Rhiana menatap berbinar apartemen milik Artya. Benar-benar apartemen yang diincar semua orang.
Mulai dari peralatan hingga desain, semuanya benar-benar edisi terbatas. Bukan itu yang membuat Rhiana senang. Dia senang karena ada ruang rahasia di apartemen ini. Tentu saja Rhiana mengetahui hal ini karena sudah melihat cetak biru gedung apartemen berlantai 50 ini.
Empat tahun lalu, Rhiana memiliki misi untuk menangkap penghianat yang bersembunyi di gedung apartemen ini. Untuk menangkap penghianat itu, Rhiana menyusup ke pusat kontrol gedung ini dan mencuri cetak biru gedung apartemen ini. Tentu saja cetak biru diperlukan untuk mengetahui setiap jalan rahasia di gedung ini. Ternyata hanya dua jalan rahasia dan satu ruang rahasia.
Jalan rahasia yang pertama dibagian tangga darurat, sedangkan jalan rahasia yang lain berada di apartemen milik Artya. Bukan hanya jalan rahasia, tetapi ada juga ruang rahasia.
Selain itu, Rhiana pernah mendengar ada sesuatu yang disimpan di ruang rahasia itu. Tentu saja dia sangat penasaran dengan ruang rahasia itu. Akhirnya, hari ini dia bisa masuk ke apartemen ini.
"Siapa namamu, Kak?" Tanya Rhiana memecah keheningan. Meski sudah tahu nama kakak Brilyan itu, tapi Rhiana saat ini tidak sedang menyamar, sehingga dia akan berakting tidak kenal.
"Artya." Rhiana mengangguk sambil berkeliling dalam apartemen ini. Rhiana sedang mengingat, dimana tepatnya ruang rahasia itu berada.
Rhiana mengerutkan kening karena melihat beberapa figura besar yang terpajang di dalam apartemen ini. Ada juga satu kanfas dan peralatan melukis dipojok ruangan dekat jendela.
"Kak Artya suka melukis?"
"Tidak juga. Hanya hobby," Rhiana hanya beroh ria.
"Ini... siapa yang melukis ini, Kak?" Rhiana bertanya setelah terdiam cukup lama menatap lukisan di depannya.
Rhiana penasaran dengan lukisan yang terpajang di dinding ruang tamu. Itu lukisan pedang naga yang sama persis dengan tato di punggungnya. Tentu saja dia penasaran, karena dia sudah mencari ke sana kemari arti tato di punggungnya, tetapi tidak menemukan petunjuk apapun. Dia hanya menemukan bunga Ranunculus tetapi tidak dengan pedang naga.
"Entahlah. Aku hanya membelinya," Artya tentu saja tidak akan menjawab bahwa itu lukisannya sendiri. Dia tidak mungkin membiarkan orang lain tahu tentang pedang naga milik keluarganya.
"Sayang sekali," Rhiana menghembuskan nafas lesuh. Artya mengerutkan kening melihat tingkah Rhiana. Ekspresi gadis kecil di depannya ini seperti orang yang ingin tahu tentang pedang itu.
"Kamu tahu lukisan itu?" Artya bertanya karena ingin memastikan sesuatu.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang pedang ini. Hanya saja, aku pernah melihatnya di suatu tempat." Rhiana menjawab asal.
"Dimana kamu melihatnya?" Artya tentu saja penasaran.
Jika ada orang selain keluarga Scoth yang tahu pedang naga ini, itu berarti hanya gadis itu. Hanya gadis itu yang tahu, karena Artya melukisnya di punggungnya.
"Di punggung seorang gadis," Nada suara Rhiana berubah serius. Rhiana menyadari sesuatu. Pria yang duduk sofa itu sepertinya tahu tentang pedang naga ini.
"Kamu tahu siapa gadis itu?"
"Kakak juga pasti tahu siapa yang melukis pedang naga ini, 'kan?"
Keduanya lalu saling menatap dengan pikiran masing-masing. Dalam hati, mereka sama-sama curiga satu sama lain.
"Mari buat kesepakatan!"
Entah apa yang keduanya pikirkan, tiga kata itu berhasil dikeluarkan secara bersamaan.
"Kesepakatan apa?" Tanya Rhiana setelah duduk tepat di depan Artya.
"Apa yang kamu ingin, aku akan memberikannya,"
Rhiana menyeringai mendengar kesepakatan itu. Tentu saja sudah ada permintaan di kepalanya.
"Apapun?" Tanya Rhiana memastikan. Artya mengangguk setuju.
"Aku ingin apartemen ini." Rhiana tidak menunggu lama.
"Oke."
Rhiana berkedip beberapa kali karena pria di depannya ini setuju begitu saja. Sepertinya apartemen ini tidak terlalu berarti untuknya.
"Sekarang giliranmu, Kak. Apa yang kakak inginkan?" Tanya Rhiana pelan.
"Tidak sekarang. Aku hanya ingin tahu pemilik tato yang kamu maksud."
"Gadis yang memiliki tato di punggungnya adalah temanku. Ada tato pedang naga yang dilingkari bunga rannuculus. Apa aku benar?"
Mendengar ini, Artya tentu saja sangat yakin itu adalah gadis yang dia cari.
"Siapa namamu temanmu? Aku ingin bertemu dengannya,"
"Namanya Rhiana. Sekarang, katakan nama temanmu, Kak."
"Felix."
"Oke. Berikan nomor ponselmu, Kak. Aku akan mengirim alamat pertemuan dengannya nanti." Rhiana mengulurkan tangannya meminta ponsel Artya.
Pada akhirnya, dua orang itu masih saja tidak menjawab jujur. Tentu saja, karena mereka tidak percaya satu sama lain.
Setelah sepakat, Rhiana pamit ke kamar sebelah. Tentu saja, gadis kecil itu kembali melewati jalan yang sama.
Baru saja Rhiana akan melompat ke balkon apartemen milik sahabatnya, ponsel di saku celananya bergetar. Rhiana mengurungkan niatnya melompat dan melihat siapa yang menghubunginya jam 2 dini hari ini.
Ternyata panggilan video dari Dalfi. Rhiana segera menolak tanpa penundaan. Setelah itu, Rhiana melompat ke balkon sebelah.
Sampai di balkon kamar Lycoris yang mulai hari ini akan menjadi miliknya, ponselnya kembali bergetar. Tapi kali ini panggilan darurat yang tentu saja itu tidak bisa dia tolak.
Rhiana mendengus dan menatap layar ponselnya karena panggilan video sudah terhubung. Sudah pasti panggilan darurat itu dikontrol dari sana sehingga itu terjawab dengan sendirinya.
"Ck... niat sekali, Kak." Rhiana mencibir pada Dalfi yang menatapnya datar. Bukan hanya Dalfi. Dalfa juga melakukan hal yang sama.
"Kamu dimana, Little Girl? Ini sudah jam 9 malam tapi kamu tidak ada di rumah. Ayo bertemu! Kami ada di rumah ayah baptismu. Mulai sekarang, kami akan tinggal di sini."
"Aku tidak bisa. Ada yang harus aku lakukan," Rhiana menjawab setelah mendaratkan bokongnya di kursi santai di balkon.
"Apa yang kamu lakukan di apartemen Lycoris? Kenapa pergi tidak pamit?" Suara Dalfi penuh penekanan.
"Apa? Kamu di New York? Hei... kamu kabur Little Girl?" Dalfa kaget karena adiknya ini ada di New York.
Rhiana tanpa bertanya, tentu saja bisa menebak dari mana kakaknya itu tahu. Sudah pasti karena melihat latar di belakangnya. Kakak keduanya itu akan mengenali tempat ini dengan mudah, karena dia sendiri yang mendekorasi balkon kamar ini atas paksaan Rhiana dulu. Hari itu tepat ulang tahun Lycoris 2 tahun lalu.
"Ada yang harus aku lakukan di sini. Aku akan pulang besok atau lusa. Tergantung my mood. Jangan lupa izinkan aku,, Kak." Rhiana tersenyum polos meminta belas kasihan.
"Baiklah. Di sini jam 9 malam. Di sana jam 2 pagi. Kamu tidak istirahat, Little Girl?" Dalfa berbicara dengan nada sedikit khawatir.
"Aku tidak bisa tidur, Kak."
"Ya, sudah." Dalfi berbicara dengan datar.
"Kamu tahu, Little Girl, iparku itu sudah menunggumu sejak sore. Sampai sekarang pun dia masih di depan gerbang rumahmu. Kamu tidak kasihan padanya?" Dalfa menggoda Rhiana yang mengeryit jijik menatapnya.
"Aku sengaja tidak mengangkat panggilannya. Aku tidak ingin diganggu oleh siapapun,"
Brilyan memang menghubungi Rhiana berulang kali, mulai dari pulang sekolah hingga malam. Rhiana tentu saja mengabaikan semua panggilan dari pria itu.
"Kasihan dia, Little Girl. Dia bahkan belum mengganti pakaian seragamnya. Dia juga sepertinya belum makan malam. Kata orang kita yang mengawasi, dia sama sekali tidak keluar mobil."
Dalfa memang posesif pada Rhiana. Tapi, ketika melihat tingkah laku Brilyan pada adiknya, Dalfa akan sedikit berbaik hati pada pria itu.
"Jika kakak kasihan, tolong beri dia makan. Aku akan menutup teleponnya. Jangan beritahu mommy aku di sini," Rhiana segera mematikan sambungan telepon darurat itu.
Setelah panggilan berakhir, Rhiana membuka ponselnya. Sekitar 50 panggilan tidak terjawab dan 20 pesan tidak terbaca dari Brilyan. Rhiana menggeleng melihat ponselnya. Sedikit pertimbangan, Rhiana akhirnya memutuskan untuk menelpon pria itu.
Hanya deringan pertama, panggilan langsung dijawab.
"Kamu dimana? Kenapa pulang tanpa memberitahuku? Pulang dengan siapa? Aku di depan rumahmu sekarang. Ayo bertemu!"
"Eto... ada hal yang harus aku lakukan. Aku akan ke sekolah minggu depan. Maafkan aku, aku tidak bisa memberitahumu."
"Beritahu aku, dimana kamu sekarang! Jika kamu tidak memberitahuku, aku akan menjemputmu sendiri dengan caraku!"
Brilyan langsung mematikan teleponnya.
Rhiana menatap ponselnya dengan datar. Pria itu pasti hanya mengancam. Rhiana menaikan bahunya tidak peduli dan masuk ke dalam untuk istirahat.
***
Pukul 6 pagi, kota New York
Rhiana meregangkan otot tangannya di balkon kamarnya. Ketika menoleh ke kamar sebelah, ada Artya dengan acuh tak acuh menatap ke bangunan di depan sana.
"Selamat pagi, Kak." Rhiana menyapa dengan riang.
Hening.
Rhiana mengerutkan kening karena Artya hanya menoleh menatapnya sebentar kemudian beralih menatap ke arah depan. Tingkah pria itu tidak seperti semalam. Pagi ini, justru benar-benar aneh. Dia sama seperti orang lain.
Ekspresi Artya pagi ini sama persis dengan ekspresi khasnya di kediaman Scoth. Cara berpakaiannya juga berubah. Semua terlihat modis. Jangan lupakan sarung tangan yang membungkus kedua telapak tangannya.
"Jika dia memiliki kepribadian ganda, itu berarti kesepakatan kita semalam percuma saja. Menyebalkan!" Kesal Rhiana dan menatap datar Artya sebelum masuk ke dalam. Moodnya jelek pagi ini.
...
Masih kesal, Rhiana memutuskan keluar apartemen untuk jalan-jalan.
Rhiana sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Dengan mengendarai motor sport miliknya yang disimpan di apartemen ini, Rhiana mengendarai motornya pergi dari sana. Entah ke mana dia akan pergi, Rhiana tidak tahu. Gadis itu hanya melajukan motornya mengikuti arah jalan. Berharap menemukan hal menarik dalam perjalanan.
15 menit perjalanan, Rhiana tersenyum tipis membaca papan nama yang bertuliskan arena bermain 1 km di depan sana. Untuk menghilangkan kekesalannya, ada bagusnya bermain, pikirnya.
Di sinilah Rhiana. Arena bermain di kota New York. Rhiana sengaja membayar lebih pada pegawai di sana, karena belum waktunya arena bermain itu buka.
Rhiana mulai mencoba semua wahana permainan di sana. Mulai dari bermain whac a mole, meninju target untuk mendapatkan poin, menembak boneka sejauh 5 meter hingga 20 meter, semuanya dilakukan dengan sangat baik. Tentu saja, itu berhasil membuat pegawai arena bermain yang mengikutinya sedari tadi berbinar senang melihatnya. Diam-diam pegawai itu mengambil ponselnya dan memulai siaran langsung.
Rhiana yang tidak tahu sudah menjadi perbincangan para kaum muda di siaran langsung, masih asik dengan dunianya sendiri. Gadis itu begitu bahagia melakukan ini. Dia juga teringat dengan almarhum sahabatnya. Keduanya selalu menghabiskan waktu bersama di arena bermain ini jika mereka bosan, atau jika mereka selesai dalam misi.
[Siapa gadis itu? Dia sangat keren!]
[Sudah cantik, dia benar-benar pandai dalam bermain. Sial! Aku iri padanya,]
[Tidak ada satupun game yang luput darinya. Dia sangat ahli. Dimana ini? Aku ingin melihatnya secara langsung.]
[Aku tahu tempat itu! Itu arena bermain pusat kota New York.]
[Aku harus membolos sekolah demi melihatnya.]
[Sarapan pagiku aku buang, dan bergegas ke sana. Aku ingin melihat dewiku!]
[Aku tidak butuh sarapan! Melihat senyumnya, sudah cukup.]
[Aku sudah di arena bermain, tapi tempat ini masih tutup.]
[Wah... gadis itu beruntung membuka tempat itu sendiri. Ayo bergegas ke sana, teman-teman!]
[Serbu!]
Rhiana yang tidak tahu apapun, sedang asik melempar bola basket ke dalam ring. Tentu saja itu tepat sasaran. Rhiana berhenti sejenak untuk mengibas dirinya yang kepanasan.
"Minuman untuk anda, Nona." Seorang pegawai datang dengan dua macam minuman dan satu piring roti yang masih terbungkus rapi.
"Oh, terima kasih." Rhiana menyambut dengan senyum manisnya. Gadis itu kemudian duduk selonjoran di lapangan sambil menikmati segelas kopi mocca pemberian salah satu penonton yang masih mengantri untuk masuk.
[Senyuman itu tidak asing!]
[Itu benar! Dia benar-benar mirip nona muda keluarga Veenick.]
[Tidak salah lagi! Dia cucu bungsu perusahaan otomotif terbesar. Rhiana Lavanya Veenick.]
[Dia dewiku! Aku sudah jatuh cinta padanya sejak kami masih sekolah dasar.]
[Meski aku seorang perempuan, aku juga jatuh cinta padanya. Dia sangat cantik!]
[Kapan arena bermain ini dibuka? Aku ingin melihat dewiku secara langsung.]
[Kata pegawainya, arena bermain ini tutup hari ini.]
[Huftt... jadi kita hanya bisa menonton gadis keren ini dari jauh? Aku sedih,]
Ya, arena bermain ini tidak dibuka meski sudah waktunya. Semua ini ulah Dalfi. Karena tempat ini miliknya, sehingga dia dengan mudah mengontrolnya dari jauh.
Dalfa dan Dalfi kaget ketika menerima laporan dari bawahan mereka bahwa adik kesayangan mereka ada di arena bermain. Tentu saja mereka baru tahu dari siaran langsung itu.
Melihat kesenangan adik kesayangan mereka yang terlihat bahagia, Dalfi memutuskan untuk tidak membuka arena bermain agar adiknya itu bermain sepuasnya tanpa ada yang mengganggu.
Rhiana yang tidak tahu situasi apapun, terus bermain dengan mengeluarkan keahliannya. Dia berpikir, tidak akan ada yang melihatnya sehingga tidak masalah dia bermain dengan baik.
Rhiana dengan tenang melempar bola menggunakan satu tangannya ke dalam ring. Bahkan dalam posisi duduk. Tentu saja aksinya semakin membuat penonton siaran langsung semakin heboh
Rhiana tidak tahu, bahwa setelah ini, dia tidak akan bisa hidup tenang lagi.
...
Hann di sekolah mengerutkan kening melihat keheboan teman sekelasnya yang menonton siaran langsung. Karena penasaran, Hann menengok ke ponsel teman sebangkunya. Hann langsung merebut ponsel temannya bernama Lucas itu.
"New York? Sedang apa dia di sana?" Tanya Hann bingung. Hann sudah mencari ke sana kemari, tetapi dia tidak menemukan jejak gadis yang menarik perhatiannya di arena balapan waktu itu.
Hann sudah memaksa kepala sekolah untuk menunjukan data semua siswa yang bersekolah di sini hanya untuk mencari keberadaan Rhiana. Sayangnya, tidak ada jejak apapun. Hann kini berpikir, gadis itu mungkin hanya menjalankan misi menjaga Yeandre. Atau, gadis yang dia cari ini menyamar, sehingga sulit ditemukan.
...
Di rumah sakit, tempat El dirawat.
El, pria yang berhasil Rhiana kalahkan dalam balapan liar beberapa waktu lalu, sedang bermain game di ponselnya. Pria itu dikagetkan dengan kemunculan teman-temannya.
"El... kamu harus lihat ini!" Salah satu temannya menunjukan ponselnya.
El dengan malas mengambil ponsel itu. Seketika pria itu duduk tegak.
"Bos!" Heboh El senang melihat siaran langsung, dimana Rhiana sedang melempar bola basket dengan posisi duduk.
Masih dengan senyum senang, El mulai mengetik sesuatu di kolom komentar.
[Asal kalian tahu, dia adalah bosku! Bosku sangat hebat. Tidak hanya ahli dalam game, bosku juga seorang ahli dalam balapan. Jika kalian tidak percaya, silahkan buka link ini.]
El kemudian menambahkan link berisi video Rhiana balapan bersamanya.
[Kamu benar! Dia adalah idola baru arena balapan liar di Swiss. Idolaku ternyata ada di New York!!!]
[Ya, Tuhan... gadis itu terlalu sempurna! Aku ingin bertemu dengannya.]
[Sepertinya dia diciptakan di saat Tuhan sedang dalam mood yang baik. Benar-benar sempurna. Aku iri padanya.]
[Hei, Bro. Maksud kamu, kita yang buruk rupa ini diciptakan ketika Tuhan dalam mood yang buruk?]
[Bukan begitu, Hyung. kamu seharusnya tahu maksudku.]
[Kenapa kalian malah membahas hal yang tidak penting?]
[Oke, berhenti membahas yang tidak penting. Mari membahas dewi kita.]
[Aku setuju!]
Melihat banyak komentar pujian untuk Rhiana, El tersenyum senang. Pria itu semakin menambah kalimat pujian membuat semua orang ikut memuji Rhiana.
***
Di apartemen Rhiana, tepatnya apartemen Artya. Pria itu sedang duduk menonton berita. Ketika mengubah channel, senyum senang Rhiana terpampang jelas di layar TV. Pria itu tertegun melihat senyum itu. Senyum itu seperti tidak asing. Artya juga sadar, gadis itu adalah gadis yang menyapanya beberapa waktu lalu.
Artya akui, gadis yang menyapanya tadi sangat cantik. Sayangnya, Artya tidak tertarik dengan gadis cantik. Dia lebih suka dengan gadis yang menarik. Dan baru satu orang yang menarik perhatiannya. Gadis itu adalah kekasih adiknya.
Artya kini beralih ke ponselnya menonton siaran langsung, dan membaca komentar orang-orang tentang Rhiana. Artya juga tertarik dengan komentar El. Pria itu lalu membuka link yang terlampir di sana.
Pandangan Artya seketika berubah. Sepertinya dia mulai tertarik dengan gadis cantik ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
RIRES
Wah, wah Rhiana hidupmu tdk akan tnang stelah ini.
2022-07-15
0
RIRES
Wah Rhiana benar² hebat.
2022-07-15
0
S R
Sukses selalu buat karya barunya🤗
2022-03-04
0