Dekat juga. Ternyata di belakang penginapan. Ampun deh, 10 menit tadi sia-sia.
“Tolong isikan alamatnya,” kata resepsionis kantor pos.
Oke, jadi ... ‘Penginapan Llyod, Desa Marlowe, Hutan Treat, Provinsi East, Kerajaan Fyord Timur’. Kemudian formulirnya kuserahkan pada kakak ini. Dengan begini urusanku sudah selesai, aku bisa segera pergi.
Ini masih setengah delapan pagi, kelihatannya kantor pos tadi baru buka, nggak heran belum banyak orang.
“Oii ... Zale!” Ada yang memanggilku dari arah kiri.
Tadinya susah ketemu gara-gara terlalu ramai oleh orang-orang dengan kotak, untung dia menghampiriku sendiri. Aku mulai mengenalnya ketika melihat biru itu sekilas.
Dia menunjuk arah penginapan dengan ujung jempol. “Katanya paman Emmet ingin membagi pekerjaan, kudengar ada yang soal jadi pelayan lho.”
“Baiklah, aku akan segera ke sana!” Masih ada yang perlu kulakukan, sebelum menyusul Yuba. “Ada toko sihir dekat sini ‘kah?” Tak ada ketika ditengok-tengok, mungkin perlu keliling.
Sekitar area ini saja.
Sepertinya tidak ada, padahal aku berencana mencoba kartu baru. Bahannya belum lengkap. Mungkin aku bisa tanya ... misalnya dia yang di sana dengan bawaan kotak panjang pada dekapan pinggul.
“Permisi, kakak. Ada yang ingin kutanyakan.” Kakak cantik itu tidak terlihat seperti orang yang kaku, makanya nada bicara kubuat kasual.
Tapi ya ... besar, hampir aja salah ngira dia laki-laki. Maksudku otot dan rambut pendek itu. Tatapan matanya cukup monoton. Sudah lambat saat menengok, ditambah hanya mengedipkan mata cukup lama.
“An—“
“... Tanya saja.”
Uwah, datarnya. Bahkan aku sampai canggung saat bilang ‘ya’.
“Toko sihir?” Dia meletakkan barang bawaannya, diposisikan berdiri lurus. Suara dan efek guncang yang timbul ketika itu mendarat terasa hebat. “Jalan arah selatan, belok kiri dan putari lingkaran satu kali. Ikuti dua kucing, beri makan, jangan lupa bilang ‘bola bulu hitam putih’.”
Lah— Eh?
“A-Anu yang kutanyakan bukan soal kucing, tapi—“
Tidak mendengarkanku sama sekali, kakak itu mendekap kembali kotak panjangnya, pergi meninggalkanku sambil bilang dengan datar, “Itu saja, sampai jumpa.”
Kurentangkan lengan, membuka lebar genggaman tanpa berusaha bergerak sedikit pun. “Tunggu...? Oi! Kembalilaaaaah!” Dikejar soalnya percuma.
Haha, aku hanya bisa usap-usap kepala dan memikirkan betapa anehnya hal barusan. Kakak berotot yang aneh. Mungkin terburu-buru? Kalau iya, berarti memang salahku.
Sudahlah, teman-teman sudah menunggu.
Ketika tiba di depan penginapan, ternyata yang lainnya berkumpul di sini. Yang di sebelah Pak Emmet ... seorang koki? Dia membicarakan sesuatu dengan guru.
Menyadari kedatanganku, Pak Emmet langsung menyahut, “Tuan, anaknya sudah lengkap nih. Bisa segera Anda jelaskan?”
“Tunggu dulu. Kenapa ini?”
Ketika menanyakan ini, Yuba dan Kurin yang kebetulan di antaraku hanya melihati, kemudian balik melihat Pak Emmet.
“Orang ini bernama Rody Ceill, dia adalah....”
Aku dan mereka berdua pun mendengarkan penjelasan yang sekiranya berdurasi tiga menit. Termasuk dari koki itu.
Menurut tangkapanku, Chef Rody Ceill ini merupakan pemilik restoran masakan ikan terbesar di selatan kota. Saat hari-hari festival begini, konsep restorannya berubah menjadi prasmanan.
Akan ada banyak lauk lokal yang disajikan secara mewah.
Mereka memang memiliki banyak pekerja. Harusnya tidak memerlukan bantuan orang luar. Namun, dua koki mendadak sakit dan tak bisa masuk kerja selama dua hari.
Itulah mengapa Tuan Pemilik di sini.
“Bagaimana, di antara kalian ada yang bisa memasak?” Pertama, paman koki ini menyaksikan Yuba.
Ketika ditatap, si biru aneh langsung nyengir sambil mengusap kepala. “Maafkan aku~ Soal masak, itu ... mustahil.” Bola matanya dipalingkan ke kiri, dia membiarkan jari menggaruk sisi kepala. “Di rumah, kakakku yang selalu memasak. Hehe.”
Chef tidak nampak kecewa. “Begitu ya, kalau kamu?” Dia melihatku.
“B-bisa sih ... sedikit.”
Tersenyum dan memegang pundakku, dia bilang, “Tidak masalah! Yang terpenting kamu ada kemampuan, toh nanti kuajarin kok, tenang saja. Menu restoranku ramah bagi orang baru.”
Eh, tapi ‘kan nanti aku bisa tahu resepmu. Yakin nih? Sisanya ... Kurin. Dia—
“Hmph, kenapa aku harus melakukan pekerjaan pelayan?” Mulai. Sekali lagi aku teringat bahwa gadis ini pada dasarnya seorang bangsawan, dia memalingkan wajah dan menyilang lengan. Ya ... perilaku dasar. “Tidak mau!”
Kau, emangnya berada di posisi buat ngeluh?
“Ha? T-Tapi ... jadinya kurang— Saat-saat seperti ini, mencari orang selain kalian rasanya bakal....” Lihat, paman dalam kesulitan.
Nggak ada pilihan lain. “Saya lakukan!” Kuangkat tangan. “Akan kulakukan sendiri.”
Sepertinya aku salah menilaimu. Kau sama saja seperti kebanyakan bangsawan, cuma agak aneh.
“Hmm, jika memang itu maumu ... kurasa aku bisa percaya—“
Ngapain si Kurin? Mendadak menghalangi paman itu dengan lengan. Kelihatan kesal karena sesuatu, seolah ngin menyampaikan tekad yang meledak. Lihat betapa berusahanya dia mencoba membuka mulut, tapi masih tertahan gigi.
“Aku berubah pikiran, akan kubantu,” katanya sambil meletakkan telapak di sisi dada.
“Tidak perlu! Tadi kubilang bisa melakukannya sendiri— Heh, palingan ... kau cuma terdorong harga diri aneh yang bocah banget ‘kan. Nggak usah maksain diri.”
“Diam! Kalau aku bilang iya, berarti iya.”
Merepotkan!
Yuba, Pak Emmet, dan guru kebingungan untuk melakukan sesuatu yang menenangkan perdebatan bodoh ini. Mereka hanya berkeringat was-was dengan postur tersendat.
Aku tidak lagi mengatakan apa pun. Menatap Kurin dengan datar, berkesan meragukan.
“Y-Yah ... aku tidak tahu apa yang membuat Nona bangsawan ini berubah pikiran, syukurlah kamu mau bersuara. Aku suka itu! Dengan begini sudah ‘kan Pak?”
“Y-Ya ... benar! Jadi sudah diputuskan. Nak Zale dan Kurin akan membantu Chef Rody selama dua hari. Untuk Yuba, kamu ikut mengarahkan kapal yang berhubungan dengan festival, agar dapat berlabuh dan mendistribusikan barangnya.”
He ... bukankah itu pekerjaan yang bagus! Dengan begitu, kau bisa sambil belajar soal kota. Besok akan kuajak ke toko sihir.
“Selamat jalan, anak-anak! Pastikan untuk mendengarkan Chef dan temukan apa yang kalian bisa.”
“Ya!” jawabku, Kurin tidak.
Aku tidak tahu apa dengannya. Kurasa ini bisa dibilang ... lancar? Semoga saja. Ini Kurin yang dibicarakan. Kalau ada apa-apa, aku hanya perlu memperbaiki. Jangan repotin ya.
****
Oooh! Keren ... restorannya ada lantai tingkat! Bukan itu saja, dari sini aku bisa melihat eksteriornya dipoles oleh pengrajin andal. Kamu takkan sadar sekali lihat. Jika melihat dari atap tertinggi yang seperti kepala reptil, garis-garis di bawah akan tersambung dengan ukiran pembatas lainnya, hingga membentuk....
Naga biru.
Restoran ini bernama Oceanid, mereka bisa menyajikan di interior dan eksterior. Cocok sekali untuk konsep prasmanan. Seperti yang diharapkan dari restoran besar!
“Bukan tempat buruk,” puji Kurin ditutupi sikap sok angkuh. “Hasil jerih payahmu terbayarkan untuk maha karya ini.” Hei, hei. Restorannya yang harus dipuji.
“Senang mendengarnya!”
Untuk memasuki restoran, pertama kami harus menaiki tangga setinggi dua meter. Kumpulan tempat duduk beserta pelanggan dan pelayannya— Ternyata di sini sudah ada. Ketika naik lagi....
Nah, benar dugaanku. Dekat pintu masuk juga ada hal serupa. Tiap ujungnya sama-sama dibatasi pembatas berornamen. Meja yang dijaga pelayan berseragam unik itu pasti hidangan Buffet-nya.
“Hei, paman. Kulihat di sini ada tiga tempat makan eksterior.” Yang satu ada di lantai dua, sempat kulirik. “Semisal ada hujan gimana?” Soalnya sama-sama nggak ada atap.
Chef Ceill bergerak menuju pembatas terdekat, kira-kira di posisi yang nyaman untuk menyaksikan bawah. Kami jelas tanpa ragu mengikuti dan berdiri di antaranya.
Oh, pelabuhannya kelihatan dari sini. Banyak orang sekali.
“Kamu lihat pelayan dengan seragam jas hitam-putih yang sisi kanan kemeja birunya dikeluarkan?”
“Seperti yang sebelah sana?”
“Benar, mereka adalah penyihir air. Kok bisa? Perannya mirip sekuriti. Selain menjaga keamanan, juga bertugas melindungi sisi luar restoran menggunakan sihir. Seragam itu melambangkan Sang Naga Pelindung.”
Sepertinya aku tahu mengapa harus penyihir air. Air itu dasarnya bisa menerima apa pun, tapi bukan berarti tak terkalahkan. Elemen ini biasanya ampuh untuk menangani berbagai kejadian.
“Kalau semisal ada yang ingin di posisi itu, tapi tidak bisa sihir air. Bagaimana?”
“Mudah saja, tinggal diajari. Aku sendiri juga penyihir.” Chef melepas topi panjangnya, diletakkan pada dekapan pinggang sambil menyisir rambut. Angin dari sisi laut seolah menggambarkan kebebasan paman ini. “Aku membuka restoran karena ingin melihat kebahagiaan orang lain.
Siapa pun yang ingin menjadi rekan seperjuanganku, justru harus disambut dengan baik! Aku tidak boleh mempersulit hidup mereka hanya karena persyaratan kerja yang bodoh. Bawahan bukanlah alat. Selama datang dengan sebuah keinginan, kamu adalah bagian dari Oceanid.”
Paman....
“Menurutku, itu tujuan yang terhormat.” Kurin, kau— Kata-katamu bagus juga. Tumben.
Si paman meringis kesulitan menyembunyikan kesungkanan. “Begini-begini mimpiku sudah terwujud! Mimpi siang bolong 30 tahun yang lalu, akhirnya ... menjadi kenyataan.” Chef Ceill berbalik, membelakangi pembatas, mendekatkan topi pada posisi hati ketika melihat atap restoran. “Harta karunku.”
Harta karun ... sesuatu yang akan kau dapat ketika mencapai puncak impian. Apakah aku juga bisa melihatnya? Baik mencari kakak maupun menjadi lebih baik, perjalananku tidak boleh berakhir di sini.
Angin menjadi lebih kencang dari sebelumnya. Puyuh ringan menerka pundak dan punggung kami, diakhiri sentuhan seperti mahakarya pada wajah. Kesejukannya seolah membersihkan wajahku.
Sekarang, semua seperti tampak jelas di depanku.
“Aku harus terus berjuang demi mimpi ini,” gumamku.
Ternyata Kurin mendengar. “Mimpi....” Nadanya terdengar sentimental.
“Kenapa?”
“Bukan apa-apa.” Lagi-lagi jawaban yang sikapnya buruk.
Tanpa kusadari paman itu sudah di tengah pintu masuk, dari sini dia terlihat melambai. Sepertinya merasa cukup dengan perenungan.
Koki ‘kah? Ini kesempatan bagus, ketimbang masakanku itu-itu terus.
****
“Untuk permulaan, cobalah memasak sesuatu. Kalian bebas menggunakan kamarku. Setelah ini aku ada pertemuan dengan para pemilik toko. Kalau sudah, nanti baru akan kuajarkan.”
Itu memang yang dikatakannya. Dia tidak akan kembali sampai jam 11 nanti.
Di sini merupakan ruangan dalam kepala naga. Tapi yah … mirip dapur restoran!
Ini sebuah masalah. Tidak perlu mengkhawatirkan diri sendiri, persoalannya adalah … Kurin. Dia itu bangsawan, jadi tidak pernah memasak makanannya sendiri.
Aku menghampiri posisinya. “Memutuskan sesuatu?”
Tentu saja tidak. Dia sudah di sana sejak tadi, hanya melihat pemanggang yang mati. “Ada….” Perkataan selanjutnya terlalu pelan untuk didengar.
Jangan khawatir, aku takkan menertawakanmu.
“Bur … Bur….”
“Hmm, hmm…??”
“Burguignon.” Pipinya merah merona, nampak makin tak berdaya setelah memalingkan wajah.
Apaan itu?! Nggak ngerti!
“Kalau aku Mersesh. Itu adalah ikan lokal dan termasuk bagian hidangan prasmanan.” Kuangkat bahu. “Yah … entah bisa nggak hanya sekali lihat. Kupikir tinggal dikuliti, lalu dalamnya diisi, terakhir dipanggang. Mirip Sandwich gitu.”
“Sandwich!”
Kenapa kau baru terlihat tertarik sekarang?!
“Ya sudah, aku mau kembali masak. Panggil saja kalau butuh bantuan.”
Aku harap ini tidak berimbas buruk.
Ha … bisa ‘kan?? Padahal mau motong aja— Susah banget. Bikin khawatir saja! Hei, nggak masalah ini? Dia masih mematung. Aku berdehem. Siapa tahu sesuatu akan terjadi.
Tidak ada ‘kah….
“Hei, jika masih buntu. Mau melakukannya bersama?” kataku agak canggung. Jujur aku muak.
“Tidak masalah.” Tenang sekali nada bicaranya. “Mau makanan semewah itu, harusnya aku mikir dulu.” Apa, tahu ternyata.
“Ampun deh. Makanya kalau memang nggak bisa masak, jangan asal ceplos dan nyesel sendiri!” Kugunakan telapak ini untuk gestur memanggil. Dengan muka datar, bercampur kesal, mungkin.
Sekarang dia di sini. Lalu apa? Ya, untuk sekarang kucoba mengiris kulit ikannya. Kenapa melihatiku? S-Selanjutnya menabur tepung, membersihkan brokoli dan bayam dengan air, lalu dipotong kecil-kecil di atas talenan.
Oh….
Akan percuma jika nggak diajari dari awal. Kebetulan hidangannya adalah ikan itu, jadi memang butuh satu lagi sebagai isi.
Kuserahkan pisau padanya sambil bilang, “Ini cobalah.”
Dia menerima begitu saja, bersama muka yang kelihatan bodoh itu. Kubiarkan sebentar. Karena tangan itu terus gemetar dan tak bisa tepat posisi, aku menghentikannya.
“Sulit sekali.”
“Nggak sulit, kau hanya tidak tahu.” Kusetir tangan kirinya untuk menahan perut, yang kanan menuju atas kepala. “Pertama kita akan membelahnya. Tenang … pastikan peganganmu tidak lepas—” Perlahan setir kulepas.” Benar, arahkan lurus dan jangan seperti dicincang. Santai saja!”
Tangannya gemetar hebat. Toh percobaan pertama, wajar. Yang bagus itu kau sudah mengenakan sarung tangan sejak awal.
Aku meletakkan bagian atas ikan di sebelah yang bawah. “Baiklah! Habis itu dikuliti lagi, baru potong, kemudian buat sup dalam panci stok— Lalu, lalu—” Kuuuh, mencoba hal baru cukup menarik.
Hening ya.
“Mengapa … kamu sesenang itu?” tanyanya. Aku baru sadar pipi dia memerah lagi.
“Eh? Kalau ditanya kenapa— Tentu saja … karena bermanfaat.”
“Untuk apa? Memasak itu kegiatan yang merepotkan, harus ini segala macam— Kamu tidak merasa sia-sia? Padahal akan lebih cepat jika menyuruh pelayan, lalu memberi kritik padanya.”
Benar, merepotkan. Itu pasti akan dikatakan diriku yang dulu.
Aku pernah benci belajar. Selalu muak ketika paman Oswald mengajakku membaca buku, apalagi menanyai ibu soal ganti menu makanan. Semua memang terjadi begitu saja— Namun, di saat itulah aku sadar telah salah.
Aku tidak mencoba bertingkah sok berpengalaman. Aku bukan orang dewasa, hanya seorang remaja. Jadi … semua yang kupelajari murni karena tak ingin dianggap bodoh.
Tapi biarkan aku mengatakan ini, “Iya juga ya.” Selagi bicara, aku mengaduk adonan sup daging ikannya. “Namun, bukankah akan membosankan?”
Ini serius. Kurin sekarang benar-benar berinteraksi denganku.
Kurin menghela napas, seakan tidak bisa berlindung dalam topeng lagi. “… Sebenarnya … ada alasan kenapa aku tiba-tiba mau ikut ke sini.” Sebuah pengakuan, baru pertama kalinya terjadi. Sulit dipercaya. “Kamu tahu pelayanku, Gloria?
Setelah mendengar kisah Pemilik dan melihatmu, aku menyadari sesuatu. Diriku yang selama ini selalu dihidangkan makanannya, saat berpakaian dibantu, dituangkan ketika minum teh— Bukankah itu … terlalu mudah? Hidupku.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Seberapa lelah tubuh, seberapa lama menit pengorbanan waktu tidur, dan seberapa tahannya mereka ketika berurusan— Aku pasti sudah sangat merepotkan para pelayanku….”
Kurin….
“Ya ‘kan kau memang merepotkan.”
“Hah??”
Aku tidak terbiasa tahu! Melihat Kurin yang seperti ini.
“Aku ingin berubah! Bagaimana cara menjadi berguna?”
Tanpa sadar bahuku terangkat. “Kau tahu, belajar itu … bukan tentang menjadi berguna.” Kupegang kedua pundaknya dan membuat dia menghadapku. “Mungkin, aku melakukan semua ini … agar tidak menyesal. Karena ada mimpi yang perlu diwujudkan.”
Bola mata melebar dan seketika merendahkan pandangan wajah.
“Bahkan orang sepertimu punya satu ‘kan?”
Memang agak lama, tapi pada akhirnya sebuah anggukan terjadi, disertai ‘uhm’. Dia makin berkeringat dan gemetar tak karuan. Setetes air langsung merubahnya menatap penuh tekad, padaku. “Ada.”
Aku tidak pernah membayangkan tibanya hari seperti ini. Kurin menjadi makin terbuka, mengintropeksi diri, dan memperoleh pandangan baru. Di satu sisi termasuk pengalaman aneh— Namun, juga sebuah kabar gembira.
“Terima kasih, Zale.” Kurin tersenyum, lalu terlihat agresif seperti biasa dan mendorongku begitu saja. “Mataku terbuka.”
To be Continued….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Raylanvas
🤣👉
2022-07-18
1
Ashidart
Ada apa ini?
2020-12-15
0
Duraraa S
alur kek gini bikin pengen stop baca,cuman ketagihan sama lanjutannya
2020-10-26
2