Bak orang yang kesetanan, Daniel berlari melewati koridor rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa. Sejak dari mobil berhenti, bahkan pria itu tidak ada jeda untuk bersantai, langsung saja berlari karena kekhawatirannya pada Alin.
Sesampainya di ruangan UGD, Daniel memelankan langkah. Melihat kedua pegawai yang ia tugaskan untuk menjaga Alin. Sementara ruangan dingin itu masih tertutup dengan rapat.
"Apa yang terjadi, hah?! Kenapa dia bisa sampai masuk rumah sakit! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan becus!" Daniel menarik kerah baju salah satu pegawainya sambil memarahi. Bahkan pegawai itu sampai sulit menarik napas.
"Kami tidak tahu apa pun, Tuan. Tadi sewaktu kami mengantarkan makanan, Nona Alin sudah tergeletak di sisi ranjang. Jadi, kami langsung membawanya ke mari," jawab salah satu pegawai.
Daniel melepaskan tarikan di kerah baju pegawainya itu, lalu menatap ke arah ruangan UGD. Ia begitu marah. Marah terhadap dirinya sendiri kenapa tadi dia memilih meninggalkan Alin.
Daniel mengembuskan napas kasar. Lalu menatap pengawalnya.
"Sudah berapa lama?"
"Sekitar lima belas menit, dokter masih belum keluar juga."
Daniel menyandarkan tubuhnya di dinding seraya memejam. Ia begitu takut dengan keadaan wanitanya di dalam sana. Memikirkan hal buruk itu sungguh membuat Daniel pusing sendiri.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka dengan lebar menampilkan sosok pria berjubah putih dengan stetoskop yang menggantung. Langsung Daniel beranjak mendekat, meminta penjelasan kepada dokter itu.
"Dok, bagaimana keadaanya?"
"Dia hanya kelelahan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Daniel bernapas lega ketika mendengar kabar itu. Syukurlah, tidak terjadi apa pun.
"Tapi ada hal yang ingin saya tanyakan."
Daniel kembali menegakkan tubuh kembali setelah mendengar nada serius dari dokter itu.
"Apa?"
"Apakah pasien pernah mengalami sesuatu sehingga membuat kepalanya terbentur?"
Daniel menggeleng. "S-saya tidak tahu, Dok."
"Ini hanya dugaan, tidak bisa dibenarkan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Tapi saran saya jangan sampai kepalanya terbentur lagi karena kemungkinan terburuknya bisa amnesia atau hilang ingatan."
Daniel terpekur mendengar penjelasan dari dokter. Ia tidak tahu apa yang dialami wanitanya selama lima tahun belakangan. Namun, mendengar penjelasan dari dokter tadi, Daniel yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Sementara kondisi stabil. Sudah bisa dipindahkan ke ruang inap. Kalau begitu saya pamit undur diri."
"Terima kasih, Dok." Daniel membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih. Setelahnya kembali menatap ke arah depan di mana Alin berada.
Setelah Alin dipindahkan ke ruangan rawat, Daniel segera menghampirinya. Menarik kursi di sebelah brankar untuk diduduki. Meraih tangan Alin yang terlihat lemah lalu dikecupnya dengan lembut.
"Kenapa bisa seperti ini, hah?" Daniel mengecup tangan itu dengan lembut.
"Tuan, apakah saya perlu mengosongkan jadwal Anda hari ini?" tanya Vano yang berdiri tidak jauh dari ranjang.
"Kosongkan semua. Aku ingin menemaninya hari ini." Daniel memberikan perintah. Hal itu langsung disambut anggukan oleh Vano. Lalu pria itu melangkah pergi.
Daniel kembali menatap wanitanya. Alin masih terbaring dengan kondisi mata yang terpejam. Tidak henti-hentinya Daniel mengecup tangan itu dengan lembut. Lalu mengelus kepala Alin dengan hangat.
"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu lima tahun yang lalu, hah? Apakah kau mengalami kesulitan?" tanya Daniel sambil memandang Alin.
"Harusnya aku mendengarkan waktu kau mengeluh sakit kepala waktu itu. Mungkin kau akan mendapatkan penanganan lebih cepat."
Daniel mengecup bibir Alin dengan singkat. Sesudahnya ia menarik wajah dan tersenyum hangat.
"Cepatlah bangun. Aku suka kau menyebut namaku, bukan membisu seperti ini," kata Daniel tulus. Lalu ia menaruh tangan Alin di pipinya untuk dielus pelan.
Tidak terasa sudah dua jam Daniel tidur di sebelah Alin. Pria itu menggeliat pelan setelah bangkit dari tidurnya. Daniel kembali menatap Alin yang masih setia menutup matanya.
"Sampai kapan kau akan menutup mata, huum?" bisik Daniel.
"Tuan!"
Daniel menatap ke arah seseorang yang membuka pintu dengan tergesa-gesa. Di sana Vano tengah berdiri dengan napas yang tersengal.
"Ada apa? Kenapa kau terlihat seperti orang yang dikejar?" tanya Daniel penasaran.
"Nyonya besar sakit, Tuan."
"Apa?! Nenek sakit? Lalu bagaimana keadaanya sekarang?" Daniel terkejut, sampai ia bangkit dari duduknya.
"Tuan Pras mengatakan kalau nyonya besar terus memanggil nama Anda dan meminta Anda cepat ke sana. Katanya sangat darurat." Vano menjelaskan.
Pergi ke rumah? Daniel tidak tahu ia harus berbuat apa. Di satu sisi ia tidak tega meninggalkan Alin sendirian di rumah sakit, tapi di sisi lain ia takut terjadi sesuatu kepada neneknya.
Lama Daniel berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi neneknya terlebih dahulu.
"Antarkan aku ke sana," perintah Daniel. Pria itu langsung pergi dari ruangan.
"Dan untuk kalian, jaga wanita itu. Jangan sampai hal buruk terjadi padanya lagi, atau kalian saya pecat!" Daniel berkata dengan tegas, membuat kedua pengawal itu menunduk takut.
"Baik, Tuan."
"Van, ayo lekas pergi."
Daniel berjalan lebih dulu lalu diiringi dengan Vano di belakangnya. Pria itu sangat khawatir terhadap keadaan neneknya yang kadang kala bisa down dengan waktu yang tidak bisa ditebak.
***
"Paman," panggil seorang bocah dengan baju compang-camping menarik ujung baju seorang pria.
"Ada apa bocah kecil? Jangan mengganggu, kami sedang bekerja." Salah satu pria itu menjawab dengan ketus.
Bocah tersebut menatap kedua pria itu dengan memelas. Dia adalah Arlo yang menyamar sebagai bocah penjual minuman yang biasa magang di pinggir jalan. Bajunya compang-camping, badan dan wajahnya dibuat menghitam supaya lebih jelas aksen penjual minuman di jalan.
Ia menjalankan misi agar bisa meloloskan ibunya dari penculikan ini. Dan sekarang ia sedang mengelabui para pengawal yang ditugaskan.
"Tolong aku, Paman. Aku belum makan dari kemarin." Arlo mendayu-dayu supaya mendapatkan perhatian.
"Heh, bocah! Jangan meminta makan kepada kami! Memangnya kami ibumu apa!" sentak salah satu pria.
"Aku tidak meminta, Paman. B-bagaimana kalau kalian membeli daganganku saja sebagai gantinya? Apakah kalian tidak haus? Kalian berdiri di sini sudah lama, pasti tenggorokannya kering." Arlo mencoba merayu sambil menunjukkan dagangannya.
Kedua pengawal itu nampak mempertimbangkan. Awalnya memang tidak percaya. Namun, jika dilihat kembali kondisi bocah di depannya sangat mengenaskan. Baju lusuh dengan bagian kaki yang terluka dengan masih mengeluarkan darah.
"Kakimu terluka," kata salah satu pengawal.
Arlo terkekeh sambil mengibaskan tangan. "Ah, ini hanya luka kecil, Paman. Tadi ada sepeda yang menabrakku, tapi mereka lari begitu saja."
Melihat wajah memelas bocah itu, mengetuk hati dua orang pria yang sedang bertugas itu. Sangat mengenaskan dengan keadaan anak kecil itu.
"A-aku ingin berobat tapi tidak punya uang. Belum lagi adik-adikku di rumah pasti menungguku untuk dibawakan makanan. Tapi aku tidak punya uang sedikit pun, Paman. Hiksss, aku juga tidak tahu harus bagaimana lagi." Arlo terisak perih.
"A-aku sudah berkeliling jauh, tapi tidak ada yang membeli daganganku. A-aku lelah, aku ingin istirahat, tapi adik-adikku harus kubelikan makanan," sambung Arlo semakin pilu.
Arlo pun juga tidak kalah hebat untuk berakting. Ia menampakkan wajah sedih dan semelas mungkin. Seolah-olah dirinya memang mengalami peran itu. Agar kedua orang itu percaya.
"Jadi, Paman tidak mau membeli daganganku, ya? Ya sudah kalau begitu." Arlo menunduk sedih, lalu berniat untuk beranjak pergi.
"Tunggu dulu!"
Arlo tersenyum culas mendengarnya. Namun, ia tetap mempertahankan ekspresinya dan berbalik dengan wajah kebingungan.
"Kenapa, Paman?"
"Aku akan membeli semuanya. Katakan, berapa totalnya."
"Wah, yang benar, Paman? Terima kasih banyak." Arlo mengangguk senang. Lantas membungkus semua dagangannya lalu memberikannya. Ia menerima beberapa lembar uang dari pria itu.
Setelah Arlo menerimanya, ia segera bergegas pergi. Berbeda dengan kedua pengawal itu yang nampak meminum minuman yang didapatkannya tadi.
"Kasihan sekali dia. Sudah sebatang kara, jadi korban tabrak lari lagi." Salah satu pria berbicara.
"Sudahlah. Minum segera, sebelum tuan muda datang dan melihat kita tidak bekerja dengan baik."
Kedua pria itu langsung meminum minuman itu hingga tandas. Tidak merasa curiga sedikit pun. Namun, beberapa lama kemudian, keduanya saling memegangi perut karena terasa sakit. Sebenarnya dalam minuman mereka sudah dicampur dengan obat pencuci perut.
"Ah, kenapa perutku tiba-tiba sakit?"
"Aku juga. Aku harus ke toilet!"
Setelah keduanya sama-sama pergi meninggalkan depan ruangan, Arlo yang tengah bersembunyi langsung mengendap ke arah ruangan rawat ibunya. Rencananya berhasil kali ini.
"Bagaimana, Bi, aman?" Arlo bertanya.
"Aman. Aku sudah mengunci pintu toiletnya," kata Nola lalu membuka pintu ruangan rawat Alin di sana. Diikuti oleh Arlo yang berada di belakang. Dan benar saja, sahabatnya itu tengah terbaring tidak berdaya.
"Mommy!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Sri Faujia
kau hebat arlo bisa ngelabui org dewasa pintar anak alin
2022-08-08
0
sheesukaaa❤️❤️❤️❤️
Smngat buat arlo si anak jeniuss.. 🥰🥰
2022-04-11
3
sheesukaaa❤️❤️❤️❤️
Smngat buat arlo si anak jeniuss.. 🥰🥰
2022-04-11
1