"Arlo, mommy akan berangkat mencari kerja. Nanti Bibi Nola akan menjemputmu pulang. Ingat, jangan keluar sekolah dulu kalau Bibi belum menjemputmu," peringat Alin.
"Iya, Mom." Arlo mengangguk patuh.
Alin tersenyum. Lalu mengelus kepala anaknya yang diiringi dengan kecupan manis di kening bocah kecil itu.
"Kalau begitu mommy pergi, dulu, ya? Yang semangat belajarnya, Sayang." Alin melambaikan tangan hendak berangkat dari dalam taksi.
"Hati-hati, Mom!"
"Kamu juga, Arlo!"
Alin melihat anaknya sekali lagi sebelum ia benar-benar beranjak. Ketika ia melihat Arlo sudah berbaur dengan teman-temannya, barulah Alin menyuruh supir taksi untuk mengantarnya ke salah satu perusahaan tempat dia akan melamar.
Keadaan mengubah Alin seratus delapan puluh derajat. Dulu hidupnya begitu mudah, sampai bisa menghamburkan uang dengan mudah. Dulu ia juga pernah mengikuti perlombaan desain yang ternyata sudah diliciki oleh Angela membuatnya kalah telak.
Sekarang, Alin mencoba peruntukan baru dengan memulai semuanya dari awal. Beberapa hari ini ia mencoba mengirimkan CV dan menunjukkan beberapa desain bajunya, barangkali ada yang merekrutnya. Dan ternyata benar ada perusahaan yang tertarik dan meminta Alin untuk datang dan melakukan wawancara kerja.
Setibanya di lokasi, Alin mengedarkan pandangan ke arah gedung bertingkat di depannya. Alin berharap semoga ini menjadi awal langkahnya untuk sukses dan mendapatkan banyak uang.
Alin disuruh untuk menunggu di salah satu ruangan oleh seorang HRD sembari menunggu atasan perusahaan datang. Alin menikmati desain kantor itu, menurutnya cukup bagus untuk ukuran kantor yang baru saja berdiri.
"Pak Raka, ini Nona Alin yang memiliki desain menarik itu."
Alin yang mendengar suara seseorang itu segera berdiri dari duduknya dan berbalik untuk menghadap calon bosnya itu. Namun, ketika sudah berhadapan, alangkah terkejutnya Alin mengetahui siapa yang berdiri di depannya.
Dia adalah Raka, masa lalunya Alin. Pria yang mendasari semua rasa sakit Alin hingga melampiaskannya dengan menyewa seseorang di club. Entah suatu kebetulan apa, hari ini Alin dipertemukan dengan masa lalunya itu.
"A-Alin?" Raka kaget.
Alin meneguk ludah kasar. Tatapannya tetap tertuju pada Raka yang sama kagetnya dengan dirinya. Jadi, perusahaan yang merekrutnya itu adalah perusahaan milik Raka?
"Ada masalah, Pak?" tanya karyawan yang melihat kecanggungan itu.
"Tidak. Pergilah, aku butuh waktu sebentar." Raka memerintah yang langsung mendapatkan anggukan.
Raka berjalan mendekati Alin yang masih mematung di sana.
"A-Alin? Ini benar kau?" tanya Raka.
"Selamat pagi, Pak." Alin malah merespon dengan lain.
"Alin, bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja selama ini?"
"Saya baik, tepatnya setelah hari putus kita waktu itu." Alin mencoba tersenyum. Padahal hatinya sudah menjerit sakit.
Raka membisu. Bisa ia tangkap jelas bahwa Alin tengah menyindirnya.
"Saya sangat senang sekali mendapatkan tawaran pekerjaan pada perusahaan yang Bapak pimpin, tapi sepertinya saya mempertimbangkan untuk menerima pekerjaan ini," jelas Alin lengkap.
"Alin," panggil Raka.
"Terima kasih. Saya tidak jadi mengambil pekerjaan ini. Saya pamit." Alin yang hendak melangkah pergi lebih dulu dicekal oleh Raka.
"Alin, aku mohon maafkan atas kesalahanku waktu itu. Aku tidak tahu kalau bakal seperti ini akhirnya." Raka menjelaskan.
Alin melepaskan tangan Raka yang mencekalnya.
"Aku sudah melupakan kejadian itu. Dan, selamat untuk kalian, akhirnya hubungan kalian bisa bersatu tanpa adanya penghalang yaitu aku."
Raka menggeleng. "Tidak, Alin. Bukan ini yang kuharapkan."
"Apalagi yang kau harapkan? Bukankah kau dan Angela sudah bersama saat ini? Lalu apa yang kau inginkan lagi?" Alin menatap geram ke arah Raka.
"Maafkan aku, Alin."
"Aku sudah memaafkanmu. Jadi, tolong jangan menghalangiku lagi," putus Alin.
Raka kembali menahan tangan Alin yang hendak pergi. Yang mana malah membuat Alin menepisnya dengan kasar.
"Sudah kubilang jangan menyentuhku lagi!" bentak Alin.
"Apa yang kau mau? Melihatku lebih hancur lagi? Iya? Apa belum cukup kalian menghancurkan hidupku, hah?!" Alin mulai terpancing emosi.
"Alin, dengarkan aku dulu."
"Cukup! Aku tidak mau mendengarkan apa pun lagi! Sudah cukup kalian bermalam waktu itu sebagai bukti bahwa kau pria yang tidak tahu diri, Raka! Kau pria bodoh!" umpat Alin sambil mendorong tubuh Raka.
"H-harusnya kita sudah menikah dan memiliki anak saat ini, tapi karena itu kau menghancurkan semuanya! Kau berselingkuh dengan adik tiriku sendiri, Raka! Apa kau masih waras?" Alin tidak bisa memendam emosinya lagi. Bahkan sesekali air matanya sampai menetes.
Raka terdiam, menerima semua pukulan itu. Namun, sampai beberapa detik ia meraih tubuh Alin dan mendekapnya dengan erat. Meskipun mendapatkan penolakan, tapi Raka tetap mempertahankan posisinya.
"Lepaskan aku, sialan!" umpat Alin.
"Hussst, tenangkan pikiranmu dulu."
Sama seperti biasa, pelukan dari Raka mampu meluluhkan setengah kewarasan Alin.
Beberapa saat mereka berpelukan, tidak ada yang membuka pembicaraan. Sampai keheningan di antara mereka teralihkan ketika suara deringan ponsel mengalihkannya.
Alin melepaskan pelukan dengan menjaga jarak. Kemudian mengangkat sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal itu.
"Apa ini dengan Bu Alin? Saya dari rumah sakit Medika ingin memberitahukan bahwa anak Anda yang bernama Arlo mengalami kecelakaan dan saat ini sedang mendapat penanganan di rumah sakit."
"Apa?!" Alin hampir limbung, jika saja tidak segera ditangkap oleh Raka.
"Kenapa, Alin?"
"Aku harus pergi." Alin meraih tasnya dan bergegas meninggalkan ruangan. Tanpa mengindahkan teriakan dari Raka.
"Alin!"
***
Alin langsung berlari ke arah UGD setelah mendapatkan informasi dari bagian resepsionis bahwa anaknya masih ditangani dokter. Alin berlari mendekati ruangan yang masih tertutup itu. Menunduk lesu memikirkan bagaimana nasib anaknya berada di dalam sana.
Alin duduk di kursi tunggu sambil menangkup wajah. Ia menangis. Ia takut terjadi sesuatu kepada Arlo. Alin sangat takut kehilangan buah hatinya itu.
"Apa kau ibu dari Arlo? Aku minta maaf atas kejadian ini, aku yang bersalah," ucap seseorang.
Alin mendongak mendengar seseorang berkata seperti itu. Alangkah terkejutnya ketika melihat siapa yang berdiri di sebelahnya. Orang yang selama ini ia hindari. Tidak lain dan tidak bukan adalah Daniel.
Daniel pun sama. Ia terkejut ketika mendapati Alin lah yang berada di hadapannya. Sudah satu minggu semenjak kejadian itu, Daniel tidak melihat Alin dan sekarang mereka kembali dipertemukan lagi.
"K-kau?" tunjuk Daniel kaget.
Alin pun sama. Napasnya tercekat beberapa saat. Alin takut bila dirinya diculik Daniel lagi, tapi Alin tidak bisa pergi karena Arlo membutuhkannya.
"K-kenapa kau di sini?" Daniel masih bingung.
Alin meneguk ludahnya kasar. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Namun, seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan mengalihkan seluruh atensi dari Alin. Alin langsung berdiri dan menghadap dokter tersebut.
"Dok, bagaimana keadaanya? Apa dia baik-baik saja?" tanya Alin khawatir.
"Dia baik-baik saja. Hanya ada luka lecet beberapa bagian saja. Selebihnya tidak ada masalah."
"Syukurlah. Terima kasih, Dok." Alin menunduk ketika dokter pamit undur diri.
Semua itu tidak luput dari pandangan Daniel. Pria itu mengernyit keheranan ketika melihat bagaimana tingkah laku Alin. Seperti seorang ibu yang tengah mengkhawatirkan anaknya. Apa jangan-jangan ....
"A-apa kau ibunya Arlo?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Alya Yuni
Trllu bodoh si Alin skolah tinggi tpi syng otaknya nol msa sblm lmar gk lihat it nma prusahaan tmatan skolah dsar msih tau ap lgi sarjana trlli goblok
2023-08-31
0
Sri Faujia
anak klian tu lin ceritakan klo arlo anakny daniel,,
2022-08-08
0
Fama Yanti Zebua Zebua
mantap,, ssmakin membuat penasaran dngn kelanjutan ceritanya
2022-02-11
0