**Panji Anugrah Laksono. Putra tunggal dari Suryo Laksono. Di usia yang masih belia, ia sudah nenjadi seorang CEO di perusahaan sang Ayah.
Wajahnya sangat tampan dengan tubuh atletis. Hingga tak ayal menjadi incaran gadis-gadis sosialita. Siapa yang tak tertarik dengan pria kelahiran London 20 tahun yang lalu.
Terlahir dengan gelimang harta memang tidak membuatnya silau. Tapi semua keadaan di sekitarnya harus sempurna. Maka tak heran jika ia berjulukan Mr. Perfect.
Seperti hari ini, Panji sudah mengenakan baju kerja terbaiknya. Jas abu-abu senada dengan celana kulotnya. Kemeja hitam senada dengan sepatu pantopelnya.
Suryo tengah duduk di ruang tengah menikmati kopi dan roti bakar. "Kau mau pergi, Nak?"
Panji berjalan mendekati sang Ayah, lalu mencium punggung tanganya takzim. "Iya Pa. Ada meeting dengan beberapa klien, Aku pulang agak malam, mungkin harus menginap."
"Weekend nanti, kamu liburkan?" tanya Suryo sambil menyeruput kopinya.
"Iya Pa," jawab Panji sambil membenahi dasinya.
"Ada yang ingin Papa bicarakan," ujar Suryo meletakan cangkir kopi yang telah tinggal ampasnya ke atas meja.
"Soal?" tanya Panji dengan kening berkerut. "Jangan-jangan ini soal pernikahaanku."
Suryo menatap putranya lama tanpa menjawab terkaan Panji yang tepat. Panji mulai mendengkus.
"Papa tahu, Aku belum mau menikah," lanjutnya.
"Aku tak perduli. Sekali ini, turuti perintahku!" ucap Suryo tegas.
Panji terhenyak. Tapi ketika melihat netra sang Ayah yang tajam dan serius. Panji terdiam dan tak berani membantah.
"Terserah Papa saja," ujarnya lalu ia pun berlalu tanpa mengucap salam.
Suryo hanya menghela napas masghul. "Anak keras kepala. Sama dengan mendiang Ibunya."
Suryo berdiri dari sofa lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Sampai di sana ia langsung membuka laci. Dilihatnya beberapa lembar foto. Satu foto usang paling lama dilihatnya. Di sana terpampang tiga anak usia belia sekutar sepuluh tahunan.
"Marsha Viola. Aku tak menyangka kau pergi secepat itu. Anggono pasti sangat terpukul," ujarnya pada diri sendiri.
Suryo ingat kisah kecil mereka bertiga. Dibesarkan di kalangan orang biasa. Memiliki cita-cita setinggi langit menjadi orang kaya, membuat mereka bertiga dijauhi anak-anak sebaya mereka. Bahkan tak ayal mereka dianggap gila karena sering bermain sandiwara tentang boss besar.
Anggono sahabatnya telah dinikahkan sejak kecil dengan sahabatnya Marsha Viola. Di desanya masih ada pernikahan bocah-bocah, sangat udik. Bahkan nama Marsha dulu jadi bahan olok-olok karena sangat berbeda dengan nama anak-anak desa yang lain, seperti Siti, Komariah, Tumini, Dewi, Ayu dan lain sebagainya.
"Kalau kita punya anak nanti, Aku ingin anak-anak kita saling dijodohkan," ungkap Anggono ketika lulus sekolah menengah pertama.
Anggono dan Marsha memang masih sekolah walau mereka telah terikat pernikahan. Tapi mereka tak pernah tinggal satu rumah. Bahkan ketika mereka nekat kabur dari desa mereka tinggal dan mengambil kuliah di luar kota. Suryo mengikuti kenekatan kedua sahabatnya. Anggono dan Marsha tidak tinggal satu atap. Mereka menikah setelah keduanya lulus dan bekerja di perusahaan berbeda.
Suryo lebih beruntung, memulai usaha kecil-kecilan dari berjualan, mengumpulkan modal. Suryo mendirikan sebuah usaha ritail yang menangani jasa kemudian berkembang menjadi besar setelah Ia menikah dengan wanita bernama Ayu Pratiwi.
Sayang. Usia Ayu hanya sampai Panji masuk sekolah menengah pertama. Kanker payudara merenggut nyawanya. Suryo tidak pernah menikah lagi.
Suryo menghela napas panjang. 'Apa Anggono masih ingat perihal perjodohan yang pernah diucapkan mendiang istrinya dulu ya?'
Suryo meletakan kembali foto-foto itu dalam laci. Suryo telah mencari tahu kebiasaan dari putri sahabatnya itu.
'Aku yakin, Almira bisa jadi istri yang baik bagi Panji,' gumamnya dalam hati.
Suryo melangkah ke tengah ruang kerjanya. Menatap bingkai yang tergantung di dinding. Sebuah foto wanita cantik tengah tersenyum.
"Sayang ... Aku telah mendapatkan wanita yang baik untuk putra kita," ujarnya sambil membelai foto istrinya.
Suryo ingat ketika betapa ia sangat terkejut melihat sahabatnya didorong menuju ruang gawat darurat. Dilihatnya seorang gadis menangis mengikuti kemana arah brangkar.
'Bukankah itu Anggono? Mana Marsha?' tanyanya dalam hati.
Kebetulan ia berada di rumah sakit yang sama, karena ia juga melakukan gecekanan secara rutin. Ia berjalan mengikuti kemana arah brangkar.
Suryo berhenti ketika ia melihat gadis yang tadi mengikuti brangkar tengah duduk di kursi panjang rumah sakit. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya naik turun. Terdengar isak tertahan dari mulutnya.
Suryo mendekati dan memulai pembicaraan. Tak disangka. sang gadis terbuka secara gamblang tentang kesedihannya. Kemudian secara terang-terangan pula putri sahabatnya itu menawarkan rumahnya untuk dibeli.
"Saya tak tahu lagi harus kemana Om. Saya baru lulus kuliah dan belum bekerja,'' jelasnya sambil mengusap air mata.
Suryo sempat mematung sejenak tak tahu harus berbuat apa. Tapi entah mengapa ia malah menyanggupi semuanya. Tadinya tak terpikir olehnya untuk menjodohkan gadis itu untuk putranya. Tapi lagi-lagi sebuah persyaratan tercetus dari mulutnya dan tak disangka gadis itu menyetujui tanpa tahu apa isi persyaratannya.
Suryo menghela napasnya berat. Pikir-pikir sebelum memutuskan untuk menjodohkan putranya. Sejenak ia ragu, tapi hanya itu yang bisa dia pikirkan.
'Aku yakin Mira anak baik. Terlihat bagaimana ia begitu menyayangi Ayahnya,' gumamnya dalam hati.
Suryo sudah mengirimkan pesan singkat pada gadis itu untuk menemuinya weekend depan. Tak di sangka Almira malah memberinya pesan lain.
(Om ... Ayah terus bertanya, Mira tak bisa menjelaskannya. Bagaimana ini?)
(Mira bingung Om. Takut jika penjelasan Mira nanti malah makin membuat Ayah unfal lagi)
(Biar Om hubungi Ayahmu. Berapa nomer ponselnya. Semoga dia tak curiga dari mana Om mendapatkan nomernya. Karena memang sudah lama kami tak saling berhubungan)
(0812******)
Suryo langsung menelpon sahabat lamanya itu. Ada sedikit nada curiga di sana. Tapi Suryo bisa mengatasinya.
Suryo mengatakan untuk datang ke rumahnya weekend nanti. Selain bertanya kabar, juga bertanya hal lain.
Anggono menyanggupi ajakan Suryo. Tadinya dia meminta Suryo untuk datang saja ke rumahnya. Tapi Suryo memberikan alasan lain yang membuat Anggono mengikuti kemauan sahabat lamanya itu.
Suryo sadar. Ada satu sifat yang selalu lekat dengan pria yang dulu bertubuh tegap itu. Anggono selalu menuruti apa katanya.
"Aku sangat bersyukur kau tidak berubah Nggo. Selalu mengikuti apa kataku," ujar Suryo pada angin lalu
Suryo menatap benda bulat di dinding ruangan. Pukul 10.15.
Ting
ponsel Suryo berbunyi. Sebuah pesan dari applikasi hijau muncul.
"Kania," bacanya dengan suara kesal.
"Mau apa anak itu?" gerutunya lalu membuka notifikasi pesan.
(Hai Om ... Apa kabar?)
Suryo malas membalas pesan itu. Ia menekan pesan itu lalu menghapusnya. Niatnya untuk menjodohkan putranya dengan Kania Angelia pupus setelah melihat wajah panik Almira.
'Untung aku tak pernah mengutarakan niatku menjadi mertuanya,' gumamnya sambil bergidik**.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
maya ayu
mungkin 30taun kaliiii thooorrr.. salah ketik othoorr yaa
2024-09-06
0
Sandisalbiah
semoga Ayah Mira gak anfal saat Suryo mengungkapkan kebenaranya..
2023-10-03
0
Ratu Emilly
cowok pakai kulot Thor, gak salah... 🤭🤭🤭
2023-08-12
0