Karavan mendadak direm, ditandai tukikan kuda yang cukup lantang. Wajah sang delman kelihatan pucat dan dia mengigil ketakutan. Berulang kali aksi mundur ke balakangnya terhalang tempat duduk sehingga kelamaan membeku di situ.
Jelas kami bertanya-tanya.
“Bapak saja yang memeriksa, menetaplah.” Pak Fredrick segera turun tanpa menunggu jawaban, kulihat dia memutar dan kini tengah berjalan di balik situ.
Nggak kelihatan ... ada siapa sih di depan?
“Ah, bandit.” Yuba duluan yang menyahut, meskipun aku dan Kurin juga sama-sama melihat. “Pak guru berencana membereskan mereka sendiri?” Aku setuju dengan keraguanmu.
“Tua bangka begitu,” ungkap Kurin.
Hei, ‘kan nggak perlu bilang sekeras itu! Meskipun pengajar dari sebuah akademi sihir, mau dilihat dari manapun— Takkan kubiarkan!
Aku dan lainnya turun bersama, cepat-cepat menuju depan kuda.
“Hmm? Orang tua, menambah bocah sekali pun tidak menjamin kemenanganmu— Oh! Gadis muda itu ... kayaknya lumayan jika kita jual di Lied. Paras dan tubuhmu— Tidak diragukan lagi kau akan jadi barang populer!”
Hah? Barang katamu, apa—
“Lied??” tanya Kurin dengan nada jijik, bercampur kesal.
“Itu nama pusat pelelangan budak di Kekaisaran Refft. Jika suatu hari kalian ada urusan ke negeri tersebut, usahakan untuk tidak ke wilayah pinggirannya. Sekali pun.” Pak guru merentangkan lengan kanan, menghalangi kami. “Sekarang, mundurlah.”
“Tapi Pak—“ Tadinya aku ingin lebih protes, setelah melihat itu aku....
Dia memegang pundakku, juga melihat dua anak lainnya. “Percayalah.” Entah kenapa ucapan Pak Fredrick barusan terdengar sangat meyakinkan.
Baik aku, Yuba, dan Kurin seolah kehilangan cara untuk mengelak. Kami mundur bersamaan dan melihat satu sama lain.
“Mari kita percaya.”
“Yuba....” Benar, ini bukan waktunya mencoba meremehkan orang lain. “Ya,” jawabku penuh keyakinan. Sengaja kubuat mataku ibarat menanam harapan.
Setelah melihat sikap itu, bagaimana tidak bisa percaya?
Kurin menyilangkan tangan. Ekspresinya memang sombong seperti biasa, tapi rasanya ada sedikit pengharapan dari mata itu. “Hmph, memang harus begitu. Kalau gitu aja nggak bisa, gelar pengajar akademi sihir cuma omong kosong!”
Meskipun begitu para bandit makin congkak, tawa mereka barusan menandainya. Masing-masing memiliki mata remeh dan siap menghajar setelah berpencar mengerumuni Pak Fredrick.
“Mumpung di sini, sekalian kuberikan contoh dasar-dasar sihir. Selama ini kalian belum pernah dites bukan?”
“Cih, sialan! Beraninya tua bangka ini meremehkan kita— Jangan salahkan aku kalau tiba-tiba punggungmu encok, hahahaha!” Klasik sekali si bos bandit.
Diikuti para anak buahnya. “Hahahaha.”
“Menyesal ‘lah karena sudah mempermainkan bos, ayo kita bunuh dan curi harta mereka!” sahut salah satu anak buah.
“HANCURKAN!” seru sang bos yang maju duluan.
Heh— Kroco-kroco ini mudah banget dihajar bagiku, jangan beri ampun Pak!
Pertama Pak guru mengambil beberapa langkah ke belakang. Menghindar sayatan demi sayatan senjata mereka dengan minim gerakan. Para bandit pun makin kesal.
“Dasar nomer satu, kondensasi. Aktifkan Mana.” Lalu ketika sebuah tombak mengarah wajah, secara halus Pak Fredrick membelokkannya hanya dengan jemari. “Dasar nomer dua, fondasi. Lapisi energi sihir pada tubuh, gunakan untuk melindungi diri sendiri.”
“Keparat!”
“Jangan besar kepala kau, tua bangka!”
Matanya dibuka sangat lebar ketika menoleh cepat, menggeser posisi kepala demi menghindari lesatan anak panah. Tak gentar menuju depan seolah tahu serangan hanya melewati dua sisinya.
Beliau memegang pundak dua orang, dijatuhkan seperti bukan apa-apa.
Ketika mundur dua langkah, anak panah yang selalu datang dari pohon sana terpantul perisai seseorang dan berakhir mengenai rekannya. Si korban membungkuk sembari menjatuhkan kapak.
Bahkan pemegang palu tak mengira Pak guru akan geser sedikit, alhasil ayunannya menghantam wajah sang bos.
H-Hebat. Lihat caranya bergerak! Tidak ada yang sia-sia, seperti ... beliau seolah menari dengan indah. Segala keputusan musuh diperlakukan bagai permainan bocah.
Yuba bersiul kagum, senyum sambil menyandar seekor kuda.
“He ... lumayan juga orang tua itu, pantas nggak segera pensiun.”
“Dasar tiga dan empat, kewaskitaan dan prekognisi. Rasakan energi benda seperti membaca sebuah buku, lalu prediksi langkah selanjutnya! Yang paling penting....” Pak guru meninggikan lengan sejajar pundak, menutup telapak seolah baru menangkap sesuatu. “Bayangkan bentuk sihir kalian!”
Pasir?!
Segerombolan pasir dari bawah tanah melilit kaki para bandit. Perlahan naik bagaikan tornado, menjatuhkan mereka seperti korban jaring laba-laba yang setengah badannya sudah terbungkus.
Termasuk cara mereka menggeliat.
“Itulah dasar kelima, proyeksi. Pertahankan dan ulangi semua hingga kalian mahir.” Pak Fredrick berjalan pergi, senyum sungkan sembari meraba kepala. “Haha— Orang tua ini masih belum kalah lho dari kalian anak muda! Baiklah, kita lanjut perjalanannya?”
Si delman yang sedari tadi menganga, geleng-geleng menggetar bibir, memungut tali lalu segera menaiki kemudi karavan. Disusul kami, para penumpang.
Itu wajar, siapa pun akan terkejut jika melihat orang setua itu masih sangat kuat.
Yuba mengintip melalui pojokan karavan. “Itu ... mau bapak apakan?” Dia menunjuk dengan ujung jempol.
“Mereka adalah kelompok bandit yang akhir-akhir ini mengganggu jalur bisnis ke Lemise. Kita bawa menuju markas pasukan lokal.”
“Ya!”
Tidak perlu ragu membiarkannya membawa mereka sendiri. Masing-masing dari kami bertiga sepakat akan itu, tanpa bilang apa pun. Hari ini aku—mungkin mereka juga—telah mempelajari hal baru.
Jadi ini kemampuan instruktur sebuah akademi sihir. Sudah tua masih tajam begini, apalagi ... sekarang aku tahu kalau tembok yang harus dilewati bukan hanya Kak Leyse maupun Dorado.
Dunia sungguh luas!
****
Yang tadi memang sedikit menyita waktu, sesuai ekspetasi kita tiba dalam empat jam. Si delman menurunkan kami di pinggir barisan para pendatang yang mengantri masuk.
Langsung pergi seusai dibayar.
Ketika giliran kami untuk diperiksa penjaga, datang pria paruh baya dengan palu di tangan dan paku pada lipatan telinga. Dia menyahut, “Langsung biarkan mereka masuk.”
“Pak Emmet!” seru dua penjaga bebarengan. “N-Namun, kita tidak bisa begitu saja—“ salah satunya mencoba menolak secara halus.
“Tuan ini adalah pengajar senior Akademi Sihir Eisenwald, saat muda dia dikenal sebagai ‘kalajengking’. Anak-anak muda itu adalah muridnya yang akan menjalani skors sekolah, sebagai tenaga tambahan kita untuk mempersiapkan festival satu minggu penuh. Apa penjelasan barusan sudah cukup, Tuan-tuan?”
Tanpa kata-kata lebih jauh, mereka memutar badan melihat satu sama lain, mundur dan menghentak sekali tombak untuk memberi jalan. Para bandit yang dibawa Pak Fredrick diserahkan.
“Festival?” tanyaku.
“Ya, mari kita lihat sambil jalan.”
Ooh! Ramai juga jalan sini!
Sepertinya bukan hanya aku yang kagum dengan suasana meriah dan terang tempat ini.
Kota yang bagus. Tempatnya lumayan bersih dan terasa sejuk. Selain itu, banyak hal jarang ada di Fyodor. Di mana-mana dipasangi semacam lampu pesta, bendera bergambar naga biru, juga ada barisan stan.
Senyum dan tawa para penduduk ketika mengobrol, keramahan pedagang stan, dan lautan manusia yang tiap gerak-geriknya selalu memancar antusiasme. Jadi ... teringat desa.
Ayah dan ibu masih sehat-sehat saja ‘kah?
“Meriah sekali bukan?” tanya paman Emmet.
“Ya. Kalau ternyata aku dihukum di tempat seseru ini, dengan senang hati akan kulakukan!” Bukan hanya kau Yuba, aku pun menyukai nuansa Lemise.
“Haha, terima kasih!”
Kurin ... dia biasa saja, apa suasana seperti ini belum sesuai selera bangsawanmu?
“Apa lihat-lihat, menjijikkan.” Tidak ada angin atau apa, mendadak begitu dan menyilang tangan sambil memalingkan wajah.
D-Dasar...! Nggak ada imut-imutnya.
“Setiap tahun, Lemise biasa mengadakan ritual penghormatan untuk naga yang menyelamatkan kota ketika masa pembangunan dulu. Jadilah sebuah festival! Festival Dewa Laut, dimana semua orang bersenang-senang dan berterima kasih kepada Gone seminggu penuh. Itu kesimpulan kami sebagai manusia.”
Gone. Pasti itu bagaimana sang naga disebut, namanya.
“Hoooh ... naga ‘kah. Bahkan di dunia penuh sihir ini, sesuatu seperti itu termasuk spektakuler.”
Tertarik ucapan Yuba, paman Emmet bertanya, “Pernah lihat satu?”
“Ehe, tentu saja tidak.” Yuba meletakkan jemari yang saling tersambung, menahan belakang kepalanya. “Suatu hari ... aku harap bisa menemukannya.” Aku mungkin akan jarang melihat ini. Menyaksikan si mesum dengan senyum damai, seolah memandang sesuatu yang jauh di langit.
“Pasti bisa.”
Setelah tertawa Yuba bilang, “Terima kasih, paman.”
Hari makin gelap, maksudku langit. Lama-kelamaan nuansa ramai sekitar seolah memudar termakan jarak— Kurasa ini daerah yang dijadikan tempat santai para pekerja festival.
Penginapannya di mana?
Lokasi ini dipenuhi alat-alat konstruksi. Selalu ada dua pekerja lewat sambil membopong bersama kayu panjang, ada yang saling diskusi, dan sebelah sana seorang pemuda memberi perintah beberapa orang.
“Anu, penginapannya di mana? Sekarang sudah malam. Setelah perjalanan jauh yang cukup lama, siswaku pasti kelelahan. Apa bisa kita mulai besok?”
“Ah, baiklah. Aku memang berencana merekomendasikan satu.” Paman berhenti, lalu berbalik menghadap kami. “Sepertinya aku belum memperkenalkan diri. Aku Emmet, kepala pembangunan kota ini. Senang bertemu dengan kalian.”
Kepala Pembangunan. Jadi dia semacam orang yang paling bertanggung jawab soal mengotak-atik isi kota. Dia sepertinya cukup stres, lihatlah botak itu. Membangun kota bukan perkara mudah.
Pemuda yang kelihatan memerintah orang tadi, datang menghampiri paman.
“Oh, Mason! Bagaimana gapuranya?”
“Cukup lancar! Hanya ... kita kekurangan pasokan paku. Dengan masih adanya kelompok bandit itu, rasanya lama-lama kebutuhan bahan kota kita akan—“
“Bicara soal bandit, bukankah yang Pak Fredrick tangkap tadi adalah maksud kakak ini? Bahkan sudah kita serahkan ke prajurit kerajaan.” Kuberitahu sekarang daripada pembicaraan menyedihkan soal ekonomi menghantui kupingku.
Entah kenapa aku tidak bisa berhenti melihat Kurin. Mungkin karena teringat hutang, hahaha.
“Eh, serius— J-Jadi yang kalian serahkan tadi mereka toh?! Bilang dari awal dong! Mason, pesan pakunya sekarang juga!” Paman terdengar sangat senang.
Termasuk kakak ini. “Y-Ya!” Seperti tak kuasa menahan kesenangan, dia langsung lari dan menyerukan berbagai hal pada anak buahnya. “Mantap, mari kita meriahkan festivalnya dan makan ikan itu lagi!”
“OOOH!!”
“Kami benar-benar berterima kasih! Ini justru makin membuatku ingin menjamu kalian.”
“Sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk membantu satu sama lain, tidak perlu sampai seperti itu,” ungkap Pak Fredrick secara sungkan.
Syukurlah.
Soal gapura yang mereka bicarakan, mungkin maksudnya satu ini di sebelah? Apa tulisannya ... T-Tuli— Penginapan Bunga Tulip!
“Ah, ini penginapan yang kurekomendasikan. Milik pemuda bernama Mason tadi. Karena kalian adalah rekan berharga untuk kami dan sebagai terima kasih sudah meringkus mereka, biayanya tidak perlu dipikirkan.”
Ooh, itu bagus.
“Ngomong-ngomong, paman. Kenapa di belakang ada banyak prajurit kerajaan? Di situ pusat kota bukan, apa sesuatu dijaga di sana?”
“Nak Yuba, ya ‘kan? Itu benar. Di sana mereka menjaga pusaka yang melindungi kota dari anomali dunia luar, menstabilkan biota Laut Miseria, dan pencegah adanya perubahan mendadak. Ehm bagaimana menyebutnya ... Hol— Holo—“
“Hollocaust. Itu adalah artifak legendaris hasil dekristalisasi sesuatu dari zaman kuno, konon bisa memengaruhi tatanan dunia tergantung siapa pemegangnya. Hollocaust Lemise berisi iblis yang disegel Dewa Laut ini.” Dari Pak Fredrick.
“I-Iblis— Hal seberbahaya itu ... kok malah dibiarkan berada di tempat seterbuka ini?!” Bagaimana tidak, yang kayak gitu pasti diincar banyak orang jahat lho. Contohnya Spectre.
Iblis. Mereka ... sesuatu yang datang dari balik dunia ini bukan? Dunia kebalikan Magius, Reversi. Jika di sini penuh energi positif dari alam, jadi sebelah....
Sulit membayangkan bagaimana kehidupan di sana.
“Bukannya tidak ingin, tapi sama sekali tidak bisa kami pindahkan. Itu terus di sana setahun, puluhan tahun, seabad, selamanya. Sayang sekali kekuatan manusia saja tak cukup untuk menyembunyikannya. Makanya prajurit kerajaan memutuskan cara seperti ini.”
Paman....
Seolah ingin menghilangkan kecanggungan, paman itu bertepuk tangan cukup keras. “S-Sudahlah. Hal begituan tidak perlu dipikirkan lagi, aku yakin mereka takkan membiarkan keburukan terjadi! Semisal ada apa-apa, tinggal bicarakan dengan kapten muda mereka. Ayo mari masuk penginapannya!”
Kapten muda ... pasti pria berambut merah dengan kacamata itu. Zirah dan cara berpakaiannya berbeda dari para ksatria lainnya. Kurasa dia hanya sebatas komando hukum kota ini.
Baiklah kalau begitu.
Padahal aku baru saja berniat menaruh tas ini di bawah agar bisa duduk sejenak— Gadis rambut merah dengan kepang duanya menghalangi jalanku. Yuba sebenarnya melihat, tapi dia kok malah lanjut masuk aja.
Mau apa dia? Kuharap tidak membicarakan soal hutang....
“Ada yang ingin kubicarakan.” Serius sekali raut itu.
Karena terlihat penting, makanya aku mau saja ikut ke dalam gang.
“Kamu teman kepala biru yang memanggil dirinya Yuba ‘kan? Sesuatu menggangguku.”
Seriusan, ada apa sih?
“Kenapa tentang si mesum?” Kutelan ludah pelan-pelan, rasanya sulit memprediksi ke mana perginya arah pembicaraan. Kurin benar-benar aneh hari ini. “Oi, kau terkena apa sih?”
“Seriuslah!”
K-Kurin....
“Dia ... sebenarnya siapa?”
To be Continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Ashidart
Hmm...
2020-12-06
0
Manusia hidup
kapan mau setrong nya
kalo lama lama bisa setres tidak tertolong duluan nih
2020-10-23
0
Septiano Personnes Estimata
L-lima menit!? Hmmm... i didn't how da ship work.
2020-06-19
0