Kaki panjang itu terlihat melangkah cepat meninggalkan gadis cantik di belakang sana. Tidak ada rasa peduli sedikit pun dari Kaiden untuk Devina. Wanita itu terlihat kesusahan mengejar langkah kaki sang suami yang cukup lebar dan cepat untuk dikejar.
"Kaiden!" panggil Devina cukup keras.
Kedua kaki jenjang Devina tidak lagi sanggup untuk melangkah. Hembusan nafasnya terlihat memburu. Kaiden di depan sana sontak saja memperlambat langkah. Sebelum ikut berhenti dengan membentang jarak yang sangat jauh diantara mereka berdua.
Tubuh Kaiden langsung berbalik arah menghadap ke belakang. Dimana posisi Devina berada.
"Ada apa lagi?" balas Kaiden dengan nada kesal.
Manik mata hitam tajam itu langsung menyorot Devina yang terlihat memburu udara. Gadis itu hampir kehabisan nafas. Terik matahari di atas kepala mereka membakar kulit. Bahkan punggung belakangnya nyaris basah.
"Pelan-pelan saja melangkahnya," pinta Devina pelan.
Ekspresi wajah yang dikeluarkan terlihat begitu memelas pada Kaiden. Kaiden mendengus kecil.
"Makanya jangan pakai high heels kalau mau ke puncak, Devina!" tukas Kaiden kesal.
Devina mendesah kecil. Telapak tangannya terlihat mengusap kecil peluh yang menetes di dahinya. Sebelum kembali membawa atensi miliknya ke arah Kaiden.
"Aki pikir kita akan ke villa yang satu lagi," sahutnya dengan volume kecil.
"Ck! Ck! Ck! Sudahlah. Ayo, cepat!" titah Kaiden.
Jika saja tidak diminta untuk datang bersama Devina secara khusus oleh sang kakek. Maka sudah pasti Kaiden akan merancang banyak alasan. Hanya untuk absennya Devina. Devina tersenyum kecil. Sebelum melangkah setengah berlari ke arah Kaiden. Gadis cantik itu tersenyum sumringah. Saat tubuhnya dan Kaiden bersisian.
"Kau tahu bukan jika di dalam sana ada banyak keluarga besarku."
"Ya, aku tahu."
"Jangan melakukan hal bodoh. Atau berkata hal aneh."
"Aku paham."
"Lakukan peran yang biasanya kita lakukan di sana seperti di Jakarta. Jangan memancing perkataan-kataan yang membuat mereka semua curiga."
"Aku bisa melakukannya. Kamu tenang saja."
"Dan yang terakhir. Jangan bawa-bawa wanita itu di dalam sana. Karena mereka hanya tahu kita adalah pasangan ideal."
Devina sontak merasa denyutan sakit di ulu hatinya. Kaiden, secinta itukah pria gagah ini pada wanita itu? Sampai-sampai mewanti-wanti dirinya. Untuk tidak membawa nama wanita itu di dalam sana. Ah, Devina lupa. Jika ancaman yang mempan pada Kaiden Louis adalah karena Devina membawa nama wanita itu.
Hingga Kaiden mengabulkan permintaannya. Syarat waktu tiga bulan agar ia bisa merebut hati dari Kaiden.
"Hei! Kenapa malah berhenti melangkah?" teriak Kaiden keras.
Devina terperanjat. Gadis bermata almond terang ini bahkan tidak tahu. Kapan ia berhenti melangkah kembali. Sedangkan Kaiden sudah berada di depan sana. Membentang jarak kembali diantara mereka. Seperti kehidupan mereka berdua.
Berada di rumah yang sama. Di bawah atap yang sama. Namun tidak memiliki perasaan yang sama. Devina tersenyum kecut.
"Maaf," lirih Devina sebelum kembali melangkah menuju ke arah Kaiden yang berada di depan sana.
Saat rumah besar itu terlihat. Kaiden meraih pergelangan tangannya. Menggenggamnya dengan erat. Seperti yang sudah-sudah. Drama rumah tangga yang harmonis kembali mereka lakoni. Seolah-olah tidak ada yang mampu mengalahkan perasan mereka berdua. Bersandiwara saling cinta.
Lucu sekali bukan? Perasaan yang sesungguhnya tidak muncul di permukaan. Hanya sebuah drama kecil yang bisa ditujukan. Dan Devina Deborah malah terhanyut pada peran palsunya. Sebagai istri yang paling dicintai oleh sang suami. Sialan sekali perasaan itu.
...***...
Suasana di dalam rumah besar terasa begitu menyenangkan. Devina terlihat sibuk dengan keluarga besar Louis. Dari bibi sampai sepupu perempuan dari Kaiden yang hadir. Gadis cantik dengan rambut dicepol ke atas. Memperlihatkan leher jenjangnya. Sedangkan Kaiden terlihat berada di taman belakang yang kini berisap-siap membantu sepupu dan paman-pamannya membuat api unggun.
"Mbak Devina!" seru Chelsea terdengar menyapa Indra dengar Devina.
Devina menoleh ke samping. Melihat mahasiswa ditingkat awal yang tadinya membatunya menyiapkan daging sapi untuk dibakar.
"Hem!" sahut Devina pelan.
"Mbak kok betah sih sama Abang Kaiden yang dingin dengan muka datar itu?" tanya Chelsea dengan nada penasaran.
Keponakan dari ayah Kaiden ini sepertinya penasaran dengan alasan Devina tertarik pada Kaiden.
"Benar. Abang Kaiden itu emang sih, ganteng. Cuma pandangan matanya itu bikin ngeri, ya, Kak Chel!" kini si adik dari Chelsea ikut menimpali percakapan.
Devina terkikik kecil mendengar pertanyaan polos dari kakak beradik itu. Pergerakan tangan Devina mengaduk bumbu untuk daging sapi bakar terlihat berhenti sejenak. Atensi mulai difokuskan pada Kaiden yang menang memiliki tampang datar tanpa banyak ekspresi yang diperlihatkan.
"Hem ... apa, ya?" balas Devina bergumam pelan. Masih mendapat perhatian dari keduanya kakak beradik itu,"Kaiden itu terlihat begitu menakutkan. Tatapan matanya yang tajam dan sikapnya yang kadang misterius. Itu membuat aku penasaran dan merasa sangat tertarik padanya," lanjut Devina menjelaskan.
Gadis cantik ini tidak berbohong. Apa yang baru saja ia katakan adalah kenyataannya. Kaiden mungkin terlihat menakutkan. Apa lagi pandangan mata yang sangat mengintimidasi itu. Rahang tegas.
"Memang orang yang mencintai itu aneh," sahut Mia pelan.
Dahi Devina mengerut kecil mendengar perkataan aneh Mia. Sedangkan Chelsea malah mendengus mendengar sahutan dari Mia.
"Anak SMA nggak usah ikut-ikutan urusan orang dewasa!" tukas Chelsea yang langsung mendapatkan cibiran kesal dari sang adik.
"Kakak kayak sudah dewasa aja," ketus Mia.
"Hei! Aku ini sudah sangat dewasa, Mia. Kalau sudah duduk di bangku universitas orang itu sudah bisa dianggap sudah dewasa!"
"Cih! Itu sih belum dewasa sotoy! Yang benar itu adalah baru berproses menuju dewasa!" koreksi Mia.
Mendapatkan pelototan dari Chelsea. Kakak beradik ini memang sering sekali bertengkar. Mengingatkan keduanya hanya dua bersaudara. Karena itulah banyak hal yang bisa menjadi bahan perdebatan dan ributan.
Devina malah terkekeh kecil."Sudahlah. Ayo, kita kerjakan cepat pekerjaan kita. Sebelum Mama kalian sama Mama Abang Kaiden turun. Bentar lagi kita akan siap, bakar-bakaran!" lerai Devina sebelum keduanya kembali bertengkar adu mulut.
Chelsea dan Mia menurut. Keduanya kembali melakukan pekerjaan mereka. Devina melirik Kaiden dari ekor matanya. CEO gagah itu terlihat sudah selesai dengan pekerjaan di tangannya. Dan terlihat mengobrol dengan adik dari ayahnya.
"Sudah selesai, Dev?" tanya Maria lembut.
Devina langsung membawa tatapannya ke arah ibu mertuanya. Kepala Devina mengangguk.
"Sudah, Ma!" sahut Devina.
Maria mengangguk. Dan melangkah mendekati ketiga perempuan berbeda usia itu. Disusul oleh ibu dari Mia dan Chelsea.
"Wah! Devina kalau soal masak memasak. Emang jagonya," puji Rara untuk Devina.
Devina hanya mengulas senyum lembut.
"Ah, nggak kok, Tan!" bantah Devina merendah.
Rara mengeleng tak setuju."Kamu itu istri yang hebat, loh. Jadi Ibu rumah tangga, bisa. Jadi wanita karir juga bisa. Cuma kurangnya satu aja sih," sahut Rara pelan,"kalau bisa cepat punya bayi, Dev! Biar kalian sempurna. Kau dan Kaiden pasti bakalan bahagia," lanjut Rara.
Yang mendapatkan lenguhan kecil dari Devina. Sedangkan Maria melirik kecil penuh kode pada istri dari adik sang suami. Tidak ada reaksi banyak dari Devina. Gadis itu hanya mengulas senyum sungkan.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
v_cupid
andaikan mereka tw yg sesungguhnya
2023-08-23
0
beby
duhhh mulut nyaa
2023-08-12
0
mamah lia nia
aku jadian ama devina.... 😢😢😢
2022-01-16
0