“Ashbell! Gunakan Spinctum— Apa pun itu!”
Mau diingat berapa kali, Kurin Ashbell terus terganggu akan kalimat itu. Dirinya memang bukan pemikir yang baik. Tidak ada gunanya terus memperhatikan dan curiga terang-terangan, alhasil muncul sebuah pilihan cepat.
Ketika rombongan skors baru akan memasuki penginapan.
Ehm ... aku benci mengakuinya, dia ini lebih pintar dariku. Jangan sampai sembarangan seperti biasa.
“Oi, kau terkena apa sih?”
Meskipun begitu, ini adalah bagian yang sangat mengesalkan. Sering terjadi. Zale selalu memperlakukannya seperti orang bodoh, padahal sudah tahu satu atau dua hal.
“Seriuslah!” Mata Kurin menajam. “Dia ... sebenarnya siapa?” Selagi mengatakan ini, pikirannya menjadi skeptis.
Suka atau tidak, ini adalah momen kebenaran yang ditunggu-tunggu Kurin. Namun, datangnya terlalu cepat. Wajah Zale Llyod seolah sudah menentukan jawaban pasti sejak awal.
“Yuba adalah temanku.”
Sebenarnya pembicaraan masih bisa dilanjut.
Kalau melihat yang seperti ini ... bahkan Kurin sekali pun mengerti hasilnya akan percuma. Dia menyerah dengan helaan napas dan kalimat ‘sudahlah’, lalu pergi memasuki penginapan bersama kekecewaan.
Sepertinya aku memang harus cari tahu sendiri.
Kurin yang sementara membelakangi pintu tertutup, lanjut jalan setelahnya.
Zale yang tidak menahu menggaruk kepala. “Dasar, apa-apaan sih barusan? Tiba-tiba datang dengan pertanyaan aneh.” Tadinya niat lanjut bersantai, dia tahu Kurin memang selalu terlihat labil, tapi sikap barusan berada di luar batas. “Yuba ‘kah ... jika dipikirkan, aku tidak tahu apa pun tentangnya.”
Kuamati dulu.
“Enghh ... haaah!” Setelah meregangkan lengan ke atas, dia memutar leher hingga terasa bunyi, lalu disudahi dengan memungut tas di bawah. “Setelah ini makan, menulis surat, dan tidur. Besok pasti sangat sibuk! Hoaaam ... merepotkan.”
****
“Oke, kita akan mulai besok. Maaf ya~ Kalau seumpama kurang nyaman. Anggap rumah sendiri, Mason bilang kalian boleh makan gratis selama masa skors.”
Mata Yuba berbinar. “Ooh! Seriusan, paman??”
“Sebagai gantinya, lakukan dengan benar ya! Aku takkan segan-segan meski kalian anak sekolahan.”
“Mantap!” Si biru melakukan pose kemenangan. Mau bagaimana pun, bisa makan sepuasnya sudah cukup sebagai bayaran kerja kerasnya.
Tidak lupa diri, Zale berkata, “Bukan masalah kok, paman! Justru terima kasih banget!” Kepala diarahkan ke kiri, bersama gigi yang terangkat dia menepuk pundak si gadis bangsawan. “Ya?” Ini diluar karakternya, tapi dia berusaha ramah.
Mengernyitkan dahi dan mengerucutkan bibir, bersama ‘hmph’ Kurin Ashbell membalikkan badan sambil menangkap barang bawaan, masuk dan menutup agak kasar kamar yang kebetulan di sebelah kirinya.
“DASAR, apaan sih?! Padahal mumpung jauh gini, niatnya mau akrab sedikit— Heh! Aku berhenti, lakukan semaumu!”
“Sudah, sudah~ Hari ini kok pada aneh begini, kalau dia aku bisa paham— Kau ... ada yang terjadi tanpa sepengetahuanku?” Si biru memang terdengar serius, termasuk rautnya. Setelah mendapat ide antah berantah mendadak berubah menjadi cengiran. “Fufu— Jangan-jangan....”
Otot dahi Zale mengeras. “Sialan, mau dipukul nih?”
“He— He...??” Raut dan pose tangannya seolah ingin bilang ‘jangan dong’, dikala keringat bercucuran dari kening.
Menghela napas untuk menurunkan lengan yang dikepal, Zale melirik sekali ke kiri. “Dia ... sepertinya menaruh curiga padamu.” Dia meninggikan bahu dan menggelengkan kepala. “Memangnya kau pernah salah apa? Yah, bukan urusanku sih. Aku mau ke kamar. Kau?”
“Hmm ... mungkin jalan-jalan dikit di luar— Boleh ‘kan, Pak?”
Fredrick menuju arah tangga, memegang pembatas yang menjadi penanda jalan keluar lorong kecil ini. Matanya menemukan jam dinding pada suatu pilar kayu. Yuba baru saja tiba di sebelah.
Sekarang setengah sembilan malam.
“Pastikan kembali ke penginapan sebelum pukul sebelas.”
“Ya~!” Senang mendapat persetujuan, Yuba meletakkan tangan di belakang kepala dan menuruni tangga sambil bersiul, setelah meninggalkan barangnya di kamar.
Seusai hanya melihati, Zale Llyod lanjut masuk ke kamar.
“Bapak setelah ini ada waktu? Mari bicarakan soal skorsnya— Sekalian ... mau dengar kisahnya juga ketika muda dulu, hehehe,” ucap Emmet yang menyembunyikan antusiasme dengan keramahan canggung. “Boleh ‘kan?”
“Hmm.” Fredrick mengangguk dengan senyum ramah.
Akhirnya sepi juga.
Sebuah mata mengamati melalui celah pintu yang 10 persen terbuka. Karena si pemilik enggan berkesan seperti penguntit, itu ditutupnya dan dalam hitungan detik mendaratkan punggung ke kasur empuk.
Empuk bagi rakyat jelata.
Penginapan Mason ini bukan bintang empat atau apa pun. Bangunan usaha yang bisa orang temukan di mana pun, tidak terlalu istimewa dan mencolok. Lantai pertama merupakan lobi bernuansa seperti bar, dan tingkat kedua hanyalah kumpulan kamar pas-pasan di lorong sempit.
Bukan tempat untuk darah biru seperti Kurin Ashbell.
Rasanya seperti di tumpukan batu, itu pikirannya selagi terlentang dengan muka datar, memandang pencahayaan tua yang dikerubungi serangga. Mau bangkit pun tidak ada niat, terutama ketika sudah mengenakan pajama.
Pegal.
“Ahh ... malesin! Lupakan soal curiga, nama teknik ketahuan saja nggak ada efeknya ke hidupku— Apa sih yang kukhawatirkan? Impian itu sudah lama kubuang!” Dia tidak sedang berteriak. “Belajar Rune tidak lebih jaminan agar diterima di sebuah akademi.”
“Akan kubuktikan kalau aku bisa menghancurkan sistem bangsawan bodoh ini, lihat saja nanti!!”
Apanya yang menghancurkan— Bodoh sekali!
Percuma saja mencoba terlelap di sini.
Hiiihh! Kenapa aku nggak bisa berhenti terganggu?!
Kurin memutuskan duduk dengan kedua kaki memijak lantai kayu. Mendatangi jendela di kirinya, setelah memandang sebentar. Dia memang mencoba menemukan sesuatu di luar. Meskipun berniat menutup tirai kembali, tangan yang sulit diajak kerjasama menahan tanpa pemahaman.
Daripada menjadi imsonia gara-gara hal bodoh, lengan si labil meraih gagang lemari di sebelah, mengenakan pakaian kasualnya. Gaun one piece hijau bergaris berangkap sweater krem. Lengkap dengan ikatan gaya ponytail dan kaki berbalut stocking hitam sepanjang atas lutut.
Kurin buru-buru keluar.
Sementara itu di kamar lain.
“’Apa kalian sehat-sehat saja? Maaf lama tidak memberi kabar, sulit menyeimbangkan sekolah dengan kerja. Hah ... akhir-akhir ini ada dua orang aneh mengganggu hari damaiku. Keduanya bangsawan, tapi anehnya mereka nggak mencerminkan satu.
Yang laki-laki, dia punya rambut biru mencolok! Orangnya mesum dan bodohnya nggak ketolong. Mengejutkannya ... dia jago banget di setiap pelajaran— Tidak masuk akal bukan? Satunya seorang gadis. Dia ... pokoknya mengesalkan!
Ah, saat ini aku di Kota Lemise. Tolong jangan tanya mengapa. Tahu ‘lah ... pelabuhan besar dengan ikan terkenal itu— Intinya aku baik-baik saja! Selalu ingat untuk istirahat dan jangan terus-terusan menjaga penginapan, tubuh ibu ‘kan lemah.
Katakan juga pada ayah, jangan mengirimiku lobak, ibu tahu aku membencinya. Jadi saat panen kirim kentang saja. Untuk sekarang aku tidak bisa mampir. Itu saja, jaga diri kalian! Dengan tanda kasih, Zale Llyod’.”
Kantor pos ... di mana? Cari besok saja.
Seusai membaringkan pena bulu, Zale melipat dan memasukkan surat ke amplop bersegel anggrek. Melafalkan mantra pengikat agar tidak bisa dibuka siapa pun, kecuali orang tuanya.
Amplop satu ini memang lebih mahal dari versi biasa. Demi privasi.
“Hmm?” Suatu ketika matanya menangkap sosok mencurigakan melalui jendela yang agak beruap. “Kurin?” Nampak mencolok karena rambut merahnya, dia melihat si pelaku barusan keluar dari penginapan, tengah menuju arah barat.
Namun, Zale tak kunjung membuat pergerakan. Hanya melihat.
****
Terlanjur di luar. Pertanyaannya, ke mana perginya si biru mencolok?
*Ah gitu,Abrenas Sign! Setelah pertarungan di vila itu tandanya belum kuhilangkan. Orangnya pasti belum sadar— Kesempatanku!*
Bagaikan menelanjangi dari dalam. Kurin yakin Yuba takkan bisa luput dari radarnya, setidaknya hingga ketika tiba di titik terdekat penjagaan Hollocaust, dimana baik dirinya maupun prajurit kerajaan bisa melihat satu sama lain.
Mendekat saja bukan sebuah larangan, karena itulah Kurin dibiarkan melamun di hadapan dinding samping suatu bangunan. Bukan tanpa alasan, dia ‘menemukannya’.
“Tidak mungkin....” Menoleh ke mana pun percuma, ini menambah kebingungan melalui wajahnya. “Padahal nggak salah lagi di sinilah lokasi segelnya. Di mana? Bagaimana ... bagaimana bisa lepas?” gumamnya frustasi.
Kurin tidak sedang melantur. Yuba memang di sini, jejak sihirnya saja.
Seharusnya mustahil menghilangkan segel tanpa perintah dariku, apalagi dia bukan penyihirRune. Jauh lebih mahir dari yang kuduga....
Ketika rasa curiga kian membesar, Kurin merasakan adanya pergerakan di belakang.
Seseorang, berambut merah dengan kacamata dan model zirah berbeda dari para prajurit di sekitar. Terlihat mengintimidasi, seolah nampak sangat besar dan terlalu sulit diketahui ekspresi spesifiknya gara-gara bayangan.
Enggan repot-repot berurusan, setelah berbalik Kurin pun langsung melangkah pergi.
“Tunggu, kamu!” seru pria merah kacamata itu. Dia tidak terdengar akan berlaku buruk, nadanya lebih ke menegur. “Apa yang kamu cari malam-malam begini?” Sengaja ditekankan agar si gadis cepat mengaku.
Hmph, kamu pikir bisa lolos? Jangan remehkan aku!
Sepertinya Kurin mengabaikan sang ksatria secara penuh. Pria kacamata tidak mencoba mengejar, hanya mengamati pergerakan si gadis yang sana-sini memeriksa suatu sisi.
Prajurit yang sejak awal melihatnya, menghampiri pria kacamata untuk menanyakan, “Mengenalnya, Kapten Axel?”
Angin malam mendadak lebih beraktivitas, menerka halus rambut dan kulit. Perlahan datang pencahayaan dari bulan. “Tidak. Ini adalah hari persiapan festival, sebaiknya pikirkan saja bagaimana menjaga keamanannya.” Ketika awan hilang sepenuhnya, rupa menawannya menjadi sangat jelas.
“Y-Ya! Maafkan ketidaksopanan saya, permisi.”
“Bulan purnama....” Ren Axel termenung, seolah mengagumi sinarnya. Dia sempat melirik suatu atap bangunan.s
Kembali ke Kurin Ashbell. Kini dia harusnya sudah cukup jauh dari mereka, wilayah pertokoan yang lebih gelap. Semua orang sibuk mempersiapkan festival. Tak seorang pun akan pulang sebelum pukul sebelas.
Intinya di sini sepi.
Waktunya serius. Sebuah kesalahan meninggalkan jejak sihirmu di tempat sejelas tadi, aku mengingatnya! Kamu kurang beruntung karena pendeteksian adalah keahlianku.
Awalnya terasa lemah, kelamaan makin cocok pada bentuk jiwa yang ia ingat. Kali ini pasti ketemu! Mau secerdik apa pun pengalihan yang penyihir lakukan seperti bertukar tempat dengan jejak sihir, di mata orang dengan kemampuan deteksi baik adalah percuma.
Mana takkan berbohong.
“Heh, ternyata dia ceroboh—”
“Siapa?”
“Kyaaa!?” Kurin sama sekali tidak menduga kemunculan suara familiar ini, tepat di belakang kuping. Sensasinya membuat tubuh serasa membeku. “K-Kamu!” serunya dengan mata melebar.
Tahu si gadis tidak dapat berbalik, pengejut ini berinisiatif menunjukkan diri di hadapannya. Dia orang yang dicari-cari Kurin Ashbell.
“Tenang dulu,” ujarnya santai. “Mengapa kamu mengikutiku?”
Gigi menggeram, jantung kian menegang. Bukan menjawab justru Kurin buru-buru mendatangi titik yang seharusnya menjadi ‘lokasi’ Yuba. Ternyata di sebuah gang gelap.
Hanya ditemukan kloning humanoid dari benang yang memancar aura kebiruan.
“F-Fake....” Dia benar-benar tercengang.
Yuba memang menyusul, tapi hanya berhenti di depan jalur masuk. Dari sudut pandang Kurin ia terlihat seperti sosok kegelapan.
“Jika kamu ahli mendeteksi, maka aku sebaliknya.” Si biru tersenyum menunjukkan gigi. “Mahir sembunyi.”
Orang ini...?! Cih, aku tidak punya lain. Cukup sudah menjadi pengecut!
Setelah kloning benang deformasi, dengan berani Kurin mengatakan, “Gitu. Lumayan juga, untuk seukuran orang mesum.” Dia berbalik, menggenggam erat atas dada, ekspresinya tajam. “Baiklah, aku mengaku! Langsung ke inti ... bagaimana kamu bisa tahu nama teknik pamungkasku?”
“....”
Untuk beberapa alasan udara seakan tidak bergerak. Bulan sama sekali tak memberi penerangan pas, ditambah suasana sunyi nan gelap ini. Bagi dua orang ini sama-sama terasa mencekam.
Terjebak dalam diam, si biru berulang kali berkedip seolah merasa salah dengar. “Hmm...?” Nada heran ini buktinya. “....” Semakin dipikirkan, rasa bingung di kepala memarah. “He??”
Si penanya menyilang tangan sambil cemberut, satu kaki dihentak-hentak tanpa henti.
“Eh— YANG ITU?!” Sebuah kubus dikeluarkan dari kantong. Bagian tengah ia tekan dan dalam hitungan detik turun sebuah buku di atas telapaknya. “Ini.”
“Eh, catatan dewi?” Nadanya keteteran, seperti kegugupan yang direalisasikan menjadi ungkapan canggung. “Ini ... aku?” Saking mengherankan kepala sampai dimiringkan.
Kesukaan, yang biasa dilakukan— Sihir andalan.
“Ehehehe.” Yuba garuk-garuk kepala, sungkan. “S-Sebenarnya itu daftar gadis yang kuanggap manis. Kucatat bagian berguna untuk referensi dan— I-Intinya target g-g-godaan—“
Heh ... banyak juga yang kamu tahu. Kitab orang mesum ya, Yuba banget. Ini...? Ukuran tiga—
Membuat wajah seolah menemukan sesuatu yang sangat menganggu, tanpa pikir panjang lembar berisi info dirinya dirobek dan dibolakan, lalu dibuang begitu saja.
Melihatnya, si pengarang jelas panik. “C-Catatannya!?” Ketika berlutut saat yang sama dia menyaksikan sang gadis.
Posisi wajah ditinggikan selevel memandang seseorang sebagai serangga, diperkuat silangan tangan yang menyangga dada. Jemarinya memegang erat ‘catatan dewi’ seolah ingin meremukkan.
“Ehe?” Menanggapi, si biru malah bertingkah seperti gadis ceroboh yang sok imut.
Buku makin tercengkram dan gigi geram mulai kelihatan. Tanpa pikir panjang Kurin Ashbell menampar keras pipi Yuba dengan ‘kitab’ ini. Lalu berbalik dan cepat-cepat melangkah jauh, melemparnya ke atas belakang seperti sampah.
Melirik sinis dan mengatakan, “HAAH, MENJIJIKKAN!”
SULIT DIPERCAYA! AKU GELISAH HANYA KARENA HAL SEBODOH INI? DIA MAIN-MAIN DENGANKU— AHH BODOH SEKALI, HARUSNYA NGGAK USAH NYARIIN!!
Kurin sepenuhnya menelantarkan Yuba yang dalam dilema.
“Berakhir sudah ... sekarang aku kehilangan muka,” ungkapnya penuh penyesalan, tapi tidak sampai seserius itu.
Dalam hening buku pusakanya dipungut, menerka-nerka sampul bebas dari debu dan pasir. Menekan kubus lagi agar ‘terbuka’ seukuran itu, lalu langsung masuk tanpa terkecuali.
Perkembangan ini justru membuatnya lega.
Kupikir dia membuntuti karena tahu gerakan balik layar— Sudahlah. Untuk sekarang aku aman? Ah, hampir saja. Sekarang waktunya menghungi ‘mereka’.
Yuba menyandar dinding terdekat, merogoh saku lain demi menemukan sebuah dadu hitam. Itu ditolontarkan ke atas menggunakan dorongan jempol. Merapal ‘Isia Elest’ ketika mendarat menunjukkan angka enam di atas telapak.
“Senior?” Suara feminim muncul dari dadu.
Posisi dadu Yuba tinggikan sejajar dagu. “’Alur’ yang dikatakan ‘visi’ telah tiba, sudah saatnya melacak ‘dia’. Aku mengandalkanmu.”
“Baiklah, akan Miki lakukan,” jawab suara feminim dengan formal dan halus.
To be Continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
lo ga bahaya to
Sara udah bosen idup keknya wkwk, kenapa gak nerima aja tusukan serangan tadi. Nikmat loh, kalo anda masokis🤣
2021-06-23
0
Septiano Personnes Estimata
Y-yuba!?
2021-01-01
0
Heeseung?
kok Mulai merinding ya bacanya
2020-09-19
1