya itu adalah seorang pelukis terkenal. Dia hanya tahu kakaknya itu penggila kebersihan tetapi suka melukis.
Rhiana muncul dengan pakaian sederhana khasnya. Kaca mata bulat dan rambut yang dikuncir ke atas memperlihatkan lehernya yang putih membuat Brilyan tidak suka. Dia ingin sekali menggerai rambut Rhiana, tetapi pria itu menahan diri. Dia takut Rhiana tidak nyaman bersamanya.
Brilyan menghela nafas dan tersenyum lembut pada Rhiana. "Dimana alamatnya?"
Rhiana dengan pelan memberikan poster lomba pada Brilyan. Pria itu mengangguk dan menggenggam tangan Rhiana menuju mobil. Rhiana hanya bisa menghela nafas dan membiarkan Brilyan membawanya masuk ke mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
RIRES
Wih papa Zant cmburu nih.
2022-07-15
1
RIRES
Nah betul tuh Axtton, lanjutkan 👍👍🤣
2022-07-15
3
Sidart Nigam
Lanjut kak semangat terus yah
2022-03-19
1