Hah … kukira jadi lebih baik. Ini sudah seminggu.
“Uwah, itu si ledakan.”
“Aku tahu, aku tahu. Orang yang selalu meledak setiap kali menggunakan sihirnya ‘kan? Nggak kusangka orangnya suka tiduran di tempat kotor seperti itu.”
Apa-apaan sih? Pagi-pagi sudah ngomongin orang. Tempat ini tidak kotor! Nggak sopan banget. Tidur di bawah pohon itu kegiatan mengenakkan dan nyaman! Kalian punya masalah denganku?
“Hus, hus. Ganggu orang tidur saja.” Sekalian kuperjelas dengan gerakan tangan.
Tidak masalah jika yang melakukan hanya satu atau dua orang saja. Lah ini? Setiap dilewati selalu mendapat hal sama. Begitu kuusir malah ditertawakan terus. Maunya apa sih?
Padahal aku punya harapan besar dengan sekolah ini. Bahkan kakak dan orang itu sama-sama memulai rute Archmagus mereka di sini. Kukira aku segera mendapatkan sesuatu, nyatanya celaan saja.
Jadinya buat apa aku pindah ke tempat paman?
Kata paman aku bebas tinggal di rumahnya yang merupakan toko buku Ibukota Fyodor. Kadang-kadang dia datang untuk menanyakan soal bisnis dan kehidupanku. Setelah itu pergi entah ke mana.
Kira-kira beginilah hidupku sekarang. Pagi sekolah, siang sampai sore kerja. Memang tidak buruk, tapi rasanya lama-lama cukup bosan.
Kartu pemberian kakak, ‘Seribu Tahun Badai Salju’— Percuma! Diamati sambil tidur takkan membuat siapa pun mengerti! Apa benar-benar hanya bisa digunakan jika aku sudah cukup kuat?
Waktu itu aku memang masih kecil, tapi sekarang aku merasa ada yang Kak Leyse rahasiakan. Ternyata dia payah ketika cari-cari alasan.
Sial, mikirin mau bagaimanakan sihirku saja sudah bikin pusing, apalagi soal biaya hidup! Hah ... bulan ini cuma 500 Feld. Waktunya hemat dan jangan beli kartu terus.
“Ah, sudahlah. Waktunya ke kelas,” gumamku sembari bangkit dari tidur. Tidak lupa membersihkan celana sebelum jalan.
Tidak, bukan berarti aku percaya tempat yang kutiduri itu kotor. Ini normal dilakukan.
“Oh, ledakan. Selamat pagi. Ngambek seperti biasa?” Lagi-lagi orang ini menyindirku, ditambah tepukan punggung yang menyebalkan.
Dia Yuba Octavius Greissman. Terdengar seperti nama bangsawan bukan? Ada juga tipe sepertinya, tidak menjelekkanku dan malah sok akrab. Mungkin ini yang disebut ‘keramahan’.
Entahlah, aku tidak tahu orang ini benar-benar bangsawan atau bukan. Lagipula aku benci mereka.
“Pagi juga,” jawabku sedikit senang. Aku mempercepat langkah kakiku agar segera mencapai gedung sekolah.
Gedung ini berlantai tiga, masing-masing ditempati beda tahun. Kelasku tentu di lantai pertama. C-1 atau Kelas Orang Biasa Ruang Satu. Paling ujung kiri, dekat tangga dan kantor guru. Lebih cepat dicapai kalau tadi masuk lewat pintu dari halaman sekolah.
Karena banyak orang berkumpul, makanya aku sengaja tidak lewat sana.
Mengabaikan anak sebayaku yang berlalu-lalang di sekitar, kulewati mereka semua. Takkan kujawab meski kalian memanggil, aku lagi tidak ingin bicara sekarang.
“Nak Llyod, bisa minta waktunya sebentar?”
Hmm? Beda cerita jika orang ini. Wali kelasku, Fredrick Streusen.
Kantor guru, ini pertama kalinya aku masuk ke sini. Ternyata tidak seluas seperti yang kubayangkan. Cukup sempit, rasanya siapa pun dapat dengan mudah kepanasan. Mendadak aku kasihan dengan para guru di sini.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sopan kepada pria paruh baya yang sedang memilah barang di atas mejanya.
“Tolong ambil kotak di bawah.”
“Ini?” Kutunjukkan isi kotaknya agar dia yakin dengan pilihannya.
“Benar, benar. Itu merupakan lencana kita. Akademi Sihir Eisenwald memilih Phoenix sebagai identitasnya, dengan mengenakannya kamu dan teman-temanmu akan resmi menjadi murid di sini. Tolong bagikan ke kelas ya?”
Aku garuk-garuk kepala. “Tunggu Pak Fredrick, bukankah minggu lalu kami sudah mendapat segel identitas dari Bu Fusha?”
Bu Fusha adalah Wakil Kepala Sekolah, wanita ini mengajar matematika di kelasku.
“Apa yang kamu katakan? Segel yang dipasang Bu Fusha tak lain untuk memudahkan identifikasi oleh sekolah, sehingga kita bisa mencegah kasus penyusupan.” Pak Fredrick memungut salah satu lencana. “Ini ... adalah bukti untuk membuat masyarakat percaya, biarkanlah dunia mengenal kalian.”
“Oh, masuk akal.” Aku menerima lencana yang barusan beliau beri, kupasang pada dada kananku.
“Bagaimana hari-harimu di sekolah?” tanyanya setelah menyedu secangkir kopi. “Rasanya nostalgia, bicara denganmu di sini seolah mengingatkanku pada kakakmu.” Minumannya disedu lagi. “Dijuluki penyihir gagal yang lemah dan tidak punya satu pun teman.”
“Eh? Seriusan Pak?!”
K-Kak Leyse ... dulunya tidak punya teman? Sama?
“Ya. Setelah cukup lama, akhirnya Leyse mampu melewati semuanya dengan sabar. Mirip sekali, rasanya seperti melihat dirinya dalam versi laki-laki.” Pak guru kini memegang pundakku, tersenyum setulus itu. “Kamu benar-benar adiknya ya.”
Kutunjukkan senyuman, serius aku sangat senang sekarang. “Aku pasti akan menemukannya!” seruku sembari mengepal tangan kanan. “Ketika itu terjadi ... kubiarkan Anda mengetahuinya.”
“Hehe, semangat masa muda memang menggairahkan. Berjuanglah Zale, bapak yakin ... lambat laun semua orang menerimamu. Tidak ada yang salah dari payah!”
Pak Fredrick adalah orang yang baik. Terima kasih mau memperhatikanku dan … Kak Leyse. Mungkin selama tiga tahun ini aku akan banyak merepotkannya. Kurasa kehidupan sekolah ini tidak sepenuhnya buruk.
****
“Oi, kalian! Ada barang dari Pak Fredrick. Jangan diilangin lho!”
Untung mereka sudah masuk semua, tidak perlu khawatir mencari ke mana-mana. Tanpa menanggapi perkataan, kubagi lencana dan kegunaannya. Kulakukan cepat, aku ingin segera duduk.
Tinggal mereka saja. Orang yang tadi menyindirku dan … gadis cantik! Yuba dan Chloe. Makin akrab saja kalian, pacaran ‘kah?
“Oho! Bukannya ini si ledakan? Tadi dari mana? Kupikir kau sampai di kelas duluan.” Mendengar ucapannya saja sudah membuatku kesal.
“Pagi, Llyod.” K-kalau ini tidak masalah, gadis manis tidaklah berdosa.
“Ini, tinggal kalian saja yang belum. Pak Fredrick yang menyuruhku membagikannya, kenakanlah.”
Aku tidak sedang mengigau, ini benar-benar membuatku penasaran. Tak salah lagi mereka berdua ini bangsawan. Kenapa memilih kelas orang biasa ini?
“Terima kasih~!” ucap Chloe dengan halus dan senyuman.
“He … jadi ini yang namanya lencana pengenal. Bukankah sangat keren? Meletakkan simbol Phoenix ini di dada. Hehe makasih~!”
Yah aku tidak berhak menanyakannya, bisa apa orang asing sepertiku?
“Kalian berdua, gurunya sudah datang,” ujar Chloe sembari menunjuk.
Ah beneran, barusan tiba di mejanya.
Keadaan kelas yang semula ramai dan acak-acakan, menjadi sunyi dan rapi. Setelah itu ketua kelas memimpin ucapan selamat pagi, lalu jam pelajaran dimulai.
“Selamat pagi semuanya. Baik langsung saja— Ingat pembahasan kemarin kamis?” Pak guru menunjuk seorang siswi deretan bangku timur.
Dia pun berdiri dan segera menjawab, “Jenis-jenis sihir Pak!” Kemudian dengan sopan duduk kembali.
“Benar. Seperti yang kalian ketahui, ada empat jenisnya. Dasar, Lanjutan, Kuno, dan Alat Sihir.” Pak Movano Stradeus, guru teknik menunjukku. “Llyod, bisakah kamu jabarkan pengertian tingkat menengah?”
Inimah gampang! Soal pelajaran aku yakin nggak ada yang bisa ngalahin— Ehm ... dalam praktek mungkin iya. Mendadak aku merasa malu tanpa alasan.
“Sihir tidak sulit dan tak mudah, ini adalah jenis kompleks yang membutuhkan penguasaan dasar seperti kontrol dan pendeteksian agar bisa menggunakannya.” Tentu saja pengandaian itu hanya contoh.
“Lalu sihir kartumu itu termasuk apa?”
“Sekilas terlihat seperti alat sihir, tapi bukan. Sihir kartu adalah medium yang menyimpan ‘sihir lain’ dan sebenarnya termasuk sihir ruang. Karena sifat universal seperti harus merapal mantra, oleh Asosiasi Penyihir, Prominence, sihir kartu diberi identitasnya sendiri.
Jadi termasuk lanjutan. Tipenya sendiri terbagi jadi dua, Piece atau gampangnya ‘kartu mentahan’ dan Beta, kumpulan piece yang dijadikan satu. Penyihir diharuskan memainkan strategi suportif dan mencari momen tepat untuk mengandalkan kartu kombinasi demi kemenangan.”
Memang memalukan untuk dikatakan. Meskipun hobi membaca, aku kesulitan mengaplikasikan apa yang diajarkan. Mungkin aku tidak berbakat.
Ampun deh.
“Bagus, kamu boleh duduk.” Pak Movano berdehem. “Baiklah sekarang buka halaman 12, hari ini kita mulai mempelajari—“
****
“MEMANGNYA KENAPA GAGAL?”
“KAU BISA! Buktinya sifat heroikmu tadi!”
S-sifat heroik–
Aduh, kepalaku terbentur sesuatu! Ehm…?
“Oi, kau tidak apa?”
“Ah–”
Yang tadi mimpi? Ternyata tanpa sadar aku tertidur.
“Bukan apa-apa, barusan aku bermimpi.” Kusegera berdiri, tak bisa menahan tanganku yang mengusap kepala ini.
“Benarkah?” Dia terdengar tak yakin. “Ngomong-ngomong jam istirahatnya baru saja mulai.”
Ohh! Terima kasih teman sebangku yang tidak kukenal!
“Sampai nanti,” pamitku kepadanya, segera jalan tanpa ada niatan memperhatikan maupun mendengar respon.
Gawat, lupa bawa uang.
Pasti tertinggal saat bersih-bersih kamar tadi pagi. Hah … padahal menu hari ini merupakan favoritku. Mending lihat pemandangan dari jendela halaman saja.
Tidak buruk melihat sekumpulan anak bertukar tawa dan sebagainya. Paling terpenting adalah pemandangan ini! Pohon besar tempatku tiduran, hiliran angin sejuk dan taman indah yang enak dipandang.
Penyihir gagal dan sesuatu tentang ‘Ledakan’, padahal aku hanya berusaha semaksimal mungkin. Bodohnya diriku memutuskan hanya menggunakan Crimson Force untuk lulus tes masuk.
Waktu itu hampir saja....
“Selanjutnya, Zale Llyod!”
Area luas tanpa apa pun selain tembok putih ini adalah tempat tes terakhir. Setelah dipanggil, aku pun keluar dari barisan melintang, menuju hadapan target latihan yang bergerak.
Syarat untuk lulus hanya satu, gunakan sihir secara minimal lalu arahkan pada bagian tengah. Kesempatan ada tiga. Sesederhana itu, tapi ... aku mengacaukannya.
“Akan kutunjukkan buah latihanku selama ini, begini-begini penyihir gagal bisa jadi keren!” Tarik napas lalu menepuk pelan kedua pipi, aku pun sepenuhnya siap. “Ini dia...!”
Kuhentakkan kaki kanan ke depan, menguatkan pinggul dan mengeratkan jepitan dua jari pada pojokan kartu. Seperti teorinya aku pun mengarahkan sampul tepat ke tengah, kemudian segera merapal mantra.
Dan duar! Aku pun ‘meledak’ dan jadi bahan tertawaan para anak baru, termasuk kakak kelas yang ada. Yah ... meskipun entah bagaimana aku bisa lulus. Rupanya ledakan membuat lantai retak dan secara kebetulan serpihannya melesat mengenai target.
Yang beginian masih termasuk minimal? Aneh banget standar penilaian guru itu, lagian siapa pun barusnya tahu kalau cuma kebetulan!?
Memalukan, harusnya waktu itu pakai yang sudah kukuasai saja. Sikap sombong sepertinya sudah memberiku pelajaran berharga. Aku mungkin pintar, tapi ternyata bodoh?
Haha mungkin saja.
“Hei.”
Ada yang memanggilku? Selain itu energi ini terasa familiar ... masa dia? Tidak, tapikan aku tidak pernah tahu ke mana keluarganya pindah. Entahlah. Namun, jelas-jelas bau masalah baru.
“Akhirnya sadar juga, padahal dari tadi sudah kutunggu berbalik. Kurasa bertambah dewasa tidak menghilangkan perilaku tak bermartabatmu, rakyat jelata rendahan!”
Nah ‘kan muncul, masalah.
“Apa yang kau inginkan, Irving?”
Ya, Irving sama seperti dulu. Pengganggu dan anak bangsawan yang kelewat sombong. Dua orang itu masih saja berteman dengannya, si gendut dan siapalah itu.
“Ha? Kau pikir posisi kita sama karena satu sekolah? TIDAK! Penyihir rendahan, tetaplah rendahan! Aku sekalipun tidak pernah melupakan penghinaan itu, kau pikir bisa mendapat simpati setelah menyelamatkanku? Benar-benar lancang, RAKYAT JELATA!”
Apa yang dia katakan? Dia marah soal kejadian itu?
“Apa anak sialan?! Sejak dulu kau tak pernah berubah! Kau makin sombong dan berisik saja, sudahlah hentikan itu.” Kuhampiri dia untuk meminta jabat tangan, aku serius berniat baikan.
“Ini maksudnya apa?”
Tentu saja permintaan damai! Apa lagi?
“Jangan harap bisa bersalaman denganku, penyihir gagal!” Dengan kasar dia menampar tanganku, cukup keras sampai bisa didengar anak-anak sekitar.
“Benar, benar! Kau seratus tahun terlalu cepat untuk berjabatan tangan dengan Tuan Muda kami!”
“Bersihkan dulu tangan kotormu itu, hahahaha!”
“Hahaha!”
Berisik! Mau sampai kapan kalian terus menjadi penjilat? Dasar tak berpendirian.
“Baiklah jika itu maumu, aku tidak punya waktu bermain denganmu. Sampai nanti.”
“Mau ke mana, siapa bilang boleh pergi?”
“Hah? Kenapa aku harus mendengarkanmu? Terserah aku mau melakukan apa, bodoh!”
“Kubilang aku ini tidak memaafkanmu!” Dia meraih pundakku, dengan paksa memutar balik diriku. Menarik kerah baju dan menatapku dengan wajah murka sombong. “Bertarunglah denganku sekarang juga, akan kubuktikan siapa pecundang sebenarnya!”
“Omong kosong, aku lelah denganmu. Biarkan aku pergi!”
“Jangan kabur lho. Aku sudah repot-repot mendapat izin demi balas dendamku!”
“Izin?”
Apa ini? Kok tiba-tiba ramai? Kenapa mereka seperti sedang memberi jalan?
“Oi, bukannya itu Page Hour?”
“Eh beneran!”
“Untuk seukuran gadis dia tinggi juga, cantik lagi.”
“Apa yang dilakukan anak kelas tiga sepertinya di sini?”
“Jadi dia salah satu sepuluh akar jenius itu?”
Page Hour? Oh dia yang mendekat itu. Sepuluh akar apa?
“Anak itu benar. Kalian sudah mendapat izin dari Kepala Sekolah, akulah yang akan mengawasi pertarunganmu.”
Uwah apa-apaan kakak cantik ini? Dilihat dari dekat dia jauh lebih tinggi dariku.
Dia mengenakan pakaian bernuansa pustakawan, monocle pada mata kiri dan buku di himpitan lengan kanannya membuktikan asumsiku. Rambut ikat panjang abu-abu sangat cocok dengan mata ungunya.
“Begitulah katanya, dengan begini kau tidak bisa menolak!”
Bertarung ‘kah? Siapa takut! Saat yang tepat untuk mengetes sihir baruku. Apakah dengan Takedown—Sihir pemerkuat fisik yang katanya alternatif terbaik untuk si payah kartu—aku bisa mengalahkannya?
Apa pun itu, aku tak sabar menghajarnya hingga bonyok!
Aku pun tersenyum semangat, mendaratkan pukulan pada telapak kiri. “Baiklah, kenapa tidak? Ingin membuktikan siapa pecundang? Sepertinya kau perlu melihat dirimu lagi, dasar bodoh!”
To be Continued….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Linear Line
hmmm stylenya Light Novel ya Thor?
2021-02-19
0
*Ephixna Neesama* >>>[Cieciel]
(Ephixna-Sensei)!! : "Hajar Tim B!!"
2020-12-09
5
Whitesun R.
Irving layaknya menggambarkan Yin-yang, tetapi dominan hitam. Good untuk keberaniannya melawan si musuh di chap 1 meski hanya berdasarkan pride bangsawannya. Walau gitu, pride noble-nya bikin dia terdogma untuk melihat selain bangasawan sebagai orang yang menjijikkan sedari kecil. #PoorIrving.
Btw, Sihir Zale pasti OP! Zale auto-win karena udah mendalami sihir kartunya selama 10 tahun terakhir. Go Zale, Go Zale, Go!
2020-07-04
0