Rhiana menyeringai mendengar sahutan tidak terima dari teman sekelasnya. Sepertinya dia akan menonjolkan dirinya mulai sekarang. Tentu saja, dia ingin bermain dengan mereka yang tidak suka padanya. Rhiana akan bersenang-senang mulai sekarang. Selagi kedua kakaknya ada, dia harus merepotkan mereka.
"Ada pembelaan, Rhiana?" Tanya pengawas itu dengan tenang.
Guru Fisika itu adalah seorang pria muda yang berpikiran terbuka. Dia tidak bisa membenarkan sesuatu yang belum tentu benar. Tugasnya sebagai guru adalah mengajarkan sesuatu dengan adil pada muridnya.
"Aku masuk ke sekolah ini dengan jalur beasiswa. Seharusnya teman-teman bisa menebak seperti apa keadaan ekonomi keluargaku." Rhiana menjawab dengan tenang.
"Auranya berbeda. Hari ini dia seperti orang lain," Komentar Brilyan dalam hati.
Tentu saja, Rhiana yang Brilyan kenal adalah gadis polos penakut yang akan mudah gugup jika dihadapkan oleh sesuatu seperti tekanan dari orang lain. Gadis itu biasanya akan meminta bantuan. Sekarang, gadis itu justru terlihat berbeda dari biasanya.
Hening.
Beberapa siswa mengiyakan jawaban itu dalam hati.
"Bohong!" Seorang siswi yang dikenal paling pintar di kelas sebelum kedatangan Rhiana, dua saudaranya dan Brilyan, menyahut dengan keras. Gadis itu tentu saja marah karena nilainya hanya 90 poin. Dia benar-benar kesal.
"Saya ingin alasan jelas tuduhanmu," Pengawas itu masih tetap tenang di depan kelas.
"Itu..." Gadis bernama Lisa itu bingung mencari alasan yang masuk akal.
"Dia pasti menjual dirinya untuk mendapatkan kunci jawaban!" Siswi lain yang duduk di sebelah Lisa menyahut dengan semangat.
BRAK!!!
Suara gebrakan keras, membuat semua orang kaget dan menatap ke sumber suara. Ternyata ulah Dalfa dan Brilyan. Kedua pria itu saling menatap karena tiba-tiba mereka refleks memukul meja.
Mereka begitu emosi mendengar perkataan siswi itu. Dalfi juga marah, tapi tetap tenang. Kakak kedua Rhiana itu selalu tenang dalam segala hal. Dalfi selalu berpikir sebelum bertindak.
"Ada apa dengan kalian berdua?" Tanya Pengawas yang biasa dipanggil Pak Lukcy itu.
"Perkataannya tidak benar/Perkataan wanita itu tidak benar." Brilyan dan Dalfa menjawab bersamaan. Keduanya kembali saling menatap.
"Saya tidak bisa menghukum murid tanpa adanya bukti. Jadi, silahkan temukan bukti, dan berikan kepada saya. Sampai saat itu, saya tidak ingin mendengar ada yang menuduh Rhiana." Setelah mengatakan itu, guru fisika itu segera keluar. Dia harus melapor kejadian ini pada kepala sekolah.
Ini adalah sekolah elit. Selama bertahun-tahun sekolah ini berdiri, tidak pernah ada kasus pencurian kunci jawaban. Lagipula, semua soal dibuat oleh beberapa orang yang dipilih secara khusus oleh sekolah. Jadi, setahu Pak Lukcy, tidak pernah ada kecurangan di sini.
Setelah kepergian pengawas itu, Rhiana memiringkan kepalanya dan menatap penuh ejekan pada Lisa dan gadis di sampingnya yang menunduh Rhiana menjual tubuhnya demi kunci jawaban.
Melihat tatapan penuh ejekan itu, keduanya tentu sangat kesal. Sayangnya, mereka tidak bisa melakukan apapun tanpa adanya bukti.
***
Hari pertama ujian hingga hari terakhir ujian, Rhiana lewati dengan tenang. Tentu saja dia selalu menyelesaikannya dengan cepat dan menghasilkan nilai sempurna. Hal itu membuat teman sekelasnya kesal setengah mati. Mereka tidak menyangka Rhiana selesai secepat itu. Bahkan hasilnya sempurna. Benar-benar mengejutkan!
"Tahun ini, kelas kita mendapat predikat terbaik karena memiliki siswa jenius di sini. Saya sangat bangga pada kalian." Wali kelas Rhiana berbicara setelah ujian hari terakhir selesai.
Siswa jenius yang dimaksud adalah Rhiana dengan nilai paling tinggi di sekolah elit itu. Setelah itu, Dalfi, Brilyan dan Dalfa. Diikuti siswa lainnya. Teman sekelas Rhiana menerima jika Brilyan dan kedua saudara kembar Rhiana jenius. Tetapi, mereka tidak terima jika Rhiana termasuk di dalamnya.
Rhiana sangat senang melihat wajah tidak terima teman sekelasnya. Bukan hanya teman sekelasnya. Siswa kelas lain pun tidak terima. Belum lagi, ada Brilyan dan kedua saudara kembar Rhiana yang selalu mengikuti Rhiana kemana-mana.
Seperti hari ini, hari terakhir ujian semester. Rhiana dengan perannya sebagai gadis polos penakut berjalan di lorong kelas menuju kantin diikuti oleh ketiga pria yang selalu mengekor di belakangnya.
Semua siswa yang melihat itu menatap tidak suka pada Rhiana. Sayangnya, Rhiana tidak peduli. Gadis itu sibuk dengan ponselnya. Dia sedang membalas pesan dari Artya yang memakai nama Felix untuk mengirim pesan padanya.
[Saya akan menjemputmu, tunggu di parkiran sekolah!]
Rhiana mengerutkan kening membaca pesan itu, sebelum membalas, oke. Lagipula, Yeandre dalam keadaan aman, sehingga Rhiana leluasa bergerak. Dia harus mencari tahu tentang tato di punggungnya.
Baru saja Rhiana akan memasukan ponsel ke dalam saku rok seragamnya, gadis itu mengerutkan kening kemudian melirik Dalfi di belakangnya.
SRET!
GREP!
"Baby... kamu baik-baik saja?" Tanya Dalfi khawatir. Pria itu bertanya pada Rhiana yang ada dalam pelukannya.
Sebelumnya, Rhiana menyadari ada yang melempar sesuatu ke arahnya. Dia bisa saja menghindar, tapi, dia sedang dalam perannya, sehingga Rhiana hanya melirik kakak keduanya yang juga menyadari hal yang sama.
Dalfi dengan cepat menarik Rhiana ke dalam pelukannya untuk menghindari lemparan dua butir telur sekaligus. Kakak kedua Rhiana itu bahkan refleks memanggil Baby. Untungnya tidak ada yang mendengar.
"Keluar!" Suara penuh penekanan dari seorang Brilyan membuat situasi di lorong kelas itu menjadi hening. Aura Brilyan sangat menekan mereka.
Hening.
Tidak ada satu orang pun yang bergerak. Brilyan menjadi tidak senang.
"Keluar, sebelum aku yang menariknya keluar!" Brilyan kembali mengintimidasi. Dua orang siswi muncul dari kerumunan dan menghampiri Rhiana dan ketiga pria itu.
"Ka... kami minta maaf. Kami hanya disuruh," Seorang gadis berbicara mewakili teman di sampingnya.
"Siapa?" Dalfa yang bertanya.
"Margharet."
"Siapa Margharet?" Tanya Dalfa bingung. Tentu saja, dia tidak kenal siapa itu Margharet.
"Dia... dia gadis paling populer di sekolah ini. Dia siswi kelas tiga,"
"Mengandalkan statusnya untuk menindas orang? Katakan padanya untuk berhenti, sebelum aku menghilangkan namanya untuk selamanya." Dalfa berbicara dengan datar. Dia tentu saja tidak senang dengan Margharet itu. Beraninya menindas kesayangannya? Cari mati!
"Ba...baik! Kami Permisi," Kedua gadis itu lalu pergi.
"Lepaskan!" Satu kata dari Brilyan membuat Dalfa menatapnya bingung. Sedangkan Dalfi tahu maksud pria itu. Tentu saja, Brilyan ingin dia melepas Rhiana dipelukannya.
"Kamu siapa?" Tanya Dalfi dengan datar.
"Kekasihnya," Jawab Brilyan dengan tenang.
"Kekasih? Mimpi!" Balas Dalfi, kemudian melepas pelukannya dan membawa Rhiana pergi dari sana. Dalfa juga ikut.
"Siapa orang-orang ini sebenarnya? Apa hubungan mereka dengan Rhiana?" Tanya Brilyan dalam hati. Tangan pria itu terkepal berusaha menenangkan dirinya.
***
Rhiana sedang menunggu jemputan yang Artya maksud. Sebelum itu, Rhiana melarikan diri dari Brilyan dan kedua saudara kembarnya. Mereka tidak boleh mengganggunya. Rhiana menunggu sedikit jauh dari gerbang sekolah. Dia tidak boleh terlalu mencolok, apalagi sampai ketahuan ketiga penjaganya.
Rhiana mengerutkan kening ketika sebuah sedan hitam berhenti di depannya. Kaca jendela bagian belakang terbuka. Rhiana bisa melihat wajah Artya yang serius menatap iPad.
"Aku tidak menunggunya," Monolog Rhiana dalam hati. Tentu saja, yang dia tunggu adalah pelukis A3.
"Silahkan masuk, Nona." Suara Felix di kursi pengemudi membuat kerutan di dahi Rhiana semakin jelas.
"Duduk di bagian belakang, Nona." Felix kembali menginstruksi karena Rhiana ingin membuka pintu mobil bagian depan.
Rhiana tidak bertanya lagi, dan membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk di sebelah Artya.
Mobil melaju meninggalkan gerbang sekolah.
"Saya memang seorang pelukis. Tapi saya juga seorang asisten. Pekerjaan saya sebagai pelukis hanya untuk selingan. Sedangkan menjadi asisten adalah pekerjaan utama saya." Felix kembali membuka suara ketika mobil sampai di jalan tol.
Rhiana tidak menanggapi. Gadis itu hanya menatap keluar jendela. Dia jelas ragu dengan perkataan Felix. Mencari identitas pelukis A3 sangat sulit. Jadi, Rhiana tidak semudah itu percaya. Gadis itu tiba-tiba menoleh menatap Artya di sebelahnya. Sesuatu terlintas di pikirannya.
Rhiana menyeringai kecil. Dia sepertinya menyadari sesuatu. Bagaimana bisa dia melupakan pria di sebelahnya ini? Pria ini jelas sangat kuat. Rhiana teringat percakapannya dan Artya sewaktu mereka di New York. Dari ekspresi Artya, Rhiana tahu pria itu berbohong padanya soal lukisan itu.
Ada peralatan melukis di apartemen pria itu. Ada juga browsur perlombaan. Hanya ada dua alasan browsur itu ada. Pertama, pria itu ingin ikut lomba itu. Sayangnya, Artya tidak termasuk dalam pilihan pertama. Jadi, hanya ada pilihan kedua. Artya adalah orang yang menyelenggarakan lomba itu.
Jika itu milik Felix, pria itu tidak mungkin menaruhnya di sana. Apalagi Artya adalah bosnya. Jadi, Rhiana bisa menebak siapa Artya. Sayangnya, Rhiana belum punya cukup bukti untuk memperkuat dugaannya itu.
"Jadi, kita akan kemana?" Tanya Rhiana ketika teringat tujuannya ikut mereka.
"Memulai tugas pertamamu sebagai orang pilihan pelukis A3," Jawab Felix tenang.
"Kalau begitu, kenapa Tuan Amstrong harus ikut? Belum lagi, bukankah kakak iparku ini seorang penggila kebersihan? Aku tiba-tiba merasa bangga karena diizinkan duduk bersebelahan denganmu, Kakak ipar." Rhiana sengaja memancing pembicaraan.
Artya tiba-tiba berhenti menyentuh layar iPad. Apa yang dikatakan Rhiana benar. Dia yang biasanya tidak suka berdekatan dengan orang lain karena takut kuman, kini berinisiatif membiarkan gadis ini duduk di sebelahnya. Tubuhnya bahkan menerima keberadaan gadis ini. Ini sesuatu yang baru dan aneh menurutnya. Felix juga menyadari hal yang sama.
"Mungkin kita berjodoh," Artya berbicara dengan tenang. Sudah saatnya dia menarik gadis ini ke sisinya. Dia akan mencoba menariknya pelan-pelan.
"Sayang sekali, aku adik iparmu sekarang, Kak." Rhiana membalas dengan lembut. Jangan lupakan senyum manis terpaksa miliknya.
"Belum sah." Artya menyahut sambil tangannya menggeser layar iPad.
"Setelah kami lulus." Rhiana tentu saja tidak ingin kalah dalam berargumen.
"Itu tidak akan terjadi!"
Rhiana tidak mengatakan apapun dan membenarkan posisi kaca matanya sebelum menatap jalan di luar jendela mobil.
"Tuan Amstrong juga tertarik dengan lukisan, jadi saya membawa beliau ikut," Felix menjelaskan dengan tenang. Rhiana masih tidak menanggapi.
...
Rhiana dibawa ke sebuah gedung milik Artya. Di dalam gedung itu, ada banyak sekali hasil karya pelukis A3. Ada banyak jenis lukisan di sana.
Melihat lukisan-lukisan itu, kepala Rhiana tiba-tiba berdenyut sakit. Sekelebat ingatan muncul begitu saja. Kebanyakan ingatan itu sama persis dengan lukisan yang ada dalam ruangan itu.
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi padaku? Ketika melihat lukisan di dalam ruangan ini, aku merasa, seperti pernah mengalami hal yang sama. Apa yang sudah aku lupakan? Apa ini berhubungan dengan tato di punggungku?" Monolog Rhiana dalam hati.
Rhiana tidak tahu bahwa semua ini ulah Artya. Pria itu ingin menguji apakah Rhiana adalah gadis yang dia cari.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Felix ketika melihat Rhiana memegang kepalanya.
"Saya baik-baik saja, Tuan. Mulai sekarang, panggil saja nama saya. Saya adalah bawahan anda."
"Baiklah, Rhi. Kamu bisa istirahat lebih dulu. Saya akan meminta seseorang membawa teh untukmu,"
"Saya tidak apa-apa, Tuan." Rhiana tersenyum tipis meski kepalanya masih berdenyut. Gadis itu kembali menoleh menatap jajaran lukisan dalam ruangan ini.
Ceklek
Pintu terbuka. Seseorang masuk dengan membawa gelas. Sepertinya itu minuman untuknya. Rhiana tidak terlalu memusingkan pelayan wanita itu.
Byur
"Saya minta maaf, Nona. Tolong maafkan saya! Saya tidak sengaja. Kaki saya tersandung. Saya benar-benar minta maaf, Nona." Pelayan itu meminta maaf berulang kali karena tidak sengaja tersandung dan menyiram punggung Rhiana dengan minuman yang dia bawa.
Rhiana mengerutkan kening melirik punggungnya yang basah. Dia lalu beralih menatap pelayan wanita itu. Rhiana tersenyum tipis dan berkata pada pelayan itu, "Aku tidak apa-apa,"
"Saya akan membantu mengganti pakaian anda, Nona. Mari ikut saya,"
Rhiana sedikit berpikir, kemudian mengangguk dan mengikuti pelayan itu.
Sampai di toilet, pelayan itu ingin membuka seragam sekolah yang Rhiana pakai. Rhiana mengerutkan kening merasa tindakan pelayan ini tidak sopan.
Rhiana tiba-tiba menyadari sesuatu. Dia kemudian menahan tangan pelayan itu. Tatapan tajam Rhiana berikan pada pelayan itu.
"Aku tidak tahu apa tujuanmu. Cukup sampai di sini!" Rhiana menekan perkataannya.
"Mak...maksud anda apa, Nona? Saya tidak mengerti. Saya hanya ingin membantu anda mengganti seragam anda yang basah." Pelayan itu berdalih dengan gugup.
"Begitukah? Bukankah teh yang ingin kamu berikan untukku, terlalu dingin?" Rhiana berbicara dengan lembut, tetapi wajahnya datar. Rhiana dengan tenang mendorong pelayan itu ke tembok toilet.
"Lantai di ruangan itu juga rata. Bagaimana bisa kamu tersandung?" Rhiana masih memojokkan pelayan itu.
"Sa... saya..."
"Aku tidak tahu siapa yang menyuruhmu. Aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu, cukup sampai di sini. Jangan mengusikku!" Rhiana kemudian keluar dari toilet tanpa mengganti seragamnya yang basah.
Rhiana pergi tanpa pamit pada Felix. Moodnya buruk, sehingga tidak ingin berlama-lama di sana.
Sepanjang perjalanan, Rhiana terus berpikir, apa pelayan itu orang suruhan Artya. Rhiana menduga itu orang suruhan Artya, karena hanya pria itu yang penasaran dengan gadis yang memiliki tato di punggungnya. Sepertinya Artya ingin pelayan itu melihat punggungnya.
...
Masih dengan seragam yang basah di bagian punggung, Rhiana berjalan pelan di trotoar. Dia sedang ingin jalan kaki. Meksi punggungnya basah, dan ditatap aneh karena noda pada punggungnya, Rhiana tidak peduli.
Rhiana berhenti, ketika menyadari dia sudah cukup jauh berjalan. Rhiana lalu mengambil ponsel di saku seragamnya, ingin menelpon seseorang.
Baru saja panggilan terhubung, ponsel Rhiana tiba-tiba ditarik oleh seseorang.
"Huh? Kenapa di saat seperti ini?" Kesal Rhiana dan berlari mengejar orang yang berani mencuri ponselnya.
"Bagus! Kamu bisa menghiburku," Gumam Rhiana dalam hati.
Rhiana berlari setelah melempar kaca matanya sembarangan. Rhiana bisa saja merelakan ponsel itu. Sayangnya, ada beberapa data yang tersimpan di sana, terlebih kenangannya bersama sahabat baiknya. Rhiana tidak mungkin membiarkan ponsel itu diambil begitu saja.
Rhiana menoleh ke sana kemari mencari jalan yang lebih cepat untuk menyusul pencuri itu. Rhiana menerobos jalan raya yang penuh dengan kendaraan. Gadis itu melompat dan menghindari beberapa mobil, mengakibatkan jalan raya menjadi macet.
Pengedaraan roda empat maupun dua berhenti dan keluar hanya untuk memarahi Rhiana yang mengganggu mereka. Rhiana hanya tersenyum tipis. Sudah lama dia tidak menjalan misi. Sepertinya dia akan berterima kasih pada pencuri itu karena sudah mengembalikan moodnya.
Rhiana menyeringai ketika melihat pencuri itu berlari masuk ke gang yang sempit. Rhiana mempercepat larinya hingga akhirnya dia berhenti ketika pencuri itu berhenti karena tidak ada jalan lagi untuk melarikan diri.
"Kembalikan ponselku!"
"Hahaha... kamu ingin ini?" Pencuri itu bertanya sambil menunjuk ponsel Rhiana.
Rhiana menatap datar pencuri itu. Rhiana lalu beralih menatap bagian belakang pencuri itu. Ada 10 orang pria muncul dari sebuah pintu di bagian belakang gang itu.
"Ingin ponselmu kembali? Ambil sendiri, jika kamu berani. Hahaha..." Pencuri itu lalu mengoper ponsel Rhiana ke salah satu temannya. Ponsel itu kemudian dioper lagi ke sana kemari layaknya bola.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Ruzita Abdulrashid
lanjutnya mana...lama sekali
2022-04-19
0
S R
Sukses selalu author
2022-04-03
0
lina
lanjut
2022-03-21
0