"Mommy!"
Arlo berteriak histeris melihat ibunya yang berada di atas ranjang. Dengan segera ia berlari dan memeluk tubuh wanita itu. Sudah lama ia tidak bertemu ibunya, dan Arlo begitu rindu.
Alin memang sudah sadar sejak beberapa menit lalu dari tidur panjangnya. Ia begitu kaget ketika melihat Arlo bisa berada di sini. Didekapnya dengan erat tubuh anak kecil itu, sambil sesekali meringis menahan rindu.
"Arlo, kenapa kau bisa sampai di sini?" tanya Alin risau. Sambil mengusap air matanya yang menetes.
"Aku mengalahkan dua pengawal itu, Mom. Aku akan membawa Mommy pulang." Arlo memegang tangan ibunya dengan erat. Sedikit menariknya.
"Tidak ada waktu untuk berbincang, Alin. Kita harus secepatnya pergi. Pakai ini, supaya tidak diketahui orang." Nola menyerahkan sebuah jaket supaya tubuh Alin tertutupi. Tidak terlihat seperti mengenakan pakaian pasien.
Alin mengangguk. Lantas mencabut selang infus yang menancap di tangannya dengan kasar, sehingga darah keluar dari sana. Namun, ia tidak peduli dan lebih memilih memakai jaket untuk menutupi identitas.
Alin lantas bergerak menuruni brankar dengan hati-hati dibantu dengan Nola yang sudah bersiap sebelumnya.
"Apa kau bisa jalan?" tanya Nola memegangi tangan Alin.
"Bisa. Tapi bagaimana dengan kedua pengawal itu?" Alin risau. Pasalnya kedua pengawal itu terus berjaga-jaga.
"Mereka sudah aku urus. Aku kunci di kamar mandi. Mereka tidak akan keluar dalam waktu yang lebih lama. Jadi kita bisa melarikan diri." Nola menjelaskan dengan panjang.
Alin mengangguk paham. Lantas menatap anaknya yang sudah lama tidak ia temui itu.
Sungguh, rasanya Alin hampir mati memikirkan kalau nanti dirinya tidak bisa lepas dari cengkeraman Daniel dan tidak bisa bertemu dengan Arlo.
"Mommy merindukanmu, Arlo," ungkap Alin sendu.
"Arlo juga merindukan Mommy, tapi sekarang bukan waktunya untuk berpelukan. Kita harus pulang dulu, Mom." Sebab, Arlo khawatir Daniel akan kembali lebih cepat. Mengingat pria itu selalu saja datang di saat yang tidak terduga.
"Benar kata Arlo, kita harus segera pergi. Kita akan pergi lewat pintu belakang. Ayo, Alin." Nola membimbing langkah sahabatnya itu untuk pergi dari ruangan. Diikuti dengan Arlo yang setia mendampingi.
***
"Nenek! Nenek!" Daniel berteriak kencang di sepanjang jalan menuju ruang tamu rumah mewah itu. Panik dan khawatir menjadi satu.
"Astaga, Daniel, pelanlah sedikit. Nenek sampai sakit mendengar teriakanmu itu." Seorang wanita tua menuruni anak tangga sambil menutup telinga.
Daniel membulatkan mata. Bukankah tadi informasinya neneknya itu sedang sakit? Lalu kenapa bisa lancar berjalan seperti ini?
"Nenek, katanya nenek sakit," cicit Daniel. Memutari tubuh nenaknya.
"Astaga, Daniel. Nenek sampai pusing kamu putar-putar seperti itu. Nenek tidak sakit, hanya saja sedikit merindukanmu. Makanya nenek memanggilnya ke sini." Wanita tua itu tersenyum manis.
"Nenek!" bentak Daniel. Daniel sudah khawatir setengah mati dan bergegas untuk kembali ke rumah, tapi ternyata hanya dibohongi saja.
"Habisnya kamu susah banget diajak pulang ke rumah. Nenek kan kangen sama kamu. Mana kerjaan aja yang diurus," tukas neneknya Daniel.
Daniel meraup wajahnya kesal. Dirinya tadi sudah mengebut setengah mati ke sini dan rela meninggalkan Alin sendirian. Namun, ternyata setelah sampai di sini hanya kebohongan semata.
Daniel melirik sinis Vano seolah meminta sebuah penjelasan. Pasti asistennya itu tengah membohonginya. Ikut andil dalam rencana neneknya Daniel itu. Sungguh mengesalkan.
"Saya tidak tahu, Tuan. Tadi saya dapat informasi seperti itu," sela Vano lebih dulu.
"Ck, jangan marahi Vano lagi. Nenek yang menyuruh menjalankan sandiwara ini. Lagipula apa salahnya pulang ke rumah, hah?" Merangkul bahu cucunya itu supaya lebih akrab.
"Bukan begitu, Nek. Ada pekerjaan banyak yang harus aku urus," jawab Daniel.
"Pekerjaan apalagi yang lebih penting dari nenek, hah? Sekali saja turuti permintaan nenek. Nenek hanya ingin makan bersamamu." Wanita tua itu masih kekeh dengan pendiriannya. Menggiring cucunya itu untuk menuju meja makan.
Mau tidak mau Daniel menurut begitu saja, ikut berjalan ketika tangannya ditarik oleh sang nenek. Saat diluar Daniel akan terlihat dingin, tapi jika bersama neneknya ia akan menjadi sosok yang hangat dan manja.
"Ini pakai dulu," ucap sambil menyodorkan sebuah celemek kepada Daniel. Yang mana disambut dengan sebuah kerutan di dahi.
"Nek, aku sudah besar. Tidak usah memakai itu lagi." Daniel menolak. Masa ia sudah besar dipaksa untuk memakai celemek makan bermotif bunga itu.
"Tapi makananmu selalu belepotan, Daniel. Apa kau malu dengan Vano? Bukankah dia sudah hapal dengan semuanya?" tanya wanita paruh baya itu menatap Vano.
"Benar, Tuan. Anda tidak perlu malu lagi." Vano menahan tawanya. Bisa ia lihat jelas bahwa Daniel mulai merutukinya.
"Ck, Nenek," rengek Daniel tidak mau menurut. Ia tidak suka dengan tatapan itu.
"Pakai saja, Daniel. Vano tidak akan menertawakan, kok."
Daniel tersenyum sinis, menatap ke arah celemek bermotif bunga yang diberikan neneknya. Ia mulai menghela napas dan ingin memakainya sebelum suara dering telepon Vano mengganggunya.
"Ada apa, Van?" tanya Daniel yang melihat Vano seperti gelisah.
"Tuan, wanita itu kabur! Dia tidak ada di ruangannya!"
"Sial! Bagaimana dia bisa kabur, hah?! Bukankah ada penjaga di sana?" Daniel sampai berdiri karena mendapatkan berita itu.
"Kita harus pergi, Tuan!" Vano memberi keputusan. Hal itu langsung disetujui oleh Daniel, sehingga membuat pria itu langsung beranjak.
"Daniel, apa yang terjadi? Kenapa kalian terlihat cemas?" tanya wanita paruh baya itu. Menahan tangan Daniel yang hendak beranjak.
"Nek, nanti Daniel jelaskan. Sekarang Daniel harus pergi," jawab Daniel setelahnya mencium kening neneknya sebelum ia benar-benar pergi.
Tanpa berlama lagi, mobil yang dikendarai oleh Daniel melesat menuju rumah sakit. Setelah sampai, dengan penuh amarah di dadanya, ia mendatangi salah satu ruangan tempat di mana dua pegawainya di rawat.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian bisa seperti ini?" damprat Daniel.
"Tadi perut kami sakit, Tuan, dan pergi ke kamar mandi. Tapi ternyata kami dikunci di kamar mandi oleh seseorang. Ketika kami kembali, Nona Alin sudah tiada," jawab salah satu pengawal.
"Menurut laporan, mereka diduga meminum sesuatu yang sudah dicampur dengan obat pencuci perut," jelas Vano yang baru saja mendapatkan informasi dari dokter tentang kondisi kedua pengawal itu.
"Bagaimana bisa kalian minum obat pencuci perut secara bersamaan?!" murka Daniel. Wajah pria itu sudah memerah sekali.
Pengawal itu nampak terdiam, sampai pada akhirnya mereka teringat satu kejadian.
"Tapi tadi kami sempat minum dari jualan seorang anak kecil, Tuan. Kami membela dagangannya karena merasa iba. Setelah meminumnya, kami langsung sakit perut."
"Bodoh! Bagaimana bisa ada penjual dagangan masuk ke rumah sakit, hah? Rumah sakit ini anti dengan yang namanya orang luar!" Daniel semakin murka mendengar cerita itu.
Kedua pengawal itu hanya terdiam sambil menunduk. Atasannya sudah marah seperti ini sudah bisa dipastikan akan mendapatkan saksi yang berat.
"Van, cepat kirimkan beberapa orang untuk mencari keberadaan wanita itu. Jangan kembali sampai mereka menemukannya!" titah Daniel.
"Baik, Tuan." Vano pamit undur diri.
"Dan untuk kalian, siap-siap angkat kaki dari perusahaan karena kalian saya pecat!"
Daniel segera keluar dari ruangan rawat itu, lalu berjalan dengan amarah yang menggebu. Kedua pegawainya itu memang tidak becus dalam menjalankan misi. Masa menjaga wanita saja tidak bisa.
"Berani-beraninya kau kabur dariku, Alin!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Sri Faujia
mangkin parah klo daniel marah lin kau menghilang
2022-08-08
0
Nur Yani
penasaran...gimana ya reaksi danil kalau tau arlo itu anak kandungnya. gk sabar jadinya... haluu dlu ahhh...😀😀
2022-02-02
0
Hasnawati
semangat daniel
2022-01-31
0