"Bagaimana kondisi kamu di sana sayangku?" tanya wanita paruh bayar di layar komputer.
Devina menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Hanya untuk terlihat baik-baik saja di depan sang ibunda tercinta. Di samping sang ibu. Ada ayah tercinta yang selalu saja mendampingi sang ibu.
"Baik, Mah!" sahut Devina ceria,"seperti biasanya. Selalu baik, dong. Papa dan Mama di sana bagaimana kabarnya? Apakah tidak ada niatan ke Jakarta? Devina rindu!" lanjut Devina dengan intonasi manja andalannya.
Kedua orang tua Devina tekikik geli melihat ekspresi dan nada manja sang putri tercinta.
"Hei! Indonesia dan Singapura itu dekat sayang. Kapan-kapan harusnya kamu yang main ke sini. Ajak Kaiden ke Singapura. Biar Kaiden tahu rumah yang kini Papa dan Mama tempati!" balas ayah Devina dengan nada hangat.
Pria paruh baya yang masih terlihat sangat tampan. Ayahnya bekerja sebagai diplomat Indonesia yang kini bertugas di Singapura. Hanya dua tahun lagi. Sebelum ayah Devina akan pensiun dari pekerjaannya. Meskipun bekerja menjadi diplomat. Keluarga Devina memiliki usaha lain. Yang masih tetap berjalan hingga saat ini.
"Iya, benar, sayang. Ajak suamimu main ke sini. Masa Mama dan Papa terus yang ke Indonesia." Claudia menimpali.
Devina hanya mengulas senyum kecil. Sebelum menjilat bibirnya yang mendadak kering.
"Hehe ... nanti kami akan main ke sana, kok, Pah! Mah!" jawab Devina tentu saja berdusta.
Bagaimana caranya ia mengajak Kaiden ke Singapura. Bahkan sang suami tidak menaruh perhatian padanya. Kisah percintaannya yang malang sekali. Dirinya, sudah tidak dicintai oleh sang suami. Diselingkuhi, meskipun pernikahan ia dan Kaiden adalah pernikahan kontrak. Terjadi di atas perjodohan dan desakan kedua orang tua masing-masing.
Sudah pasti pria itu tidak boleh begitu terhadap dirinya. Devina sendiri saja tidak pernah melakukan apa yang Kaiden lakukan padanya. Memiliki pria lain di dalam pernikahan mereka. Sialnya, ia malah jatuh cinta pada orang yang tidak pernah mencintainya.
"Nah, bagus itu. Omong-omong, dimana Kaiden saat itu?" Galang memberikan pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh Devina.
"Sedangkan di kamar mandi, Pah!" jawab Devina kembali berdusta.
Sungguh lidah tak bertulang. Kenapa mudah sekali untuk berdusta. Di kamar mandi? Yang benar saja. Bahkan Devina sendiri tidak tidak berada di kamar Kaiden. Sudah pasti sang suami masih belum bangun tidur di hari weekend. Dan tentu pula pria itu terlelap di atas kasur di kamar pribadi pria itu sendiri.
"Baru mandi?" tanya Claudia sebagai dahi mengerut.
Pasalnya, sedari awal ia dan sang putri melakukan video call. Claudia tidak mendengar suara Kaiden. Atau melihat eksistensi sang menantu di samping sang putri.
Senyum kaku dikembangkan oleh Devina. Dengan wajah aneh.
"Eh ... sebenarnya tadi sih, kebelet buang air besar, Mah! Jadi sekalian mandi. Jadi, ya. Lama begitulah pokoknya," menjawab pelan.
Kedua orang tuanya terlihat saling beradu tatap. Devina terkekeh dibuat-buat. Sebelum ia berpura-pura menoleh ke samping kiri. Dan terlihat berkomat-kamit. Kepalanya kembali menoleh ke depan. Ke arah lensa kamera laptop yang ada di pangkuannya.
"Pah! Mah! Devina mau siap-siap dulu. Hari minggu ini, rencana mau keluar kecan sama Kaiden. Biar pas dia keluar, Devina sudah cantik!"
Bohong lagi. Devina kembali berbohong dengan senyum cerah yang tidak letih untuk diubar.
"Oh, iya?" seru Claudia bahagia,"ya, sudah. Sana dandan yang cantik. Kalau begitu sampai temu lagi nanti sayangku!"
"Hati-hati di jalan, Devina cantiknya, Papa!" Galang ikut bersuara.
Devina mengangguk dengan ikut melambai di kamera. Kedua sisi bibir yang terus ditarik tinggi. Perlahan-lahan memudar. Kala sambungan video call terputus.
"Hah!" Devina menghela nafas letih.
Kepala menunduk dalam. Tangan Devina bergerak memindahkan laptop yang berada di atas pangkuannya ke samping kirinya. Sebelum ia melipat kedua kakinya. Devina menenggelamkan wajah cantiknya di kedua pahanya. Hatinya berdenyut perih.
Bibirnya bergetar hebat. Meskipun dalam keadaan hati yang hancur. Devina tetap mampu tertawa dan tersenyum bahagia di depan kedua orang tuanya. Kedua mata Devina kian memanas. Tidak bisa ditahan. Air mata yang dibendung tumpah ruah begitu saja.
Layar ponsel yang menyala di atas nakas. Tepat di samping ranjang berukuran king size itu. Tampak beberapa foto sang suami dan wanita lain bergandengan tangan. Foto itu diambil kemarin oleh orang suruhan Devina. Gadis ini meminta orang untuk mengikuti Kaiden. Tadi malah Devina mendua. Apakah ia harus menanyakan keberadaan Kaiden pada orang suruhannya? Atau tidak.
Hati yang terus-menerus bertanya itu kalah oleh rasa keingintahuan. Kala tiga buah foto dikirimkan via pesan email. Gadis ini dapati hatinya tercabik-cabik melihat Kaiden tersenyum lebar pada wanita lain. Bahkan senyum itu tidak pernah Devina lihat selama tiga tahun pernikahan mereka.
Harusnya Devina tidak ingin tahu. Hingga hatinya tidak perlu sesakit dan sesesak ini. Isak tangis samar-samar lolos dari bibir Devina. Rasanya sakit sekali. Sangat sakit.
...***...
"Kaiden!" panggil Devina kala Kaiden akan keluar dari kamar dan melewati gadis cantik itu.
Ekor mata Kaiden sempat melirik Devina. Kedua mata Devina tampak samar, bengkak. Tapi apa pedulinya? Toh, itu bukan urusan Kaiden. Tanpa kata. Kainde kembali melanjutkan langkahnya.
HAP!
Pergelangan tangan Kaiden ditarik oleh Devina. Membuat langkah kaki pemuda itu ini berhenti mendadak. Kedua alis mata tebal milik Kaiden langsung ditarik ke atas sebelah kanannya. Dengan tatapan tajam dileparkan pada wajah Devina.
Gadis berpipi chubby itu terlihat menengadah. Mengingat tinggi mereka berdua yang tak sama. Kaiden tidak mengatakan apa-apa. Namun pandangan matanya tersirat untuk meminta Devina melepaskan cekalan tangan Devina di pergelangan tangannya.
"Bisa bicara sebentar?" pinta Devina terdengar serak.
"Mau bicara apa lagi, hah?" sinis Kaiden dengan suara bariton seksi itu.
Devina mengigit bibir bawahnya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Meskipun begitu dia ingin berbicara dengan Kaiden. Meskipun sebentar saja. Kedua tangan Devina menggenggam erat pergelangan tangan Kaiden.
"Itu—"
"Beberapa hari ini aku lihat kau cukup berani melewati batas-batas yang dulu pernah kita sepakati, Devina!" potong Kaiden cepat.
Kedua kelopak mata sakura Devina tampak menggerjab pelan. Ada batasan yang mereka buat. Dan Devina telah melangkah jauh dari batas-batas itu. Hingga sekarang.
"Bu—bukankah kita sudah sepakat? Kamu akan memberikan aku kesempatan untuk mengubah hatimu? Untuk jatuh cinta padaku," gumam Devina pelan.
Jika tadi alis mata Kaiden yang ditarik tinggi. Kini giliran dahinya yang berlipat dalam. Jatuh cinta pada Devina? Apakah gadis ini bodoh? Atau bagaimana? Bukankah dirinya sudah bilang. Jika ia sudah memiliki wanita lain. Yang dicintai.
"Aku tidak tertarik. Kau sendiri yang menyepakati itu. Bukan aku!" Kainde menyentak cepat tangan Devina.
Hingga gadis itu hampir terjerembab ke belakang. Jika tidak menjaga keseimbangan. Kaiden berdecak dan kemudian melangkah.
TAP!
TAP!
HAP!
Kedua tangan Devina langsung melingkari pinggang Kaiden.
"Jangan pergi, tolong!" ujarnya mengemis.
Bersambung....
🥺🥺Dev... Dev... Kok, menyedihkan banget sih...🙁sudah tau dia gak mau tetap aja...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Laurentia Delimarta
jgn bucin Dev nanti susah sendiri, hea tegae d dpn Kaiden
2024-08-17
0
Eka Bundanedinar
ngemis bngt sih devina
2022-01-30
0
mamah lia nia
ayo lah Dev kamu pergi biar kai sadar seberapa berharganya kamu.... 😡😡😡
2022-01-16
1