Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, Kakek Adam, Leo dan juga Zima sudah menyelesaikan meeting kecil mereka tentang kerjasama kedua perusahaan. Leo dan Zima pamit pada Kakek Adam.
“Ayah mau langsung pulang atau kembali ke kantor?" tanya Zima disela mereka berjalan keluar ruangan.
“Aku akan ke kantor lagi, masih ada yang harus aku selesaikan,” jawab Leo.
“Aku juga akan ke kantor lagi tapi aku mau mampir ke ruangan Nay dulu, mumpung di sini, Yah. Apa Ayah mau ikut?”
“Tidak, aku langsung pergi saja, ucapkan salamku untuk Nay!”
“Baiklah."
Mereka berpisah di lift, Zima turun di lantai dua puluh, letak ruangan Nayna. Setibanya di depan ruangan Nayna, Zima mengetuk pintu dengan sopan.
“Masuk,” jawab Nayna.
“Hai Nay." Zima melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Nayna dengan senyum merekah.
“Kak Zima, sedang apa Kakak kemari?”
“Kenapa? Apa aku tidak boleh mengunjungimu?”
“Bukan begitu, Kakak kan pasti sibuk, tidak mungkin kan sengaja kesini hanya untuk menyapaku,” jawab Nayna sambil mengerucutkan bibir.
“Kalau aku bilang, aku kemari memang sengaja bertemu denganmu gimana?”
“Ah... aku sungguh tersanjung, tapi aku belum cukup istimewa untuk membuat seorang Zima datang jauh-jauh hanya untuk bertemu denganku," ucap Nayna dengan nada yang dibuat sedih.
“Ha... ha... ha...." Zima tertawa, terdengar sangat renyah.
“Aku habis bertemu Kakek Adam, ada rencana kerjasama antar perusahaan kita. Kebetulan lagi berada di sini, tentu aku harus mampir menemuimu. Bagaimana hari pertamamu bekerja disini, apa menyenangkan?”
“Sama saja Kak, tidak ada bedanya."
“Tadi aku kesini bersama Ayah juga, tapi dia ada urusan di kantor, jadi tidak bisa menemui mu?”
“Tidak apa, kita juga bertemu di rumah.”
“Apa kamu tidak ada keinginan untuk pindah rumah?”
Nayna menatap tajam Zima, “Kakak mengusirku?”
“Gak usah pasang tampang jutek gitu, maksudku bukan mengusir, tapi biasanya pengantin baru itu membutuhkan privasi, kemana mana selalu maunya berduaan."
“Tapi kan kami bukan pasangan biasanya," ujar Nayna dengan tawa.
Nayna memang lebih akrab dengan Zima, namun karena kesibukan mereka, menjadikan intensitas mereka bertemu menjadi sangat jarang.
“Oh ya, tadi aku bertemu Nima tapi wajahnya sangat buruk, terlihat sangat sedih,” papar Zima.
“Sedih?” tanya Nayna, tepatnya lebih tampak seperti bergumam namun Zima masih dapat untuk mendengarnya.
“Iya, aku juga sudah bertanya, tapi dia bilang tidak apa apa, seperti menyembunyikan sesuatu bahkan, sepertinya dia juga menghindari ku. Apa kamu tidak bertemu dengannya?”
Bukannya menjawab pertanyaan Zima, Nayna malah bertanya balik. “Kapan Kakak bertemu Nima?”
“Saat akan menemui Kakek Adam, pas kebetulan dia baru keluar dari ruangan Kakek.”
Nayna hanya terdiam.
“Sesekali bicaralah dengannya, Nay. Bagaimana pun, kalian saudara sepupu, aku tau kalian tidak terlalu akrab tapi tidak ada salahnya kalau di coba."
“Memangnya minyak angin coba-coba, Kak!"
“Hais, kamu ini!"
“Entah lah Kak, dari kecil kami jarang ketemu Kakak tau kan Nima besar di Amerika sejak usianya delapan tahun, sebelum ke Amerika pun dia tidak tinggal dengan aku dan kakek.
Nima dan Tante Sinta tinggal dirumahnya sendiri dan kami pun saat itu jarang ketemu, kakek tidak pernah mengajakku ke rumah Tante Sinta, begitupun dengan Tante Sinta, jarang menemui Kakek di rumah. Setelah kepulangan dari Amerika mereka pun tetap tinggal di rumahnya dan kami ketemu lagi saat di bangku dua belas SMU, itu pun kami tidak pernah akur di Sekolah dan setelah itu kakak tau sendiri kelanjutannya."
Nayna tidak menceritakan kalau setiap tantenya bertemunya, maka tantenya itu hanya akan mencemooh. Pernah suatu ketika tiba-tiba Tante Sinta datang kepada Nayna dan langsung menamparnya, lalu memaki kalau Nayna adalah perempuan penggoda. Untung saja kakeknya datang, sehingga Nayna tidak sampai membalas kelakuan tantenya.
Entah kenapa tantenya bereaksi seperti itu jika melihat Nayna, pernah Nayna menanyakan kepada kakeknya tapi tidak pernah mendapatkan jawaban.
“Semoga hubungan kamu dengan keluarga mu membaik Nay. Ku harap kalian bisa menjadi keluarga yang harmonis.”
Nayna hanya membalas doa Zima dengan senyuman.
“Aku bicara serius Nay, Siapa tau kamu dan Nima sebenarnya bisa bersahabat, kalau ku lihat dia sebenarnya cukup menyenangkan, tapi diluar dari sifat dia yang sangat agresif mendekatiku ya!” Zima membayangkan saat dulu Nima mengikutinya kemana-mana.
Nayna tertawa. "Aku ingat dimana waktu dulu Kakak pernah bolos kuliah untuk datang ke ulang tahun Sam yang ke tujuh belas, saat itu Nima mengaku-ngaku bahwa dia adalah pacar Kak Zima di depan teman temannya, dan Kakak tidak bisa membantah perkataan Nima, tapi wajah Kakak cemberut sepanjang acara ulang tahun Sam,” celoteh Nayna masih sambil tertawa.
“Sudah lah jangan mengejekku, tidak mungkin kan aku mempermalukan Nima di depan umum.”
“Tapi diamnya Kakak, jadi membuat Nima salah paham!”
“Tapi setelah acara ulang tahun Sam, aku sudah menjelaskan ke Nima bahwa aku sudah memiliki pacar di kampus dan dia pun mengerti."
“Tapi sepertinya, dia masih mengharapkan mu Kak.”
“Tidak mungkin, kalau dia masih mengharapkan ku, tidak mungkin dia menolak ajakan ku untuk diantar pulang.”
“Dia menolak tawaran Kakak?” Nayna cukup terkejut dengan apa yang didengarnya, setahunya, Nima begitu terobsesi pada Zima.
“Iya, mungkin dia sudah menemukan seorang yang dia sukai atau mungkin dia sudah punya pacar,” ucap Zima sambil menunduk.
“Kakak kecewa, Nima sudah tidak mengejar ngejar Kakak lagi?” tanya Nayna dengan nada menggoda.
“Mana ada.” Zima mengangkat kepalanya sepintas untuk melihat Nayna lalu melihat jam di tangannya, tanpa sadar mereka mengobrol cukup lama.
“Baiklah, Nay! Aku pamit dulu, aku masih harus kembali ke perusahaan, masih banyak yang harus ku kerjakan. Oh ya, kamu pulang dengan siapa nanti?”
“Kakak tidak usah khawatir, mobilku sudah diantar ke sini, nanti aku mengemudi sendiri”
“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu ya.”
Nayna beranjak berdiri untuk mengantar Zima tapi di hentikan oleh tangan Zima yang mengangkat ke atas. “Tidak usah report-repot mengantarku, aku bisa pulang sendiri, duduk saja di sana dan lanjutkan pekerjaanmu.”
“Baiklah, hati-hati dijalan, ya Kakak ipar ku yang super baik," puji Nayna.
Zima melangkah pergi, dengan mengangkat tangannya dan menyatukan ibu jari dan telunjuk membentuk lambang oke.
Setelah kepergian Zima, Nayna memikirkan kembali apa yang dikatakan kakak iparnya itu, bahwa Nima pergi dengan wajah yang sedih.
‘Apa sebenarnya dia juga tidak bahagia?' batin Nayna.
Nayna memijit kepalanya, setelah apa yang tadi Zima katakan tentang Nima, membuatnya sedikit pusing, walaupun tidak mau memikirkan tetap saja kepikiran.
Yang dikatakan Zima benar, mereka saudara sepupu, tapi tidak pernah terlihat seperti saudara, jangankan hang out bersama untuk sekedar bertanya kabar saja tidak pernah, bahkan Nayna tidak tau penyakit apa yang di derita tantenya.
‘Apakah penyakit Tante Sinta kambuh? Nima sampai bersedih seperti itu,’ batin Nayna lagi.
bersambung.........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
NandhiniAnak Babeh
like like like
2022-04-11
0
Aumy Re
mampir baca lagi ka
2022-04-05
1
Laila Muflihah
semangat kak.ceritax bagus
2022-03-29
1