“Jadi, kita mau ke mana?”
Sebenarnya, tanpa bertanya pun tujuan sudah hampir di depan mata. Menurutnya. Ingatan Irving menayangkan jurang panjang dan sebuah perkemahan. Bukankah ini pemandangan yang familiar?
Kurang meyakinkan karena di sini terlalu gelap.
Setelah merasakan efek guncang memijak tanah, merinding punggung seolah memperingatkan agar tidak mundur tanpa berbalik. Dorongan udara yang terasa dari bawah juga penyebabnya.
Ini belum sepenuhnya malam. Jika aku memang di tempat itu, satu-satunya yang dapat terpikirkan adalah ... kota.
Yang diinginkan Irving sekarang bukanlah memperoleh penglihatan, tapi sebuah penanda. Tidak diragukan lagi ini adalah tempat pertemuannya dengan Spectre tempo lalu.
Kain pada salah satu dahan pohon waktu itu, sepertinya juga bagian dari ilusi.
“Untuk apa kau membawaku ke sarang penyakit seperti Pruis? Jangan pikir bisa membawaku begitu saja— Berhenti sekarang juga!” Padahal detik lalu seperti boneka mati yang hanya bisa mengiyakan, nyali dari ucapan ini memberinya kemampuan untuk berhenti.
Isca Adler justru terus melangkah. “Jika memang tahu, ngapain terus ikut?” katanya dengan nada mengesalkan.
Menggemeretakkan gigi, tanpa pikir panjang si bangsawan pirang angkat kaki.
“Benar, larilah!” Mengangkat pundak dengan remeh, ia lanjut, “Lakukan sepuasnya hingga ke ujung dunia! Palingan, kamu nggak peduli aku akan membeberkan rahasia busuk pamanmu pada dunia.” Isca berbalik demi melambai sambil tersenyum licik. “Katakan selamat tinggal—“
“....” Perlahan langkah diberhentikan. Disengaja atau tidak, sebuah tekanan baru saja menyertai kedua kakinya. Meskipun perkataan tadi belum terlalu jelas, Irving tidak mengira wajahnya akan terasa segelap ini. “Apa ... katamu tadi?”
Belum ada sedetik, Isca sudah tepat di belakang dan kini mendekatkan bibir ke kuping. “Aib Nigel vi Boreas itu....”
Terdengar suara tamparan keras. Bahkan Isca dibuat kaget.
“... Hentikan....”
Seusai meraba sekitar mulut, kepala Isca memiring. “Nggak kedengaran tuh.”
Paman Nigel memiliki ... aib?
Pertanyaan tenang itu berimbas sebuah ketegangan. Kedua lengan Irving gemetar hebat dan kepalannya seakan siap melesat kapan pun, tapi yang paling mencolok adalah ... ungkapan panik.
“Hentikan.”
Ha...?
“Ternyata masih cukup tenang, kamu.” Gadis pendek ini memungut sesuatu di tanah, bahkan kelihatan tidak keberatan melakukannya. “Makanya tetap diam dan ikut denganku ke Pruis! Di sana ada teman seperjuanganmu menunggu. ”
Perjalanan pun berlanjut, dimana perlawanan telah tiada. Sekali lagi.
****
Masih sore.
“Ini adalah tempat yang ditelantarkan kerajaan. Tiap luaran Horoki dan Myne dilapisi penghalang untuk mencegah tabrakan iklim, tapi badai pasir negeri gersang itu terlanjur meliputi Pruis. Jika jauh-jauh dariku nanti tersesat lho.”
“....”
Paman ... aib??
Sekitar dan masalahnya bukan menjadi perhatian Irving saat ini. Seolah otak menciut, pandangan menjadi sempit dan hanya memperlihatkan satu fokus pikiran. Bahkan tidak merasakan benturan pundak orang berjubah yang lewat.
Isca tahu keadaannya, tapi memilih membiarkan. “Heh, menyedihkan. Segitu takutnya ‘kah dirimu rahasia Nigel terbeber?” Dia berhenti sebentar demi melihat sebuah arah. “Kamu memang tahu sesuatu?” ungkapnya menyepelekan, bertujuan menjatuhkan.
Berisik...! Harusnya aku tahu paman tidak seperti itu— Namun, mengapa kekhawatiran sulit pergi dari hatiku?! Ada apa dengan....
Mereka sudah jalan sekitar dua jam. Dengan pemandangan yang sulit dikenali ini, tanpa disadari malam pun telah terjadi.
Isca nampak kesusahan. Tak lama kemudian ia menemukan tujuan, sebagai permulaan menggiring Irving yang masih ‘melamun’ dengan sentuhan di pundak.
Mereka belok menuju suatu ruang kecil, di antara dua bangunan samar. Di depan terlihat pemuda berkacamata menyandar tembok jalan buntu, wajahnya menyaksikan langit.
Kemungkinan dialah ‘rekan’ yang disinggung sebelumnya.
Karena merupakan korban, tentu dia tidak senang ketika pengontrolnya datang. Namun, ia terkejut melihat seseorang bersamanya. “Kau … sama sepertiku?”
Entah bagaimana itu berhasil memecah lamunan si pirang. Bersama mata sayu, tapi memiliki keingintahuan, memilih menyaksikan teman seperjuangannya. “Jika kubilang ya, kau mau apa?”
“T-tidak, tak ada….”
Isca Adler mendekatkan keduanya bagaikan sepasang boneka, merangkul pundak mereka dari belakang. Ia berhenti memegang setelah berekspresi sinis. “Berbahagialah. Mulai hari ini dia dan kamu adalah sesama kudaku, Enze Caedric.”
Sementara itu, di sebuah daratan lurus aneh yang menjadi penghubung Kerajaan Fyord dan Myne, terdapat sekumpulan orang berkuda dengan jubah. Beberapa wajah nampak dan sisanya tidak.
Masing-masing membawa obor.
“Ahhh … padahal di Myne sudah sangat panas, kenapa harus lewat sini!? UDAH MALAM LAGI! HEI! Aku mau rebahaaaan~! ‘Kan bisa naik kereta uap! Hei, hei Sara.”
“Ya ampun. Claris, kita ini ya ... menjalani permintaan yang hebat banget, KELAS S LHO! Padahal kemarin kau begitu ngotot untuk ikut— Malahan ini adalah ujian yang kuperlukan untuk menjadi petualang hebat!”
“Diam! Aku tidak mau mendengar itu dari orang berniat pamer pada temannya!”
Jangan ngaco. Pikiran ini datang dari wanita bernama Sara.
Kira-kira rombongan berjumlah enam orang. Satu agak jauh dari barisan, dua lainnya sibuk ngobrol. Sara berada tepat di depan dua anak yang bertengkar tadi.
Sebelum bicara dia menyedu rokok pipa yang antik. Kudanya dipandu dengan pecutan santai. “Apanya yang Kelas S— Benar-benar nggak pernah belajar ya … semenjak anak coklat berkacamata tampan itu pergi, kelakuan kalian makin tak terkontrol. Ini adalah terakhir kalinya aku mengikutsertakan kalian.”
Debat berhenti dan mereka pun sama-sama mendekatkan wajah ke Sara, bereaksi ‘heh??’ seperti anak kecil.
Menghentikan mereka, kuda milik pria yang menyendiri tadi mempercepat lajunya. Merentangkan tangan untuk mendorong ringan. “Sudah cukup, bocah-bocah nakal! Nona Sara sudah berbaik hati mengajak kalian menjalani permintaan Duke Provinsi Ideale yang agung, ingatlah nyawa kalian juga jadi taruhannya! Ngerti tidak sih?”
Pada akhirnya mau diam, meski saling membuang muka sambil menyilang tangan dan enggan mendekati satu sama lain.
“Terima kasih, Faust.” Wanita berambut pendek coklat dan perokok ini, menunjukkan senyum kecil rupa poker face-nya.
“Tidak~ Apa pun rela kulakukan demimu, Sara~!” Pria botak ini pipinya memerah, ia terlihat begitu gembira.
“Benda yang kita antar adalah sebuah Hollocaust, Duke Ohart menginginkan ini tiba ke rumahnya sebelum lusa. Pruis itu sarangnya orang mencurigakan. Jadi siapkan diri kalian dan jangan biarkan ‘pusaka keluarga’ klien disentuh oleh siapa pun!”
Hal serupa ternyata dipikirkan seseorang dari gang itu. Barusan Isca Adler menjelaskan ada benda yang ingin dicarinya.
“Kira-kira sebentar lagi gerombolan berkuda akan datang dari Selat Morrowind. Mereka berjumlah enam orang, salah satunya monster terkuat ke-5 di dunia sihir ini.”
“Ap— Jangan bilang itu serikat….” Enze, ‘rekan’ yang juga korban pengontrolan seperti Irving nampak ketakutan.
Melihat reaksi berlebihannya, Irving yang anehnya tenang-tenang saja mengatakan, “Serikat nomer satu, Cipher.”
Dari mana ketenangan itu berasal? Sikap dan ekspresi sangat berbeda dari beberapa waktu lalu, seolah ini adalah hasil dari mengetahui ada korban lain seperti dirinya. Begitu-begitu dia mengaku masih tidak lupa.
Pikirannya.
Aku hanya perlu kembali ke etik. Aku ada di sini, jadi hanya diriku yang bisa melindungi reputasi Boreas! Enze Caedric ini ... dia bisa digunakan. Namun, hal terpenting adalah wanita itu.
Cara Isca berpenampilan memang cukup unik, di mata anak yang mencintai pamannya ini mengganggap dia adalah pemilik darah biru. Pertanyaannya dari bangsawan mana?
Paling mudah yaitu menelaah sisi keluarga besarnya sendiri. Di tempat pertama, Boreas adalah bangsawan terkemuka di Fyord yang memiliki empat keluarga cabang. Dua di antaranya adalah Fortier dan Reissel.
Tidak mungkin mencurigai adiknya sendiri, alhasil dia memutuskan akan bertanya pada bibinya yang dari Fortier setelah bebas. Karena suatu firasat Irving yakin bisa lepas dalam waktu dekat.
Orang itu mengenal banyak wajah, setidaknya bisa memberiku sebuah gambaran. Yang perlu dipikirkan sekarang....
Perhatian memang perlu kembali ke sang manipulator, jika tidak dia bisa curiga.
“Benar, itu adalah tempat pengguna Aegis nomer satu dan suami seorang Archmagus negara bernaung. Barang bawaan merekalah yang harus kalian rebut. Apa … benda satu itu cukup unik, jadi mungkin akan ada penyergapan dari kelompok lain.”
“Jangan gila, kau menyuruh dua orang saja berurusan dengan mereka?!”
Isca terkekeh ringan, kemudian mengangkat kedua bahu. “Justru itulah mengapa kalian harus melakukannya sekarang. Kenapa tidak coba manfaatkan sebagai umpan? Pasti akan terambil tanpa seorang pun sadar.”
Hmm....
“Katakan padaku, memangnya mau apa kau dengan itu? Apa isi dan untungnya bagiku?” tanya Irving agak agresif.
“Untungnya bagimu? Hah, tentu saja tidak ada!” Isca mendekati Irving, mendorong-dorong keningnya dengan telunjuk, kemudian menjitak dan menyeringai. “Pion hanya perlu berlaku seperti pion.” Perkataan ini cukup menekan.
“Cih,” ungkap Irving sempat memegangi keningnya dikala memalingkan wajah.
“Aku membutuhkan itu untuk bertukar informasi dengan seseorang, aku tidak peduli apa akibatnya melepaskan benda kecil bodoh tersebut. Jadi, pastikan tidak tergores.”
Ucapannya tidak jelas sekali. Kenapa tidak gunakan saja metode penyiksaan seperti yang kau lakukan padaku tadi?
Tidak ada gunanya berkeliaran di malam hari dengan badai pasir, maka gang tempat berkumpul ini dijadikan perkemahan. Isca Adler menggunakan sihir pengontrol untuk membuat Irving dan Enze membuat lingkungan istirahat yang baik.
Selesai dalam 7 menit. Perapian dan tiga kain hangat saja yang bisa digunakan.
Sementara Isca meninggalkan mereka untuk menyendiri di atas atap, Enze sibuk mengeruk tanah seperti merobeknya dengan tangan kosong. Kayu perapian pun dilempar ke dalam dan dalam hitungan proses api berhasil tercipta.
Meskipun sebuah gang, langit-langit di sini sepanjang dan setinggi dua bangunan yang menghimpit. Satu-satunya akses hanyalah depan.
“Ah, kamu tidak perlu mengkhawatirkan soal badai pasir. Aku sudah menghalanginya dengan sihir.”
“Hmph.” Irving tidak terlihat menyukai ‘teman seperjuangannya’.
Menilai dari cara berpakaiannya, yakni kemeja pendek yang sedikit rusak dan celana coklat, di mata pejuang darah biru itu Enze hanyalah seorang rakyat jelata. Percuma dan tidak penting mencoba bicara.
Irving memang enggan bicara dengannya, tapi dia kepikiran menanyakan ini, “Wanita itu ... sebenarnya siapa?” Dengan nada menekan.
Tentu ini tidak datang secara tiba-tiba, Irving mengira Enze sudah cukup lama dengan Isca, melihat dari caranya merespon tadi.
Enze tidak tahu penyebab reaksi rekannya, alhasil sikap pesimis tercipta. “Aku tidak tahu. Sebelum ini terjadi aku hanyalah seorang pedagang di Kronin, tak punya keluarga dan rumah untuk pulang.”
“Kronin, maksudmu organisasi dagang di Ibukota Myne?”
Enze mengangguk-angguk, nampak senang sedikit.
Jadi penilaianku salah.
Irving berdehem dan memperbaiki posturnya, seolah ingin intropeksi diri. Dia pun mulai menatap mata Enze, juga berhenti terlihat seperti orang rasis.
Sebenarnya ini hasil belajar dari masa lalu.
“Lanjutkan.”
Enze memang bingung dengan sikap baru Irving, meski begitu dia tetap mengangguk. Kali ini ekspresinya lebih ringan. “Suatu hari, ketika aku sibuk mengangkut barang dari karavan, mendadak dunia dan sekitarnya seperti dihentikan waktunya. Di saat itulah wanita itu datang.”
....
“Kamu tahu apa yang dikatakannya, ketika menyebut alasan menjadikanku pion?”
“... Itu....”
“Mengapa harus begini? Karena kamu ini ‘titik keanehan’.” Irving masih ingat betul perkataan Isca pagi tadi, dia juga mengatakannya saat ini.
“Eh? Bukan tahu.”
Apa...?
Suatu atap, masih pada kota yang sama, ada seorang gadis duduk pada ujung depannya dengan kaki terlentang di atas ketinggian. Mengenakan rok coklat bergaris putih dan hitam, sweater agak ketat yang dirangkap jaket. Rambut pirang sepanjang bahu, dimana belakangnya dikepang pelintir.
Sambil mengawasi sebuah gang, perhatiannya tertuju pada dadu di genggaman jari dan jempol. “Baiklah, akan Miki lakukan.” Ternyata alat komunikasi. Dia menonaktifkan sambungan setelah menekan angka satu.
Miki menggenggam erat dadu dan menutup matanya. Namun, bukan kegelapanlah yang terlihat, tapi sebuah pemandangan bebas dari badai pasir pada suatu gang beratap. Dapat disaksikan bahwa ada dua pemuda. Satu berkacamata, satu lagi berambut pirang dengan pakaian mewah.
Keduanya terlihat seperti ada perbedaan pengetahuan.
Enze Caedric dan temannya senior, Irving von Reissel. Lalu....
Kini penglihatan Miki berubah, menunjukkan wanita pirang yang sendirian di atas atap gang tadi. Mengejutkan karena tak satu pun pasir berada di sekitarnya. Kesimpulan paling masuk akal adalah sihir, tapi ini diluar pemahaman.
Senior menginginkanku mengawasi gerak-gerik wanita bernama Isca Adler itu, tapi juga tidak mengabaikan temannya. Sesuai dugaan senior aku benar-benar menyebarkan beberapa dadu di sana. Apakah ... takkan ketahuan?
Kembali ke dua pemuda tadi. Enze mengaku bahwa justru karena hal lainlah dia diinginkan Void Galaxy, Irving merasa seperti orang bodoh setelah mengatakan soal ‘titik keanehan’.
Namun, ini bukan alasan untuk marah.
“Aku mengerti, sudah cukup.” Irving yang masih bingung, pindah posisi duduk menuju pojokan bersama kain hangat. Ia bungkus seluruh tubuh, kecuali kepala, jongkok dengan bokong di tanah dan merangkul lutut untuk dijadikan sandaran dagu. “Selamat malam.”
“S-Selamat malam....” Enze juga ikut membungkus diri, cuma tidak pergi dari hadapan api unggun.
Keheningan pun terjadi. Sudah berada di dunia sendiri, mungkin.
“Eh? Bukan tahu. Isca mengontrolku hanya karena sihirku. Aku ini ...penyihir ruang, segalanya dapat terbelah hanya dengan tangan ini. Kamu sudah lihat tadi ‘kan? Itulah Hades, substitute-ku.”
Irving menggenggam erat dada, kepalanya dibiarkan menyangga tembok. Sedang mata menyaksikan langit.
Titik keanehan. Jadi benar bahwa aku ditarget secara khusus. Justru mengapa baru melakukannya sekarang?
“Hah....”
Aku harus kabur.
Miki bukanlah satu-satunya pengamat di sini. Ada orang lain, jauh dari jarak terdekat pengawasan secara umum. Pria dewasa bertopeng dengan setelan aristokrat yang serasi. Dia meletakkan satu kaki di atas tumpuan dan tangan sebagai pemfokus arah pandangan.
“Ada tikus lain ... tapi abaikan saja.” Meski tidak bisa melihat langsung, orang ini tahu posisi Isca Adler berada tepat di arah pandangannya. “Jadi, siapa titik keanehannya?”
To be Continued….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
lo ga bahaya to
Donat nya bang, satunya 2000 rupiah
2021-06-23
1
lo ga bahaya to
saat pagi cerah seperti biasanya
canda ria tak ada resah
namun melihat benda ajaib melayang( gak ada:v)
Namun seketika....
Duar!!!!
2021-06-23
1
Ashidart
Hanger Man wkwkw
2020-12-10
0