Nasehat sang ibunda

Setelah mendapat wejangan singkat dari sang ibunda, Lila kemudian mengantarkan bundanya ke kamar khusus untuk sang ibunda jika menginap di rumahnya. Ketika sampai di kamar sang ibunda, Lila seakan tak ingin keluar dari kamar ini. Suasana hatinya yang berkecamuk enggan membuatnya untuk terus bertemu sang suami, ditambah lagi hari ini adalah hari libur yang seharusnya mereka habiskan dengan merajut kasih.

Langkah kaki Lila yang berhenti tepat di depan pintu arah keluar kamarnya sang ibunda, menuai tanda tanya besar di benak sang ibunda. ‘Masalah apa yang kalian sembunyikan nak,' batin Farida yang seakan menjerit khawatir dengan kondisi rumah tangga sang putri.

Setelah cukup lama Lila berdiri di ambang pintu, akhirnya ia pun memberanikan dirinya untuk berbalik ke arah sang ibunda yang sedang duduk di pinggiran tempat tidur.

“Sepertinya ada yang mau kamu bicarakan Lila,” tebak Farida yang tak ingin Lila berada di posisi bimbang seperti saat ini.

Lila yang dari awal mencoba untuk menutup-nutupi masalahnya dengan Andra di depan sang ibunda, akhirnya menangisi dirinya sendiri yang merasa telah membohongi ibundannya. Lila kemudian memeluk sang ibunda untuk kedua kalianya.

“Bunda, maafin Lila.” Ucap Lila sambil menangisi keadaannya saat ini.

Farida lalu melepaskan pelukan sang putri, “kenapa kamu minta maaf Lila?” tanya Farida seraya menggenggam kedua tangan sang putri.

“Hiks, hiks,” kini tangisan Lila berubah menjadi sesegukan. Lila tak menjawab pertanyaan dari sang ibunda, kepalanya tertunduk tak sanggup menatap mata ibundanya sendiri.

“Lila, duduk di sini!” perintah Farida sambil memberikan isyarat pada Lila dengan menepuk-nepuk pinggiran tempat tidurnya agar Lila yang masih berdiri di depannya berpindah menjadi duduk di sampingnya.

Lila akhirnya menuruti perintah sang ibunda. Farida lagi-lagi melontarkan pertanyaan kepada putri satu-satunya yang ia miliki.

“Kamu kenapa nak?” tanya Farida dengan terus menggenggam kedua tangan Lila.

Lila yang masih menundukkan kepalanya, dengan perlahan ia mencoba menatap kedua bola mata sang ibunda. “Hiks, Lila hamil bun,” jawab Lila.

“Alhamdulillah,” ucap Farida sambil mengusap kedua tangannya seperti orang habis berdoa.

Senyum bahagia terlihat jelas dari raut wajah sang ibunda yang sudah sangat mendambakan cucu dari Lila dan Andra menantunya. Namun, detik selanjutnya senyum bahagia Farida mulai memudar melihat sang putri yang semakin menangis.

“Ada apa Lila? Kenapa kamu menangis seperti ini?” tanya Farida yang kemudian menyandarkan kepala sang putri kepundaknya. Tak lupa, Farida juga mengelus-elus lembut rambut sang putri semata wayangnya itu.

“Kalau kamu belum siap cerita sekarang jangan dipaksa sayang!” pinta Farida yang mengetahui ada yang tidak beres dengan rumah tangganya.

Lila kemudian melepaskan dekapan sang ibunda, ia mencoba untuk menatap kedua bola mata sang ibunda dengan harapan ia bisa lebih tenang.

“Bun hiks, mas Andra poligami,” jawab Lila yang kembali menangis.

Kedua bola mata Farida terbelalak mendengar jawaban dari sang putrinya. Mengingat Andra yang sangat mencintai Lila membuat Farida sama sekali tidak menyangka dengan apa yang Andra lakukan ke putri semata wayangnya itu.

“Kamu lagi bercanda, kan?” tanya Farida berharap ada klarifikasi yang akan Lila jawab dipertanyaannya ini.

Lila menggeleng-gelengkan kepalanya, “Lila nggak lagi bercanda, bun!” tegas Lila dengan suara yang sangat parau.

Perlahan satu persatu butir air mata sang ibunda mulai mengalir dipipinya. Detik selanjutnya Farida kemudian memeluk tubuh sang putri agar ia bisa sedikit lebih tenang.

“Lila nggak tau harus gimana sekarang bun,” ucap Lila saat masih berada dipelukan sang ibunda.

Farida lalu melepaskan pelukannya. Ia kemudian mengambil dua buah pigura di atas nakas yang berisikan fotonya dan almarhum suaminya dan yang satu lagi foto mereka bertiga ketika Lila sudah berumur sembilan belas tahun. Ia kembali duduk berhadapan dengan sang putri semata wayangnya.

Farida tersenyum melihat fotonya dan almarhum suaminya itu. Detik selanjutnya Farida memberikan pigura foto yang menunjukkan keharmonisan ia dan almarhum suaminya itu kepada Lila.

“Coba kamu liat foto bunda dan ayah!” perintah Farida sambil merangkul bahu putrinya.

“Di foto itu apa yang kamu lihat dari raut wajah bunda dan ayah?” tanya Farida yang sudah menghapus air matanya agar Lila tidak merasa semakin sedih karena melihat dirinya menangis.

Lila menatap wajah sang ibunda dan kemudian kembali menatap pigura foto yang ia pegang. “Lila lihat bunda dan ayah sama-sama bahagia,” jawab Lila yang kemudian tersenyum mengingat kebahagiannya dulu bersama sang ayah.

“Dan sekarang apa bedanya dengan foto ini?” tanya Farida bersamaan dengan memberika pigura foto yang kedua.

“Kalau yang ini ada Lila,” jawab Lila dengan sangat polos.

Farida lalu tersenyum, “bahagia nggak?” tanya Farida lagi.

Lila mulai tersenyum menatap kedua pigura foto itu.

“Bunda dan ayah selalu bahagia,” jawab Lila tanpa mengetahui apa yang sebenarnya Farida maksud.

“Dulu, pas bunda tau ayah poligami, bunda nangis, bunda kecewa. Bunda benar-benar merasa yang paling tersakiti di dunia ini. Bunda juga pernah marah-marah pada Allah. Bunda bilang ‘ya Allah kenapa harus hamba yang harus Engkau uji dengan cara seperti ini' bunda sangat marah saat itu.” Ucap Farida mengingat masa-masa di mana ia juga pernah mengalami apa yang putrinya saat ini alami.

“Tapi kamu tau nggak kenapa bunda dan ayah tidak mengambil keputusan untuk bercerai?” tanya Farida dan dijawab gelengan kepala oleh Lila.

“Bunda ingat kata nenek kamu, dia bilang ‘sebesar apapun masalah rumah tanggamu, jangan pernah mengambil keputusan di saat masih dalam keadaan marah, karena marah itu berasal dari setan' terus bunda mulai Merenungi kata-kata nenek kamu. Setelah bunda merasa lebih tenang, bunda dan ayah mulai membicarakan ini semua baik-baik. Sampai pada akhirnya bunda dan ayah memilih untuk tetap sama-sama sampai akhir, sesuai dengan janji kita dulu.” Ucap Farida memberikan pelajaran kepada Lila.

“Terus, apa bunda tidak pernah cemburu dengan ayah?” tanya Lila yang sedang mengambarkan kecemburuannya dengan istri muda Andra yang sama sekali tidak ia kenali.

“Cemburu itu pasti ada, tapi fokus bunda hanya pada kamu. Bunda berpikir apabila bunda dan ayah berpisah apakah bunda mampu membahagiakan kamu tanpa sosok seorang ayah. Bunda cuma nggak mau menjauhkan kamu dengan cinta pertama anak perempuan bunda.” Ucap Farida yang kemudian menyandarkan kepala Lila di pundaknya.

“Sesalah apapun ayah kamu ke bunda, tugas bunda hanya menjadi istri yang solehah untuknya, karena bunda tau untuk mendapatkan surga itu emang penuh dengan air mata. Siapa tau dengan jalan ini Allah kasih tiket ke surga untuk bunda,” jeda Farida, “dan juga kamu,” sambung Farida yang kemudian mencium kening sang putri.

Lila kemudian tersenyum mendapat wejangan dari sang ibunda. Farida tahu betul bagaimana perasaan Lila saat ini, akan tetapi mengambil keputusan ketika sedang marah saat ini akan menuai penyesalan dikemudian hari. Lila juga bukan tipe orang yang keras kepala, ia akan memikirkan semuanya matang-matang sebelum bertindak. Hanya saja pada hari ini ia masih sangat terkejut sehingga membuatnya ingin pergi meninggalkan rumah tadi.

“Apapun keputusan kamu nanti, bunda harap kamu sudah memikirkannya matang-matang ya Lila!” pinta Farida agar Lila tidak terlena dengan ujian di rumah tangganya.

Lila menganggukkan kepalanya. Saat ini yang ia butuhkan adalah sang ibunda yang terus berada di sisinya sampai pemikirannya sudah cemerlang.

...Bersambung.... ...

SYUKRON, JAZAKUMULLAH KHAIRAN KATSIRAN WA JAZAKUMULLAH AHSANAL JAZA, WASSALAMMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.

Jangan lupa di follow ya teman,

IG : @febiayeni21

FB : Febi Ayeni

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!