**Almira telah memakai baju terbaiknya. Ia telah menyiapkan juga setelan untuk ayahnya. Anggono heran dengan apa yang dipersiapkan oleh putrinya.
"Kenapa formil sekali Nak?" tanya Anggono.
"Apa Ayah keberatan?" tanya Almira balik.
Alnira bermaksud mengganti setelan dengan baju biasa. Tapi sudah dicegah oleh sang ayah.
"Sudah. Tak apa," ujarnya.
Kemudian Almira membantu ayahnya untuk berpakaian. setelah siap, mereka pun berangkat. Kebetulan Suryo telah mengirim supir pribadinya untuk menjemput mereka.
(Om Suryo telah mengirim supir untuk menjemput kalian)
Begitu isi oesan singkatnya tadi pagi. Almira membalas pesan tersebut.
(Katanya pakai mobil daring, Om?)
(Tidak. Sudahlah, kalian siap-sap ya. Setengah jam lagi mobil sudah sampai!)
(Ya ampun Om. Mira belum mandi!)
(Ya cepat mandi!)
Almira hanya berdecak kesal. Dilihatnya jam di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 08.45. Dengan sedikit malas iapun mendatangi kamar ayahnya.
Anggono tak ada di kamarnya. Almira kemudian menuju teras depan. Di sana ia melihat sang ayah tengah bejemur dengan menggosok-gosok kakinya.
Anggono sudah bisa berjalan, walau tak begitu jauh. Kursi roda masih menjadi alat bantu untknya berjalan.
"Yah ...," panggil Almira. Anggono menengok.
Membelalakan mata melihat sang putri masih mrngenakan piyama motif doraemom.
"Kamu baru bangun?!"
Almira hanya cengegesan dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Om Suryo menyuruh kita bersiap. Setengah jam lagi mobilnya datang menjemput kita Yah," ucap Almira hati-hati.
Anggono terhenyak dengan perkataan Almira. 'Mas Suryo tak berubah. Jika sudah apa yang ia mau. Harus dilaksanakan.'
Teringat kejadian masa kecil lalu. Ketika mereka tengah menjadi omongan warga desa tentang sandiwara mereka menjadi orang kaya. Waktu itu Anggono sedikit pesimis dengan mimpi mereka.
Namun Suryo terus memaksa memainkan peran tersebut. Sampai mereka bertiga disidang oleh keoala desa dan mendatangkan dukun untuk membuat ritual mengusir roh jahat. Agar mereka tidak berkelakuan aneh.
Anggono menggelengkan kepalanya. "Ya sudah. Siapkan semuanya. Ayah juga belum mandi."
Almira membantu Ayahnya berjalan sedikit menuju kursi rodanya, lalu mendorongnya.
Setengah jam lewat lima menit mobil Suryo datang. Almira melongo melihat mobil yang akan menjemput mereka.
Mobil BMW terbaru dengan warna hitam metalic. Dulu ketika mereka masih memiliki harta masih belum mampu membeli mobil mewah tersebut. Tidak, bukannya tidak mampu. Tapi Anggono yang tidak mau membeli barang-barang mewah itu.
"Pemborosan." begitu katanya.
Mereka berdua duduk di belakang. Sang supir membantu Anggono menaiki mobil dan melipat kursi roda kemudian dimasukan ke bagasi.
Tak lama, mobil itu melaju dalam kecepatan sedang. Nyaman. Itu yang Almira rasakan ketika dalam perjalanan.
Almira sedikit mengantuk. Semalam ia tidur agak larut. Almira membuat beberapa lamaran pekerjaan via email dan mengirimnya kebeberapa perusahaan.
Almira bertekad untuk segera bekerja. Selain kebutuhan yang mendesak. Keuangan juga minim. Almira bermaksud mengumpulkan gaji yang akan diterimanya nanti untuk membeli kembali rumah yang ia tempati kini.
Almira lupa tentang persyaratan yang ia setujui dengan Suryo tempo hari. Ia hanya ingat bahwa ia meminjam uang dari Suryo dengan menjamin rumahnya.
Nyaris satu jam perjalanan. Memang tadi lumayan macet di beberapa titik. Suryo telah berdiri di depan pintu menunggu. Almira ingat. Selama perjalanan tadi ada 10 kali laki-laki berpostur tegap itu menghubunginya. Baik melalui telpon atau pesan singkat. Hanya untuk bertanya sudah sampai mana mereka.
Binaran netra Suryo begitu terlihat. Anggono juga sangat merindukan sahabat kecilnya itu. Supir membantu Almira mendorong kursi roda ayahnya.
"Mas ...,"
"Dek ....,"
Suryo dan Anggono terpaut jarak 3 tahun. Anggono hendak berdiri dari kursi rodanya, tapi langsung dicegah opeh Suryo.
"Sudahlah tak apa-apa. Apa kabarmu Dek?" tanya Suryo hangat.
"Aku baik-baik saja Mas," jawab Anggono.
Almira mencium punggung tangan Suryo. "Om ...,"
"Ayo masuk," ajak Suryo lalu menggantikan sang supir mendorong kursi roda Anggono.
"Biar Mira saja Om ...."
"Sudah, tidak apa-apa," ujar Suryo menyela Mira.
Mereka bertiga memasuki ruang keluarga. Almira menatap takjub seluruh isi ruangan. Semua diisi dengan barang-barang mewah yang berkualitas tinggi dan tentu harganya selangit.
Di tengah-tengah dinding terpampang lukisan wanita cantik berukuran besar. Almira menduga jika itu istri pria yang kini berdiri di sebelahnya.
"Duduklah Mira ...," perintah Suryo. Mira langsung duduk.
Seorang asisten rumah tangga datang membawa minuman. Secangkir kopi dan minuman sirup rasa jeruk. Anggono tersenyum ketika menyeruput kopi yang diberikan Suryo padanya.
"Kau ingat selera kopiku, Mas," ucapnya senang.
"Tentu saja. Kau tidak suka yang terlalu manis" ujar Suryo menimpali.
"Baiklah ...," Suryo lalu duduk tak jauh dari Anggono.
"Apa kau bisa ceritakan. Apa yang terjadi pada kalian? Mana Marsha?" Suryo langsung memberondong pertanyaan.
"Kenapa harus aku yang cerita terlebih dulu, Mas?" tanya Anggono balik. "Aku masih penasaran, bagaimana kau bisa bertemu dengan putriku, Almira."
Suryo kehilangan kata-kata. Dia sedikit lupa karakter Anggono yang tak suka berbelit-belit jika berbicara. Tiba-tiba Panji turun dari tangga memecahkan kekakuan.
"Siapa yang datang Pa?" tanyanya. Netranya langsung menghujam sosok gadis yang mengenakan blus berwarna biru tanpa alas kaki.
Almira terhenyak ditatap oleh kilatan mata elang yang sepertinya ingin menelannya bulat-bulat. Almira menunduk. Ia langsung menutup mulut karena terkejut setelah melihat kakinya tanpa alas kaki. Dia ingat, kalau ia melepaskan sepatu itu di luar pintu.
Kebiasaannya semenjak keluarganya jatuh miskin. Seorang asisten membawa sepatu usang berwarna hitam ke dalam ruangan.
"Maaf Nona, ini sepatu anda" ujarnya lalu menyerahkan sepatu itu kepada Almira yang mulai gugup.
Panji tersenyum sinis. 'Kampungan.' ejeknya dalam hati.
"Sudah, semuanya sudah kumpul. Aku sudah lapar. Mari makan," ajak Suryo bangkit dari duduknya.
Anggono hanya menghela napas panjang. Ia tahu jika Suryo ingin mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan tadi.
Suryo kembali mendorong kursi roda Anggono. Sempat berebut dengan Almira yang juga bersikukuh ingin mendorong kursi itu. Tapi tatapan lembut Suryo membuat Almira melepaskan pegangan kursi roda ayahnya.
Merekapun duduk di meja makan. Suyo meminta Almira menyiapkan hidangan di piring mereka. Almira langsung menuruti perintah Suryo.
Pertama Almira menuang nasi untuk Suryo, kemudian ayahnya. Tapi begitu ingin menuang nasi untuk pria yang sedari tadi melihatnya. Panji menahan gerakan Almira.
"Tidak usah. Biar aku sendiri," ucapnya dingin.
"Baiklah." Almira menuang nasinya sendiri.
Ketika ia ingin menuang lauk dan sayur. Ternyata Suryo sudah melakukannya sendiri dan untuk Anggono, ayahnya.
Almira pun akhirnya mengambil lauk dan sayurnya sendiri. Suasana makan tampak hening kecuali dentingan piring. Selesai makan Suryo berdiri.
"Panji. Kau ajak Almira berkeliling melihat isi rumah ini. Papa ingin bicara berdua saja dengan Om Anggono. Kau bisa?" ujar Suryo menekan nada bicaranya.
Panji sedikit malas. Tapi mendengar nada ultimatum seperti itu membuatnya tak berkutik. Ia pun berdiri. Mengamit tangan Almira dan mengajaknya berkeliling**.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Sandisalbiah
kesan pertama dingin² garang ya Mira... 😅😅
2023-10-03
0
Ayano
Mulutnya sadis yak. Kalau aku yang ngatain marah gak ya 😏
2023-09-15
1
Ayano
Waduh.... ketauan belom mandi 😏😏
2023-09-15
1