Keesokan hari di atap sekolah, waktu istirahat. Aku ingin menanyakan kejadian kemarin pada Dorado. Sebagai Archmagus kerajaan, harusnya tahu banyak soal penjahat.
“Konspirasi ya ... sulit dipercaya keluar dari mulut bocah yang payah dalam sihirnya.”
“Jelas iya ‘kan ... lihat, maksudku— Padahal kemarin banyak penduduk yang berlarian panik, bagaimana bisa pasukan kerajaan tidak menyadarinya dan segera bertindak?! Itu sangat aneh!”
Pria berambut sangar ini menggaruk-garuk kepala, matanya menoleh hal lain. Seperti bingung mau menjawab apa. “Sayangnya mulut ini dibuat bungkam oleh Prominence.”
Prominence, organisasi netral yang katanya jauh lebih berkuasa dari ketujuh negara di dunia ini. Segala jenis informasi dan rahasia dunia sihir dijaga ketat oleh mereka. ‘Tak seorang pun boleh menentang dewan agung’, doktrin itu sangat lekat di kepala semua orang.
“Palingan cuma kebetulan—“
Ha??
“Omong kosong! Ayolah Dorado, jangan coba mengalihkan topik— APALAGI menghalangiku untuk tahu.”
Dorado menghela napas, dia nampak kesal. “Dengar, bocah. Kau ... masih terlalu dini untuk penasaran dengan dunia. Tanpa pengalaman dan kekuatan yang pas!” Dia menyentuh kepalaku, memberi elusan agak memberantaki dengan ekspresi serius. ”Andalkanlah orang dewasa ini.”
D-Dorado ... ngh—
Kujauh paksa tangannya dengan tamparan punggung jemari. Geram seperti singa kelaparan yang merasa dipermainkan, rasanya seperti mau menerkam kalau tetap tidak diberitahu.
Dia nyengir agak meninggikan posisi wajah, lalu menusuk mutar telunjuknya pada keningku, cukup untuk mendorongku. “Kau memang bocah menarik.” Dorado berbalik pergi begitu saja dan melambaikan tangan. “Sampai nanti~ Nanti keluhanmu bakal kusampaikan!”
Aku mencoba mengejar dan meraihnya. “TUNGGU SIALAN!!” Namun, aku berubah pikiran.
Tidak bisa menerimanya! Apanya yang ‘tidak perlu tahu’, dasar sialan ... aku bukan lagi bocah lho. Kenapa kalian melakukan ini padaku? Jika bukan Dorado, maka aku hanya perlu menanyai langsung orangnya.
Page Hour, si ‘anjing pemerintah’.
****
Lantainya tahun ketiga, pertama kalinya aku kemari.
Seperti suasana anak setingkatku, terlihat beberapa senior berlalu-lalang dan nongkrong di sekitar bersama temannya. Kurasa mau di mana pun, namanya jam istirahat pasti ramai.
“Hei bukankah anak itu, yang kemarin cari masalah dengan ahli waris Reissel?”
“Aku mendengarnya dari adikku, dia anak yang selalu meledak ketika ujian masuk.”
“Eh beneran? Ujian masuk yang biasanya disuruh memusatkan energi sihir pada benda dan mengeluarkan takaran energi tertentu itu! Orang kayak dia bahkan nggak bisa melakukannya?”
“Uwaah dia melihat kemari lho, menakutkan, menakutkan.”
Pantas saja ada yang terasa kurang ... kupikir orang-orang akan berhenti mengejek setelah pertarungan itu. Yah, ini juga sepenuhnya karena ulahku sendiri.
Jadi teringat kenangan indah minggu awal di sekolah ini.
Segala cemoohan datang setiap kali terlihat di dekat gerbang, halaman, lorong, bahkan kelas. Rasanya minggu ini tiada akhirnya. Mereka selalu muncul.
“Melewati batas-batas buatan para bangsawan memang menyulitkan, sebagai orang biasa aku ingin memecahnya dengan lainnya. Namun, tidak dengan orang itu.”
“Nggak bisa dipercaya dia juga rakyat jelata seperti kita, malu-maluin banget.”
“Ya tuh, selemah apa pun kita bahkan nggak sepayah si ledakan!”
Ungkapan remeh orang-orang sekasta yang kecewa.
“Oii, kau baik-baik saja?”
“Alex, buat apa membuang tenagamu untuk rendahan sepertinya? Pada akhirnya rakyat jelata tetaplah sama— Paling nggak kompeten sepanjang masa!”
“Hoho, benar juga~! Hampir aja tanganku menyentuh tangan kotornya. Enyahlah, aku ogah ketularan kepayahanmu.”
Ucapan arogan para bangsawan yang suka menjatuhkan.
Normalnya aku seharusnya tidak tahan dengan semua ini. Makanya karena itu aku tak boleh sampai terpengaruh. Menerima ucapan mereka sama saja menginjak-injak ikrar yang kubuat sendiri.
Demi memahami ‘kekuatan’.
“Hohoo, junior kesulitan ditemukan!”
Berkat kemunculan suara riang ini, aku pun berhenti menunduk.
Orang ini … rambutnya unik juga, dia tipe gadis yang mencoba menjadi keren. Apa warnanya memang alami? Helai putih mencolok di antara coklat lainnya.
“Jika melihat junior di lantai yang bukan tingkatnya, apa lagi masalahnya kalau bukan tengah dilanda kebingungan!” Dia cukup berisik juga. “Kamu, kayaknya pernah lihat di suatu tempat....”
“Aku Zale Llyod senior, mungkin kau pernah mendengar ada dua anak beda kasta bertarung di arena beberapa waktu lalu.” Kutunjuk diriku dengan jempol, tanpa ragu. “Senior ada urusan denganku?”
“Aku lupa bilang sebelumnya. Namaku Merlin Scdobach, aku paling suka berkenalan dengan yang lebih muda sepertimu!” Dia meraih tanganku, berlari pelan membawaku. “Kayaknya kita terlalu mencolok, kubawa kamu ke tempat favoritku.”
Eh, eehhh!? Tungg¬–
****
Ge– Di atas? Ini ... tempat favoritmu? INI?
Dia berdecik sembari menggelengkan telunjuknya. “Anak muda ... meskipun semua orang membenci atap sekolah, lokasi favorit adalah favorit! Apa salahnya mencoba sedikit bermimpi bukan? Hehehe.”
Terserahlah.
Langitnya sedikit berawan, kuharap tidak hujan.
“Page Hour? Aku tahu kok, dia teman terbaikku! Kami di kelas orang biasa ruang ke-4.” Dia barusan tersentak, dengan pandangan penuh gairah aneh langsung memegang kedua pundakku. “Hayo, hayo mau minta saran cinta nih~? Hmm hmm nggak mengherankan, Page ‘kan terlihat seperti wanita dewasa. Tipemu menarik!”
“Ngawur oi!! B-Buat apa repot-repot ikut denganmu yang belum kukenal, hanya untuk meminta saran?! Hatiku sudah untuk seseorang.”
Page Hour itu bukan bangsawan? Aku baru tahu....
“Walah? ‘Lah terus apaan…?” Dengan muka datar dia nampak kecewa, berpikir keras dikala meletakkan telunjuk di sebelah bibir.
“Itu bukan urusanmu, aku ingin membicarakan sesuatu empat mata dengannya.”
“Sakit~! Maafkan aku, maafkan aku. Walaupun kami sahabat, terkadang aku tidak tahu kemana perginya dia selama jam istirahat.” Dia meregangkan kedua lengan ke atas, kemudian memperlihatkan sebuah foto yang baru diambil dari saku.
“Siapa ini, adiknya senior?”
Berbeda dengan senior, gadis dalam foto ini berambut mangkok warna merah muda. Kelihatan pendek dan pintar, bundar sekali kacamata itu.
“Bagaimana, Pocha-ku imut bukan~? Oho tapi kamu jangan khawatir, dia bukan gadis pemalu kok. Dia adik kecil kebanggaanku!” Dia mendesak lenganku, mencoba menyerahkannya secara paksa. Rasanya seperti tengah melakukan pertukaran ilegal.
Ha?
“Lagi, lagi~ Nggak usah malu, toh sesama tahun pertama, simpan saja fotonya~! Kalau perlu, lihat?” Dari kantongnya keluar puluhan lembar foto adiknya, dari nuansa biasa hingga sedikit erotis, dia memaksakan tumpukan itu padaku. “Simpanlah, simpanlah! Kamu boleh mulai mengagumi Pocha~!”
Dasar, beginikah sikap seorang kakak yang seharusnya?!
“Aaaaaaa baiklah! Fotonya kusimpan, iya ya adikmu imut banget! Jadi cepat menjauh dariku dan tutup mulutmu senior!!”
Ya ampun, dia sangat merepotkan. Aku tak punya pilihan lain. Jangan sampai kelihatan, nanti orang-orang bisa salah sangka!
“Baiklah, mari pergi?”
Yah, harus kuakui … adiknya memang manis. Kutebak pesonanya akan bertambah ketika kacamata itu dilepas. Umum sekali di novel romansa.
Tempat yang mungkin didatangi Page Hour … senior bilang pernah beberapa kali memergoki sahabatnya di lokasi tertentu, salah satunya perpustakaan. Interior penuh rak buku yang saling berhadapan.
Uhh … berantakan, empat kali lipat lebih parah dari ruangannya paman. Pergi ke mana pustakawan yang biasanya?
Jadi teringat kenangan lima tahun lalu. Saat paman masih sering di rumah orang tuaku, mengurung diri dalam ‘kantor’ penuh berkas dan buku.
Diriku yang masih bocah, tentu berpikir dia tidak memiliki teman. Terheran-heran melihatnya bahagia menikmati kesunyian dunianya, tenggelam dalam lamunan, seolah semua dipandang berbeda olehnya.
“Hei Zale, cobalah baca ini. Menarik lho!”
“Ogah, membaca itu membosankan! Ketimbang itu, ayolah paman ajari aku sihir! Aku ingin menjadi seperti Kak Leyse.”
“Ahahahaha, kau masihlah bocah ingusan ternyata ya hahahaha! Baiklah~ Kalau nggak mau, biar paman bacakan untukmu. Seperti kata filosofis, ‘mendengar adalah cara terbaik manusia belajar’.”
“OIIII aku bukan bocah!”
Pada akhirnya dia tidak pernah mengajariku satu pun. Semua yang dilakukannya hanyalah buku dan buku, tak terhitung jumlahnya ia terus mengajakku membaca.
Yah, ironisnya aku benar-benar berakhir membaca satu dan ketagihan hingga sekarang. Kebanyakan cuma novel. Aku masih belum melihat maksud paman melakukan semua itu. Kupikir ada kaitannya dengan ucapan Kak Leyse tentang ‘arti kekuatan’.
Yang berarti aku memang harus memahami siapa diriku dulu. Jati diri.
“Aneh, padahal aku yakin Page ada di sini.” Senior menunjuk sebuah meja di dekat rak. “Lihat! Itu tempat favoritnya, barang-barangnya juga masih di situ.”
Ehm ... benar juga...? Kurasa nggak ada salahnya nunggu sebentar.
“Ah, buku ini!” Aku menemukan sebuah berlian.
“Zale~! Kemari~ Sini ngobrol sama kakak buat ngisi waktu. Pasti bosenin banget kalau cuma jalan-jalan bukan?”
Ya, kau ada benarnya. Aku akan berurusan denganmu nanti, berlian. Jangan pergi ke mana-mana lho ... jangan.
“Ya,” jawabku formal.
Senior Merlin terbahak-bahak hingga beberapa kali menepuk pahanya. “Sudah, sudah~ Ngapain mendadak sungkan gitu, bukan dirimu saja!”
Memangnya kau mengenalku?
“Ampun deh, benar-benar senior yang berisik.”
“Hei, hei sekarang sopan santunnya hilang.” Walaupun bilang begitu, nyatanya malah senyum-senyum nggak jelas. “Aku menyukaimu.”
“Ahh ... terima kasih,” jawabku datar. “Denger-denger senior orang terkenal, apa jangan-jangan kau sepuluh akar jenius?”
“Pertanyaan bagus!” Dia menjentikkan jari, diakhiri menunjuk dengan jari. Tingkahnya seperti anak kecil yang antusias menunggu mainannya, kedua kakinya goyang kiri kanan dikala siku kanannya menyangga alas meja. “Sebutan resminya Roots Eisenwald—Singkatnya ... aku nomer dua~!”
Serius? Kayaknya terlalu mengada-ngada—
“Kamu tahu sistem perperingkatan?”
Itukan, yang kapan lalu pernah dijelaskan Page Hour. “Memangnya kenapa?” kubuat nada dan rautku menunjukkan ada pemahaman sejak awal.
“Nah, sepuluh akar jenius itu orang-orang yang menduduki peringkat 1 hingga 10 dari seluruh siswa Eisenwald. Mereka memiliki kekuatan luar biasa dan tak terkalahkan. Sihir Page ngeri banget lho! Dia dijuluki Librarium Index, kemampuannya mengekang sesuatu itu digadang-gadang setara Kaisar Refft—
Bahkan mungkin melebihi! Kebanyakan akar jenius dari anak tahun kedua sih, salah satunya Aaron. Dia sekarang menduduki kursi pertama dan malah bilang bosan lho! Gini amat ya, padahal dulu manis banget, selalu manggil ‘senior’ buat minta saran— E-Ehem! Aaron juga penyihir kartu sepertimu.”
Nomer satu sekolah ini ... kartu?! Orang bernama Aaron, bagaimana caranya memainkan instrumennya?
Kusipitkan pandangan mata. “Percuma lho mencoba mengalihkan topik.”
“G-Ge—“
Buang-buang waktu saja, padahal aku sudah sedikit berharap berhubung dia punya koneksi langsung. Kurasa aku terlalu sering mendengar omong kosong Yuba. Ternyata dia sama saja.
“Aku pergi—“
“Tunggu, tunggu, tunggu! Setidaknya dengarkan aku.” Nadanya berbeda dari yang tadi. “Pasti repot ya....”
Apanya? Kalau bicara denganmu, iya.
“Waktu itu aku menonton pertarunganmu. Memang benar kamu kelihatan payah dan berpotensi kalah.” Senior berhenti menaikkan kaki, kini melihatiku dengan serius. “Lantas ... mengapa mereka mengolok-olokmu? Hei...?”
I-Itu....
Bagaimana menjelaskannya ... seperti orang lain. Duduk seimbang dengan kaki di bawah meja, kedua siku menyangga meja dan jemarinya saling memasuki celah.
Dia membuatku takut.
“Padahal di mataku kamu yang paling bersinar.”
“B-Bersinar...?”
“Daripada siapa pun kamu pantang menyerah, tidak terpengaruh apa pun yang orang-orang kecamkan— Matamu ... aku mengetahuinya. Beberapa kali berubah. Entah karena dirimu sendiri, atau....” Dia berdiri, memungut beberapa buku untuk ditumpuk. “Asal kamu tahu, banyak anak yang tergerak oleh aksimu.”
Aku menelan ludah. Menegang dan sulit rasanya mencoba memotong.
“Aku memang nggak jago berkata-kata. Namun, Zale ... begini-begini mataku cukup jeli.” Terasa tekanan yang begitu besar, menenggelamkanku, seolah tak memberi ruang untuk bernapas. Kuat sekali sebuah lirikan saja, pupilnya terlihat aneh. “Aku menaruh harapan padamu, orang hebat di masa depan!”
D-Dia menaruh harapan— Selain itu ... hebat...? Sulit membayangkannya saat masih belum bisa apa-apa seperti ini. Apa memang akan berjalan semudah itu? Senior Merlin, siapa sebenarnya...?
“Senior, a-a-aku ... aku—“
Barusan bel sekolah berbunyi.
“Walah ... sayang banget jam istirahatnya kelar,” ungkap senior yang tiba-tiba kembali normal. “Maaf ya, aku nggak banyak membantumu hari ini.”
“A— T-Tidak apa ... diajak keliling senior aja sudah seneng banget kok. Sedikit menyebalkan sih ... ternyata cukup menyenangkan juga.” Kupertemukan dua telapakku. “Yang sebelumnya ... aku agak kelewatan. Maaf—”
Merlin Scdobach melambai ceria. “Jika kamu dalam kesulitan, sesekali datang curhat denganku.” Dia menunjuk diri dan kelihatan bangga. “Fu fu fu, aku ahli!”
Aaaaaah ... rasanya seluruh kekesalanku hilang entah ke mana setelah buang-buang waktu selama ini. Dia mendapatkanku, benar-benar orang aneh. Ternyata Page Hour dan Dorado benar.
“Terima kasih, senior!”
Tidak baik buru-buru mencapai sesuatu. Segala pertanyaan pasti memiliki jawaban yang akan datang sendiri. Baiklah waktunya memperbaiki kartu payah ini!
Aaron, walaupun belum pernah bertemu— Suatu hari pasti akan kukalahkan!
To be Continued….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Ashidart
Saran Thor. Kalau bisa diberikan lagi penggambaran pas lagi kelahi-kelahi gitu. Seperti letak di mana ia di pukul dan di mana ia memukul. Biar nanti lebih mudah gitu loh pembaca mengimajinasikannya.
Btw untuk penggambaran suasana dan lainnya dah good. Keren, bacanya tetap serasa mengalir.
2020-11-26
0