Hampir saja pemuda itu menabrak punggung belakang gadis itu. Jika saja kuda-kuda kakinya tidak bergerak cepat untuk berhenti mendadak. Davina merasakan kehadiran Kaiden. Tubuhnya berbalik menghadap Kaiden. Sang suami terlihat sudah sangat rapi dengan jas kerjanya. Rambut klimis.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Kaiden dengan nada tidak mengerti.
Davina terlihat mengulas senyum bodoh."Aku menunggumu. Kita berangkat ke kantor berdua," jawab Devina dengan senyum lebar.
"Kenapa harus berangkat denganku?"
"Bukankah kamu sedari awal sudah berjanji padaku?"
"Janji?" ulang Kaiden dengan dahi mengerut dalam.
Janji apa yang sudah ia buat dengan gadis di depannya ini? Kaiden tidak merasa ada janji diantara mereka berdua. Melihat ekspresi tidak mengerti dari Kaiden membuat Davina hanya mampu menghela nafas kasar.
"Bukankah kemarin kita sudah sepakat? Kamu akan memberikan aku waktu untuk bersamamu. Memberikan aku waktu," jelas Devina dengan lembut.
Kaiden tidak langsung menyahut. Dahinya berlipat dalam. Seolah-olah tengah mengingat. Apakah ia sudah menjanjikan hal itu? Hingga ingatan kemarin kembali terlintas.
"Terserah, kau saja!" gumam Kaiden.
Sebelum pemuda itu terlihat melangkah pergi meninggalkan Devina di depan pintu kamarnya. Devina terlihat mengulas senyum lebar. Mengikuti langkah kaki Kaiden dari belakang. Terasa begitu menyenangkan bisa mengikuti Kaiden. Menuruni satu persatu anak tangga. Devina sangat senang. Karena ini adalah awal mula ia dan Kaiden akan dekat.
"Eh! Mau ke mana?" Devina dengan cepat mencekal pergelangan tangan Kaiden.
Membuat pemuda itu mau tak mau berhenti melangkah. Atensinya jauh ke arah tangan yang dicekal oleh Devina.
"Kau pikir aku mau ke mana lagi! Jika bukan ke kantor? Huh!" sebal Kaiden.
"Sarapan pagi dulu!" kata Devina,"ayolah, kita sarapan pagi dulu. Aku akan berkerja dua kali lipat di kantor. Menjadi sekretarismu. Dan juga bekerja mendesain pakaian, loh!"
Sebelah alis mata Kaiden terlihat tertarik tinggi ke atas."Lalu apa masalahnya dengan aku? Kau bisa sarapan lebih awal."
Devina mengeleng kecil."Tidak enak makan sendiri. Meja makanya saja sangat luas. Ada banyak kursi-kursi di sana. Tapi masa hanya aku yang duduk sendiri makan. Siang dan malam. Rasanya tidak enak. Tidak bisakah kamu makan menemaniku?" pinta Devina dengan nada mengiba.
Kaiden terlihat berdecak kecil mendengar permintaan Devina. Kenapa gadis ini jadi banyak maunya. Bahkan sampai menyentuh tubuhnya sembarangan seperti saat ini.
"Ayolah!" pinta Devina sekali lagi.
Ekspresi wajah cantik itu tampak sedikit memaksa. Kaiden menghela nafas kecil.
"Lepaskan tanganku. Aku akan menemanimu sarapan pagi," ucap Kaiden mengalah.
Devina bersorak kecil. Seperti anak kecil yang begitu bahagia. Tangan Devina yang melingkar di pergelangan tangan Kaiden langsung dilepaskan. Gadis cantik itu terlihat berjalan bersisian dengan Kaiden.
Sebelum di bibirnya tampak diulas. Seakan tidak pegal untuk tetap mengulas senyum. Para pembantu sedikit terkejut mendapati sang tuan juga ikut ke meja makan. Tidak seperti biasanya. Kaiden sangat jarang sarapan pagi. Bahkan malam pun juga jarang. Sang majikan hanya akan makan malam beberapa kali. Bisa dihitung jari berapa kali Kaiden makan di meja makan.
Itu pun terjadi jika ada keluarga besar Louis yang berkunjung. Atau mungkin ada keluarga dari pihak ibu dari nyonya muda mereka. Sedangkan sekarang? Tidak ada dua hal yang menjadi alasan kenapa Kaiden duduk di meja makan. Meskipun begitu, mereka senang melihat pemandangan itu. Setidaknya sang tuan, bisa makan bersama sang nyonya muda.
"Biar Mbok aja yang bawa itu, Nyonya!" ucap wanita tua itu panik.
Devina mengeleng kecil. Ia membawa nasi goreng yang masih panas. Meletakkannnya di atas meja tepat di depan Kaiden. Dahi Kaiden terlihat berlipat dalam. Mendapati nasi goreng di depannya.
"Aku tidak makan," tolak Kaiden dengan nada berat.
Kepala Devina mengeleng cepat."Aku membuatkan nasi goreng ayam suwir tanpa bawah goreng kok. Jadi, nggak akan ada rasa pahit yang kamu nggak suka," ucap Devina menjelaskan.
"Kamu masak nasi gorengnya?" tanya Kaiden dengan ekspresi tidak percaya.
Devina mengangguk antusias."Ya, dong. Begini-begini aku ini adalah perempuan yang mandiri. Bisa masak, meskipun nggak semua masakan aku bisa masak. Tapi setidaknya beberapa masakan bisa aku masak," jelas Devina dengan sedikit membanggakan diri.
Bolehlah. Setidak ia mau memperlihatkan jika ia juga perempuan yang bisa masak. Bukan hanya wanita karir saja. Ia bahkan mencatat apa yang Kaiden suka. Apa yang sang suami tidak suka. Masakan seperti apa yang menjadi favorit Kaiden. Apa yang tidak sang suami sukai. Saking sukanya pada Kaiden.
"Kau yakin?"
"Tentu saja. Makanya cepat cobalah!" desak Devina.
Kaiden terlihat menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Lidahnya dapat merasakan jika cita rasa nasi goreng yang kini berada di dalam mulutnya. Seperti masakan nasi goreng buatan sang ibu tercinta. Tidak ada rasa pahit dari bawang yang digoreng.
Devina terlihat memperhatikan setiap pahatan ekspresi yang tercetak di wajah sang suami. Dengan harap-harap cemas. Bibir bawahnya digit pelan. Dan hatinya yang sedang berdoa semoga sang suami menyukai nasi goreng yang dia buat.
"Ba—bagaimana?" tanya Devina tergagap.
"Hem ... tidak buruk!" sahut Kaiden dengan ekspresi sangat datar.
"Ah, tidak buruk?" ulang Devina dengan nada kecewa.
"Ya," sahut Kaiden pelan.
Bibir yang tadinya asik dengan senyum yang tidak kunjung sirna. Kini malah terlihat sulit tersenyum.
...***...
Suara keyboard dihantam jari-jari panjang lentik milik Devina terdengar nyaring. Gadis itu terlihat begitu konsentrasi dalam melakukan pekerjaannya. Kedua matanya dibingkai oleh kaca mata anti radiasi. Kaiden yang terlihat merenggangkan tubuhnya di meja CEO.
Ia mengalihkan pandangannya ke arah Devina. Yang mana mejanya yang di luar dipindah ke dalam ruangan. Membuat mereka satu ruangan. Katanya agar mereka lebih mudah dalam berkomunikasi. Padahal, Kaiden tahu niat apa yang ada di baliknya. Kedua orang tuanya benar-benar terlalu banyak ikut campur dalam urusan rumah tangganya.
"Dia terlihat lucu juga saat serius dengan pekerjaannya," gumam Kaiden dengan nada rendah.
Devina memang perempuan yang jika sudah memutuskan untuk bekerja. Maka ia akan begitu serius. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ia punya. Merasa ditatap. Pergerakan Devina di atas keyboard berhenti mendadak. Devina melirik ke arah si penatap.
Kaiden langsung buang muka saat ketahuan menatap lama ke arah Devina. Devina mengerutkan dahinya. Apakah tadi benar jika Kaiden menatapnya? Atau hanya perasaannya saja?
"Ka—eh, Pak Presdir! Apakah Bapak mau saya buatkan kopi hitam tanpa gula?" seru Devina bertanya dengan meralat panggilannya.
Pemuda ini meminta ia untuk sopan. Ingat tempat. Saat ini sedang di kantor. Jadi harus berbicara dengan nada formal.
"Hem! Ya, bikin satu!" sahut Kaiden.
Berpura-pura fokus pada layar komputer. Devina menanggalkan kaca mata yang membingkai hidung bangirnya. Ia melangkah keluar ruangan. Kaiden menghela nafas kasar.
"Ada apa dengan aku?" gumamnya pelan.
Bersambung....
Mohon jaga tekanan darah kakak-kakak 🤣🤣🤣jangan sampai naik darah cuma karena baca cerita satu ini.😋 Kaiden si egois, Devina si bucin nggak pakai otak, sedang si Arumi si gila yang suka hubungan yang menantang. Jadi, suka bikin naik darah🥴
Terakhir, jangan lupa simpan cerita ini di perpustakaan, like, dan komentar ❤️🥰 Love you Kakak-kakak 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
v_cupid
.
2023-08-30
0
v_cupid
cuzz
2023-08-29
0
mamah lia nia
semoga devina cepet sadar..... 😅😅
2022-01-16
0