Raya
Setelah memastikan semuanya siap, ia menuruti kemauan Nev untuk mengantarkan makan malam pria itu ke ruang kerja.
Namun, saat ia ingin mendorong troli makanan menuju lift, ia berpapasan dengan Feli yang entah kenapa memang seperti menunggunya.
Feli terlihat bersandar sembari bersedekap dada, Feli memperhatikannya dari atas hingga bawah--seolah tengah menilai penampilannya dan kemudian menatapnya dengan tatapan yang nampak menyepelekan.
"Raya, ku pikir kau tidak perlu berpakaian seperti itu jika berada dirumah ini." kata Feli memulai pembicaraannya.
Ia pun otomatis memandang penampilannya sendiri yang hanya mengenakan kaos seperti biasanya. Tidak ada yang aneh, pikirnya.
Dasar Feli, ada saja hal kecil yang dibesar-besarkan untuk bahan pertengkaran mereka.
"Apa tanganmu yang kemarin sudah baikan?" sindirnya, mengingatkan tentang aksinya yang memelintir tangan Feli kemarin.
Feli memegangi tangannya sendiri. "Memangnya kenapa?" tanya Feli tak senang.
"Ku pikir kau tidak usah menilai penampilanku, toh aku berpenampilan biasa saja. Jangan mengurusi hal yang tak penting, Fel ! Atau ku buat tanganmu tidak bisa lurus," ancamnya santai sembari mengetuk-ngetukkan kaki dilantai-- seolah memberi perhitungan pada Feli.
Feli terlihat bergidik, kemudian beranjak dari hadapannya.
Ada saja ulah Feli untuk membuat keributan.
"Aku akan pesankan seragam saja untukmu, Raya." ujar Feli sambil lalu.
Ia masih mendengar suara Feli itu tapi tak ingin menyahuti, ia hanya mengangkat bahu dan memasuki lift untuk menuju ruang kerja Nev.
Ia mengetuk pintu lalu mendengar Nev memintanya untuk masuk.
"Makan malamnya sudah siap, Tuan." ucapnya sembari memindahkan makanan dari troli ke meja sofa yang ada dalam ruangan yang sama.
Nev hanya berdehem untuk menyahutinya, nampaknya Nev benar-benar sibuk di depan laptop-nya.
"Saya permisi, Tuan." ucapnya lagi setelah selesai dengan tugasnya.
Tapi, bukan Nev namanya jika membiarkannya pergi begitu saja, ia sudah bisa menebak pasti Nev akan memanggilnya karena begitulah kebiasaan Tuannya itu--yang mulai dihafalnya dan membuatnya terbiasa dengan sikap Nev yang kadang juga sulit untuk ditebak.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?" tanyanya pada Nev yang masih fokus pada layar pipih dihadapan pria itu.
Nev menatapnya dan tentu saja dia menundukkan pandangan agar pandangan mereka tak bersirobok seperti kemarin.
Kemarin? Ya Ampun, kejadian kemarin harus bisa ia lupakan dan jangan sampai terulang kembali.
Ia tidak mau terlarut lagi dalam keadaan akward dimana tak bisa menepis pesona Nev dan justru tenggelam dimata kecoklatan itu. Ia tak mau lagi sampai terlihat bodoh dengan membalas genggaman tangan Nev yang bahkan ia sendiri tak mengetahui apa maksud Nev melakukan hal itu.
Sebenarnya ia ingin bertanya apa maksud Nev menggenggam tangannya kemarin, tapi ia tak berani jadi ia memutuskan diam dan berlagak tak terjadi apapun diantara mereka.
"Temani aku makan malam, Raya."
Ucapan lembut Nev itu berhasil membuatnya mengadahkan pandangan dan akhirnya tatapan mereka kembali bersua untuk yang kedua kalinya.
Entah kenapa, ia merasa ada harapan besar yang terkandung dimata pria itu saat menatapnya--tapi lagi dan lagi ia harus menepiskan itu, karena baginya mungkin itu hanyalah perasaannya saja.
Jangan GR, Raya. Mana mungkin dia tertarik padamu.
Entah ia yang terlalu naif, atau Nev yang terlalu baik membuatnya tak bisa menolak ajakan Nev untuk menemani pria itu makan malam.
Hanya menemani makan malam, tak lebih. it's oke, Raya. Tak apa.
Begitulah keyakinannya mengatakan pada dirinya sendiri. Akhirnya ia mengangguk untuk menjawab tawaran Nev.
Ia membantu Nev duduk di sofa karena Nev urung makan dikursi rodanya. Ia pun berdiri disamping Nev dan berharap Nev cepat-cepat menghabiskan makan malamnya--karena kegugupannya kembali meningkat drastis jika berada sedekat ini dengan Nev.
Tapi, kegugupannya tak berhenti sampai disitu, karena ia harus kembali gugup. Ah tidak... bukan gugup lagi, tetapi lebih daripada itu--ketika Nev justru menatapnya yang berdiri kaku.
Lalu pria itu berkata,
"Duduklah, Raya. Aku tidak bisa makan jika kamu berdiri disana." kata Nev dengan nada terendah, membuatnya menggigit bibirnya sendiri demi menetralkan degup jantung yang semakin bergenderang dan bertalu-talu.
Jantungnya, kenapa selalu seperti ini akhir-akhir ini?
Ia hanya menggeleng sebagai isyarat penolakan pada Nev, karena mulutnya tak kuasa mengeluarkan suara lagi.
"Ya sudah, aku tidak akan makan," ancam Nev sembari kembali meletakkan sendok dan mengambil sikap bersedekap dada dan bersandar disandaran sofa sambil memberengut.
Astaga.. Tuan Nev, kamu sudah terlalu tua untuk bersikap merajuk seperti itu dan lagi itu hanya karena ia tak mau menurut untuk ikut duduk di sofa.
Masalahnya bukan hanya perkara duduk di sofa, tapi masalahnya adalah... sofa yang ada diruangan ini hanya sebuah sofa kecil yang muat untuk diduduki dua orang.
Jika Nev memintanya untuk duduk, itu berarti ia harus duduk tepat disamping pria itu, begitu?
Jawabannya adalah iya.
Karena setelah pemikiran itu melintas dikepalanya, Nev justru seperti bisa membaca pikirannnya--sebab Nev langsung bersuara dan mengambil sikap seolah menjawab isi kepalanya.
"Duduklah, Raya." kata Nev sembari menepuk-nepuk pelan sofa disebelahnya, sebagai isyarat agar ia duduk disana.
Ia menggeleng keras, mungkin wajahnya sekarang sudah memucat atau mungkin memerah, karena sikap Nev yang lagi-lagi membuatnya ingin tenggelam saja.
"Kamu tega aku kelaparan karena tidak makan malam?" tanya Nev.
"Tentu tidak, Tuan." jawabnya cepat.
"Kalau begitu, apa salahnya duduk disini. Biar aku bisa makan." kata Nev lembut, tidak ada nada tinggi sedikitpun dari suaranya.
"Memangnya kalau saya berdiri disini, Tuan tidak bisa makan?" tanyanya mencoba protes.
Nev terlihat tersenyum kecil. "Mulutmu itu sudah pintar memprotes sekarang, padahal kemarin kamu sulit mengeluarkan pendapat, bahkan bertanya pun tidak mau." sindir Nev sembari terkekeh.
"Tapi Tuan..." belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, Nev justru beringsut dan menarik tangannya, hingga mau tak mau ia pun terduduk di sofa tepat disebelah Nev.
"Nah, begitu bagus. Aku bisa makan sekarang." kata Nev enteng. Kemudian Nev mulai mengambil sendoknya dan menyuap makanan dengan antusias.
"Kamu gak makan? Makan aja sekalian sama-sama." kata Nev dan ia hanya menggeleng kembali sebagai penolakan.
Bagaimana mungkin Nev bisa bersikap seperti ini padanya dalam hitungan hari?
Padahal, dihari pertama saja, Nev sudah memarahinya karena ia menepuk punggung pria itu saat tersedak--nampak sekali Nev menghindari kontak fisik dengannya. Tapi sekarang apa?
Ia pun hanya bisa duduk tertunduk disebelah Nev dan mengatupkan mulut rapat-rapat. Sesekali sudut matanya mencuri pandang pada pria disampingnya-- yang tengah menyantap makanan itu.
Kenapa makanpun tetap tampan? Aduh Raya...
Tapi sesekali berikutnya, dengan sadar ia justru memegangi dadanya sendiri untuk merasakan detak jantung yang belakangan hari selalu bertalu-talu dengan cepatnya-- ketika berada didekat Nev seperti ini.
Jantungku, semoga kau sehat-sehat saja ya. Nanti kalau aku sudah punya banyak uang, aku akan memeriksakan keadaanmu ke spesialis.
-
Nevan
Makan disamping wanita yang tertunduk malu tanpa mengucap sepatah katapun itu--membuat selera makannya bertambah berkali-kali lipat, benar saja ia sampai menambah nasi dan lauk demi mengulur waktu, agar Raya berlama-lama duduk disampingnya.
Lebih parahnya, wajah Raya yang memerah-- membuatnya melakukan metode mengunyah sehat yaitu satu suapan dengan dua belas kali kunyahan.
ckckck! Apa-apaan kau ini Nev.
Rasanya selalu seru mengerjai Raya seperti ini, ada tantangan dan kesenangan tersendiri saat melakukannya.
Setelah makanannya habis, ia pun meminum minuman dengan perlahan-lahan, seolah bersikap tenang padahal memang sengaja kembali mengulur waktu, karena tak bisa dipungkiri jika ia menikmati momen kebersamaannya dengan Raya. Walau hanya duduk bersebelahan seperti ini.
Usai dengan urusan makan dan minum, ia tak membiarkan Raya pergi begitu saja. Ia mengingat tentang identitas dan latar belakang Raya yang baru ia ketahui lewat email yang dikirimkan Bian padanya tadi.
"Raya,"
Raya yang hampir berlalu dari ruangannya sambil mendorong troli makanan pun-- menoleh padanya.
"Iya, Tuan?" jawab Raya.
Sahutan suara Raya yang selalu ia tunggu dan sukai. Benar-benar sia lan!
"Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan untuk mengatakannya padaku." ucapan itu tercetus begitu saja dari mulutnya--efek rasa prihatin pada keadaan Raya, namun keprihatinan itu berada dalam urutan terakhir, karena urutan pertamanya adalah... ia ingin memperhatikan Raya.
Ya, sebuah bentuk perhatian.
Wajah Raya sedikit tertegun atas ucapannya, mungkin Raya menganggapnya gila saat ini. Apalagi kelakuannya yang selalu mencari selah untuk berdekatan dengan wanita itu. Apa yang ada di pikiran Raya tentangnya?--pasti Raya mengatakan bahwa ia sudah gila. Terserahlah!
Ia benar-benar tak peduli. Nyatanya, ia memang sudah gila-- karena otaknya seakan tidak mampu mengimpuls sistem sensorik dan motorik jika berada didekat Raya. Bahkan, tindakan serta ucapannya lebih sering tidak sinkron sejak beberapa hari kebelakang.
"Tuan, saya tidak bisa--" Raya tak melanjutkan kalimatnya, entah kenapa.
"Tak bisa apa? Aku mendengar tentang permasalahanmu, Raya." ucapnya lembut.
"Saya tidak mau merepotkan Anda, Tuan. Saya bisa meng-handle semuanya sendiri. Tuan sudah terlalu baik pada saya." ucap Raya dengan nada sungkan.
Oh Tuhan, seandainya Raya sangat merepotkannya pun ia akan sangat bersedia dan berdiri paling depan untuk membantu Raya.
Ia menggeleng. "Mungkin kamu wanita yang kuat, tapi kalau kamu merasa lelah dan merasa menyerah, kamu bisa mengandalkanku, Raya." ucapnya dengan percaya diri yang tinggi.
Raya tersenyum kecil. "Terima kasih, Tuan. Feli beruntung mempunyai suami seperti Anda. Anda sangat murah hati." ucap Raya.
Dan, ucapan Raya berhasil menyadarkannya akan sebuah status yang masih ia sandang dan belum ia singkirkan. Very damned!
Ia terdiam dan Raya berlalu dari hadapannya.
Jika aku bukan suami Feli, apa kamu mau mengandalkan aku dalam apapun permasalahan hidupmu, Raya?
Ingin rasanya ia meneriaki Raya dengan kalimat itu, tapi ia segera memejamkan matanya.
Ia harus tahu dan memahami betul apa yang sebenarnya diinginkan oleh dirinya sendiri saat ini.
Benarkah ia menginginkan Raya? Ataukah ini hanya rasa nyaman biasa ketika berada didekat wanita itu?
...Bersambung ......
...Jangan lupa jadikan Favorite. Tinggalkan like, komentar, vote dan juga hadiah ya 💕...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
sekalian pinjamkan bahu untuk bersandar ya Nev 😝😝😝
2022-05-14
1
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
sia lan sudah dideportasi kk
yang ini tinggal sia lin 🤣🤣🤣✌️
2022-05-14
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
senggolan dikit, bakal meledak tuh jantung 😅😝😝🙈🙈🙈
2022-05-14
1