“Menghancurkan properti dan menyebabkan keresahan. Beruntungnya mereka cukup berbaik hati membiarkan sekolah menentukan sanksi. Dasar, apa yang kalian pikirkan?”
Sehari semenjak pertarungan di Vila Irving. Kudengar setelah aku pingsan, tempat itu diserbu pasukan kerajaan. Mereka menangkap para pelayan, meski sayang Leto dan teman-temannya kabur.
Harusnya kami tidak salah apa-apa.
Mengingat Irving yang membuatku pingsan, semua orang terkena dakwaan perusakan properti dan pertengkaran. Menjadi latar belakang bagaimana kami bisa berakhir di kantor kepsek sekarang.
“Tapi ... Bu Wakil Kepala Sekolah! Aku, Yuba, bahkan dia tidak salah!” Setelah berhenti menunjuk Kurin, kulanjut, “Yang salah si brengsek itu!” keluhku memukul meja.
“Benar, benar. Kemarin juga sok heroik,” singgung Kurin dengan nada datar.
Heroik...??
Wakil Kepala Sekolah, Fusha Wellington. Semenjak masuk sekolah ini, dialah yang selalu menggantikan kepsek sebagai pusat komando. Sudah bertahun-tahun bapak tua itu tidak terlihat.
Bu Fusha menyangga dagu dengan dekapan jemari. “Sopan santunnya mana? Selama ini sengaja kuberi sedikit toleransi, sekarang kalian cukup kelewatan!” Dia mengambil sesuatu dari laci meja. “Ingat ini?”
Uwah, dia benar-benar marah. Kotak itu, bukankah yang pernah digunakannya untuk memberi segel identitas?
Aku dan yang lain menganggukkan kepala.
“Yuba Octavius Greissman, sebaiknya kamu jangan lupa! Banyak siswi melaporkan perkara pengintipan, pelecehan seksual, ungkapan dan perilaku tak pantas untukmu. Jika di masyarakat mungkin dirimu sudah lama menyesal di penjara, tapi ini adalah sekolah. Sekolah ada untuk membina siswa menjadi lebih baik!
Kurin Ashbell. Tahun pertama hingga ketiga, bahkan pihak guru dan staf sering mengeluhkan perilaku tidak menghargaimu. Tak bisakah menjaga bagaimana dirimu bersikap dan bertindak, bukankah kamu bangsawan? Jangan besar kepala!
Lagi-lagi kamu dalangnya, Irving von Reissel! Tidak terhitung jumlahnya siswa kalangan rakyat jelata yang putus sekolah dan kesulitan menjalani kehidupan belajar. Sikap apa itu?”
Irving memasukkan tangan ke kantung celana, memalingkan wajah dengan sombong. Namun, itu tak berlangsung lama. Berkat bantuan sesuatu tak terlihat si brengsek seketika tertarik menuju Bu Fusha.
Mungkin penampilan ala sekretaris dan poni rambut cerah menutup semata bisa menipu, tapi sihir takkan berbohong. Milikmu mengaku sendiri ingin menekan kami agar takut.
Mata itu buktinya.
“Enak sekali ya bisa egois tanpa ditegur seorang pun di rumah.” Kini baik wajah Irving maupun milik Bu Fusha saling bertemu, aura intimidasi makin memburuk. “Bukan berarti kamu bebas menindas orang lain tanpa ampun, bagian mananya bangsawan? Di mataku kamu bukan orang terhormat.
Sedikit masalah lagi sudah dipastikan dirimu pergi dari sekolah ini, poinmu kini 500. 1000 adalah batas maksimal bagi akademi untuk mengeluarkan seorang siswa.” Bu Fusha melepaskan Irving yang tak henti batuk dan sesak.
M-Menakutkan! Apa-apaan wanita ini? Barusan mengancam lho. Kurasa dia sudah lama memendamnya—Tidak heran.
Kini mereka—termasuk aku sendiri—diam seribu bahasa. Seolah tengah merenung.
Mungkin menyadari itu, Bu Fusha berhenti memberi rasa takut. Ditandai sebuah helaan napas. “Untuk kamu, Zale Llyod. Dirimu hanya baru tiga kali melanggar aturan. Kamunya saja tidak pernah menimbulkan masalah sendiri, kamu selalu terlibat perkara yang dibuat tiga temanmu itu. Selebihnya baca sendiri surat laporan ini.”
Surat laporan, berarti rincian segala keburukan seorang siswa selama di sekolah. Aku tidak tahu seperti apa milik mereka—Sesuai kata wakasek di sini hanya tercantum tiga masalah. Poinku 100.
Menyudahi membaca selembar kertas ini, kutinggikan wajah untuk melihatnya. “Oh ya, Bu. Ada apa dengan stempel segelnya?” tanyaku sopan, dari tadi penasaran.
“Ah— Aku harap kalian tidak lupa, dengan mendapat segel identitas Kepala Sekolah bisa mengetahui apa yang kalian lakukan kapan pun beliau mau.”
“Kalau begitu!” seru Kurin yang nampaknya paham duluan.
Benar juga, benapa aku sampai melupakannya? Tindakan kami sangatlah bodoh.
Bu Fusha mengangguk. “Aku tahu itu. Makanya kalian bertiga akan diskors selama satu minggu. Lakukan pelayanan publik di Kota Pelabuhan, Lemise bersama Pak Fredrick sebagai pengawas. Mengerti?”
“Ya!!” jawab kami bertiga, Irving tidak termasuk di sini.
Karena dia biang keroknya, masa hukumannya tidak diragukan lagi akan lebih lama. Heh rasakan itu. Lain kali kita bertemu— Tidak, lupakan saja. Aku tidak peduli kau mau jadi apa.
Bukan urusanku. Kuharap jangan sampai mengusikku lagi.
Bu Fusha mengambil empat kertas dari laci, memberi tiga darinya stempel. “Lalu Irving von Reissel, kamu skors dua minggu. Tulis surat permintaan maaf sebanyak 20 lembar, jangan lupa rutin mengunjungi ruang konseling dan lakukan hukuman yang diberikan Pak Timaeus. Mengerti?”
“Hmph.” Masih saja begitu, si sialan ini.
Anehnya Bu Wakasek tidak marah seperti sebelumnya. Tenang memberi stempel untuk kertas terakhir, dia sempat menggelengkan kepala sih. Setelah itu menyuruh kami keluar dan memulai masa skors.
Di luar Pak Fredrick dan Pak Timaeus ternyata sudah menunggu. Irving langsung dibawa pergi tanpa berkata banyak, sejenak membuat suasana hening dan canggung.
“Jadi … gimana Pak?” tanya Yuba secara bebas, tapi sopan.
“Saya menyesal telah melakukannya, maafkan saya Pak.”
Pundakku dipegang, menunjukkan senyum penuh kedamaian orang tua. “Harusnya katakan itu pada Bu Fusha—Beginilah masa muda. Bapak jadi teringat kakakmu dulu. Pertama kali Leyse diskors tanggung jawab pengawasannya diberikan kepadaku. Rasanya sudah seperti takdir.”
Lagi-lagi kakakku. Bapak ini benar-benar suka sekali bernostalgia ya….
Tapi tunggu. “K-Kak Leyse pernah diskors?!”
Sudah kuduga. Mendengar itu Kurin langsung muncul entah dari mana, mengepal kedua tangan pada hadapan dada dan memohon girang. “Tolong beritahu aku, Pak!”
“Hahaha~ Mari kita bicarakan di karavan.”
****
Kota Pelabuhan, Lemise. Tempat ini terkenal akan kekayaan biota laut dan ekspor produksi lokalnya. Setiap hari selalu ada barang yang dikirim. Di sekitar juga biasa dikerumuni pemancing.
Itu yang kudengar.
Dengan karavan yang disewa Pak Fredrick dari kota sebelah, kira-kira butuh delapan jam untuk ke Lemise. Sekarang jam delapan lebih beberapa menit. Kami bisa saja menggunakan jasa Teleporter— Namun, terlalu mahal.
Kereta uap pun hanya ada pada kota-kota besar di balik gunung sebelah sana.
“Lebih penting lagi, katanya Anda janji cerita tentang Leyse Llyod sekarang juga!” pintanya tak kuasa menahan sabar, matanya berbinar-binar.
Katanya punya sikap buruk, hari ini kok sopan sekali. Saking kagumnya dia jadi lupa identitas.
“Oh ya, aku pernah janji sebelumnya.”
Kakak ‘kah...? Aku juga ingin tahu kisahnya saat skors.
Kata ayah, Kak Leyse tidak beda jauh denganku. Hobi mengomel, ngeluh, komentari siapa pun. Kami benar-benar adik-kakak. Mungkin bedanya ... cara berpikir dan bakat.
Aku tidak tahu berbakat di sihir mana.
“Kalian pasti tidak menyangka, guru sejarah baru sementara kalian– Pak Sieger dulu teman sekelasnya Leyse lho.”
Eh?? Beneran? Orang aneh menginspirasi itu … temannya kakak?! Tidak heran selalu datang untuk minta maaf. Aku tahu dia tidak salah, pasti Dorado merasa terbebani dan berpikir merupakan tanggung jawabnya.
Aku masih belum ... memahami seperti apa memiliki teman itu.
“Uwooohh, hebat Zale! Tapi bukankah itu berarti mereka seusia? Dorado sudah kelihatan om-om begitu. Nggak bisa dipercaya.”
Yah … sudah sembilan tahun Kak Leyse hilang, kalau tidak salah umurnya saat itu 19. Secara teknis dia sekarang 28?!
Lihat betapa antusiasnya si Kurin, serius dan angguk-angguk beberapa kali ketika mengepalkan jemari.
“Bagaimana mengatakannya ... dulu Leyse agak penyendiri. Sering sekali dipanggil ‘Putri Es Berduri’, dibandingkan kamu–Zale, anak itu sangat tidak ramah dan selalu meneriakkan hal yang sama. Mungkin dia benci dibekukan kartu sihirnya sendiri.”
Begitu ... ternyata sama.
“Hal yang sama?” tanya Kurin melebarkan mata, memiringkan kepala.
Burung camar berbunyian dan kemudian terbang, dihiasi kibasan angin yang rasanya bertabrakan ketika menerka kulit. Dunia seperti memberi bumbu tambahan untuk cerita Pak Fredrick.
Pandangannya pada langit begitu damai dan penuh nostalgia. “’Hmph lihat aja, kubuktikan kalau aku bukan duri sembarangan. Menguasai kartu merepotkan ini dan ... badai salju akan terjadi! Seperti Tuan Ulysses.’, ahahaha. Bapak anehnya masih ingat betul.”
Ulysses? Kakak tidak pernah cerita soal dia, dari deskripsi yang diberikan Pak Fredrick, idolanya? Tadinya aku mau tanya Yuba, tapi langsung bergeleng seolah tahu niatanku.
“Hah, masa nggak tahu siapa beliau? Maklum aja buat pesuruh– Tapi....” Dengan muka datar, berkesan kesal, Kurin mengarahkan telunjuk di hadapan sahabat biruku. “Bukankah kamu ini bangsawan?”
“Yang bener ‘mantan’, aku sekarang nggak ikutin perkembangan bangsawan lagi.” Dia garuk-garuk kepala sembari meringis.
Si gadis egois menyilangkan lengan, memalingkan pandangan dikala cemberut. “Dasar, setidaknya tahu dikit ‘lah. Sepertinya aku nggak punya pilihan lain– Inget ya bukannya aku bersikeras, i-ini cuma– Benar! Kuberitahu biar kalian makin hormat pada Nona Leyse!”
Ya, ya penggemar garis keras.
Ulysses Nel Duval, menurut Kurin dia adalah penyihir kartu terkuat. Berasal dari keluarga Duke yang menduduki Kota Horizon, Kekaisaran Heisse. Ditakuti karena kemampuan pengaktifan secepat cahaya sekaligus selalu tepat sasaran. Sifat kartunya juga unik.
Dia dijuluki ‘Pertapa Elang’.
Siapa sih? Aku beneran nggak kenal. Sama sekali tidak ada informasi apa pun soal dia, entah di buku maupun koran. Fakta adalah fakta. Kak Leyse jelas mengagumi orang ini. Berarti ... belajar darinya sama saja menemukan peluang untuk memahami kuis dari kakak?!
Akan kupikirkan nanti.
Pak Fredrick melanjutkan cerita. “Suatu hari salah satu temannya yang punya sikap cukup kasar, Tanya membuat masalah dengan tahun ketiga. Gadis itu sengaja melibatkan Leyse hanya demi alasan penambahan kekuatan tempur dan pembuktian harga diri. Pada akhirnya kedua belah pihak bertarung habis-habisan di atap sekolah.”
Uwah, aku bisa mengerti. Pasti kakak kerepotan saat itu. Rasanya kasihan.
“Dan mereka pun berakhir diskors. Benar ‘kan, Pak?” tambah Yuba.
Pak Fredrick menganggukkan kepalanya.
Kakak pasti masih hidup di suatu tempat, aku yakin itu. Kak Leyse adalah penyihir terhebat! Tidak mungkin dikalahkan hal bodoh dan hilang tanpa sebab. Kira-kira apa yang dilakukannya sekarang ya?
Pak Fredrick melihat jam tangan, kemudian sedikit menaikkan posisi kacamata bundarnya. “Kotanya sudah kelihatan.”
“Ohh!” Yuba terdengar sangat antusias, bahkan tanpa malu menggunakan pundakku untuk bisa melihat.
Kurin tidak bereaksi apa-apa. Hanya diam dan menyilang tangan ketika memperhatikan si mesum itu dengan serius. Ada apa dengannya?
Seriusan? Aku tidak menyadarinya, ini masih siang dan kita belum benar-benar sampai. Kemegahan Lemise dapat kusaksikan dari dataran tinggi yang sekarang dilalui karavan.
Hmm, apa itu yang di depan....
To be Continued….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Septiano Personnes Estimata
Sebenarnya w agak bingung sama sistem menggunakan kekuatan 50 persen itu.
Apa karena Magicnya Si MC itu terlalu Over, dia jadi nggak bisa ngeluarin semua kekuatannya atau apa?
Mengingat kejadian saat pertarungan dengan Irving, dia kan bisa ngeluarin lebih banyak dulu. Apa kalau digunain terus akan berefek permanen pada tubuhnya?
Mungkin w cuma nggak paham meskipun dah baca sampai sini. Atau ada yang w skip, ya?
2020-06-19
0