"Hana tenanglah! Ini Mas, Hana! Hei, kamu kenapa?"
"Mama! Jangan Ma, taruh pisaunya, Ma! Rey mohon!"
Kinan berlari melihat kericuhan yang terjadi di dapur. Hana sedang memegang pisau, dia hendak menggoreskan nya ke nadi.
"Astaghfirullah." Kinan ikut histeris, dia lalu mendekat, tapi Hana malah menjerit.
"Pergi! Pergi!"
Dude melangkahkan kakinya, dia berusaha pelan-pelan meminta Hana membuang pisau buah yang ada di tangannya. "Hana kemarikan benda itu, benda itu berbahaya."
Hana malah berteriak lalu menekan bagian tajam pisau ke telapak tangannya hingga darah mengucur cukup deras.
"Ya Allah, Mas! Ambil pisaunya cepat!" teriak Kinan.
"Mama! Mama jangan, Ma!"
Rey berlari nekat mendorong tangan Hana hingga benda itu terlempar jauh, secepatnya Dude mengambil benda tajam itu.
Kinan mengambil kotak obat, dia langsung membalut telapak tangan Hana yang terluka.
"Mau mati! Saya mau mati!" Hana kini menangis, dia menatap kosong, dia tidak peduli ditangannya banyak darah, padahal orang-orang disekitarnya semua panik bukan main.
"Ya Allah mbak, sabar, ya. Istighfar, Astaghfirullah," ucap Kinan sambil membersihkan luka Hana, mengoleskan antiseptik dan membalutnya, walau Hana sesekali menarik tangannya, enggan untuk diobati.
Dude yang kalut langsung menelepon dokter, dokter jiwa yang biasa menangani Hana.
Sementara Rey terus memeluk mamanya, dia tidak mau mamanya terluka. "Ma, jangan melukai diri Mama, Rey mohon...."
Rey menangis terisak, Hana juga sama, bedanya dia menangis tanpa suara, tatapan matanya kosong, seolah tidak sadar apa yang baru saja dilakukannya.
"Saya benci pria. Saya benci siapa saja, saya benci."
Hana terus mengatakan itu, dan itu makin membuat Rey menangis.
"Minggir kamu, kamu laki-laki?" ucap Hana sambil menatap Rey. Mata polos itu basah dengan air mata tergenang, dan sekarang Hana malah melotot seolah marah pada Rey, putra kandungnya.
"Mama, tapi Rey anak Mama."
Hana menggeleng. "Saya tidak punya anak. Saya sudah bunuh anak saya."
"Enggak, Ma. Mama bukan pembunuh." Rey terus menggeleng sambil memegangi Hana.
Kinan bingung, dia hanya takut Hana menyakiti Rey dalam keadannya yang tertekan begitu. "Rey, kamu menyingkir dulu, ya. Biar suster yang bicara dengan Mama Rey, oke?"
Tadinya Rey menolak, tapi Hana tidak mau bersikap lembut padanya, Rey berpikir Mamanya mungkin lebih baik jika bersama Kinan. "Baik, Suster."
Kinan meneguk ludahnya, dia belum pernah mendapat pasien yang seperti Hana. Kinan hanya bermodalkan nekat mendekati Hana, karena Dude sedang panik menghubungi dokter.
"Kamu wanita yang telah menghancurkan saya? Kamu manusia sok suci!"
Ucapan Hana langsung menyentak batin Kinan. "Mbak, istighfar, ya. Saya Kinan, Mbak. Saya susternya Rey."
Hana menggeleng, dia terlihat makin geram. "Kamu wanita yang membuat hidup saya hancur. Kamu yang menyakiti saya. Kamu jahat!"
"Astaghfirullah." Kinan tidak tahu apakah yang dibicarakan Hana itu benar untuk dirinya. Tapi, dia memang jahat karena menikah dengan suami Hana. Apakah Hana seperti ini sekarang karena hal itu? Pikir Kinan.
"Hana!" Dude baru saja selesai menelepon, sebentar lagi dokter akan datang.
"Suster, biar saya saja yang menangani Hana," ucap Dude. Lalu Kinan mundur pelan-pelan membiarkan Dude mengambil alih.
"Hana, ini aku, Mas mu," ucap Dude dengan lemah lembut sambil menyentuh pipi Hana.
"Mas? Siapa kamu? Saya tidak kenal," geleng Hana. Tapi di dekat Dude, Hana tidak terlalu mengamuk seperti saat orang lain mendekatinya.
"Mas Dude, kamu pasti ingat."
Mendengar nama itu, Hana langsung menangis. "Mas Dude?"
"Iya, Han. Jangan begini lagi, ya. Kasian Rey, dia cemas sama kamu," jawab Dude.
Rey masih gemetaran di dekati oleh Kinan yang penasaran, kenapa Hana bisa sampai begitu?
"Mau pulang ke Jogja," ucap Hana. "Tidak mau di sini," tambahnya.
"Hana mau ke Jogja? Kenapa tidak mau di sini sama Mas?"
"Di sini ada orang jahat. Wanita sok suci dan laki-laki brengsek."
Kinan tidak tahu yang dimaksud Hana itu siapa. Tapi, dia merasa mungkin saja yang dimaksud Hana adalah dirinya?
Dude langsung memeluk Hana, wanita itu masih dingin dengan tatapan kosongnya.
"Baik, nanti Hana ke Jogja ya. Hana boleh tinggal di Jogja lagi," ucap Dude mencoba membuat Hana tenang.
Saat Dude memeluk Hana, dia juga menyuntikkan obat penenang yang digunakan ketika Hana kambuh. Dokter sudah memberitahu dosis yang diperlukan, dan itu seringkali terjadi. Kalau bukan karena Rey yang ingin merawat Hana, mungkin Dude tidak akan membawa Hana ke Jakarta, sebab Hana jauh lebih tenang saat di Jogja, di rumah sakit jiwa.
Tak lama kemudian, Hana tertidur.
Dude menggendong Hana, memindahkannya ke tempat tidur. Rey ikut berjalan di belakang Dude, dia tidak mau jauh dari Hana walau keadaan mamanya itu sangat memprihatinkan, seringkali membahayakan.
Setelah Hana terbaring tenang di tempat tidur, Rey memeluk Dude, Kinan hanya menunggu di dekat pintu, dia tidak berani masuk.
"Pa, kalau mama mau dibawa ke Jogja lagi, Rey juga mau ikut ke Jogja menjaga Mama, Pa."
Dude menghela napas berat, dia mengusap punggung Rey pelan. "Tapi Rey, Papa harus tetap di Jakarta. Papa sudah pernah bilang, mama lebih baik di Jogja, kan?"
"Tidak, Pa. Rey anak mama satu-satunya. Rey sebentar lagi besar, dan Rey mau membantu Mama sembuh."
"Tapi papa nggak bisa nemenin Rey di Jogja," balas Dude.
"Papa nggak perlu tinggal di Jogja, cukup sesekali berkunjung. Di sana juga ada mbah tung dan mbah ti yang menemani Rey."
Dude mengusap wajahnya sambil berpikir tentang permintaan Rey itu. Dia juga baru ingat kalau dia belum memberitahu orang tuanya tentang pernikahannya yang mendadak.
"Kinan, dia pasti kaget." Dude bergumam.
"Papa temui suster aja. Rey akan jaga mama di sini," ucap Rey.
"Mama sudah tidur, Rey tungguin Mama tapi kalau ada apa-apa, Rey panggil Papa ya."
"Iya, Pa."
Kinan berjongkok di depan pintu kamar Hana, dia tidak tahu harus melakukan apa. Tak lama kemudian dokter datang, Dude juga baru saja keluar dari ruangan.
"Dokter, Hana sudah tidur, saya beri dia obat," ujar Dude.
"Baik, Pak. Tapi, sebenarnya saya ingin memberitahu tentang keadaan Bu Hana."
"Suster, saya bicara dengan dokter dulu ya. Suster istirahat saja dulu, nanti saya minta pelayan bawakan sarapan untuk suster, ya."
"Jangan pikirkan saya, Mas. Saya ke kamar dulu, ya," jawab Kinan lalu meninggalkan Dude berdua dengan dokter.
Dude mengajak dokter duduk lalu mulai membicarakan tentang Hana.
"Pak, sebaiknya bu Hana tetap di rumah sakit jiwa. Lagi pula perawatan bu Hana lebih terjamin di sana, dari pada keadaan bu Hana yang belum stabil bertambah buruk. Saya menyarankan secepatnya bu Hana dibawa kembali ke tempat bu Hana dirawat sebelumnya."
"Tapi, Dokter. Apa Hana bisa sembuh seperti sediakala?"
Dokter itu terdiam sejenak sebelum dia mengangguk. "Bisa, kalau Tuhan mengizinkan apapun bisa terjadi. Karena itu kita harus berupaya dan berdoa semaksimal mungkin. Salah satunya dengan mempercayakan bu Hana pada yang lebih berkompeten di bidangnya."
Tapi, apakah Rey sanggup berpisah dengan Rey? Karena anak itu juga ingin ikut untuk menjaga ibunya.
Saat itulah Dude mulai bimbang, dia juga harus secepatnya memberi keputusan.
...***...
"Mbak Kinan, ini saya bawakan sarapan dan vitamin. Mbak Kinan harus habiskan ya supaya bisa cepat pulih," ujar pelayan di rumah Dude, Kinan sudah cukup kenal dengan pelayan di rumah Dude saat dia beberapa kali berkunjung untuk memeriksakan kesehatan Rey sebelumnya.
"Terima kasih, ya, Bi." Kinan mengambil nampan berisi makanan, air, dan juga obat-obatan.
"Bibi tinggal ya, Mbak."
"Iya, Bi. Terima kasih sekali lagi," ucap Kinan.
Pelayan itu pun keluar dari kamar Kinan. Saat keadaan seperti itu, jangankan untuk makan, melihatnya saja Kinan tidak berselera. Kinan ingin pulang, Kinan ingin kembali menjadi Kinan yang dulu, Kinan anak Bu Halimah yang belum menikah. Takdirnya seolah berubah menjadi sangat rumit sekarang.
"Mbak Hana begitu apakah karena aku?" Pertanyaan itu belum terjawab sampai sekarang.
Kinan menaruh nampan yang berisi makanan, tapi kemudian dia ingat, bahwa makanan tidak boleh di buang-buang karena itu Mubadzir namanya.
Lalu Kinan mengambil sepotong roti isi memakannya sedikit disusul segelas susu. Setelah memakannya hampir separuh, dia menaruh nampan itu ke atas meja.
Tak lama kemudian Dude datang menemui Kinan. "Suster, saya masuk, ya?"
Kinan agak terkejut, tapi dia mempersilakan Dude untuk masuk dan duduk di sampingnya.
"Suster sudah makan?"
"Sudah, Mas."
"Syukurlah. Maafkan saya, ya, Sus. Atas kejadian tadi, karena suster pasti terkejut," ujar Dude.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan mbak Hana, Mas? Apa ini semua karena saya? Saya rela diceraikan Mas Dude kalau sampai mbak Hana tertekan karena keberadaan saya, Mas."
Dude menghela napas pelan. "Ini bukan karena suster. Hana memang seperti itu sejak dulu, sejak dia mengandung Rey dan kejadian buruk yang menimpanya sehingga dia hamil Rey."
"Maksud Mas?"
"Hana korban perkosaan pacarnya, Suster."
"Astaghfirullah. Jadi, mbak Hana bukan istri Mas Dude?"
"Istri?"
Kinan yang terkejut tambah bingung melihat raut Dude yang juga terkejut. "Ya Allah, Suster. Kapan saya bilang Hana istri saya? Maaf, mungkin saya belum banyak cerita. Astaga, jadi selama ini, ya Allah, sekali lagi saya minta maaf, ya, sudah membuat Suster salah paham," terang Dude.
Mendengar penjelasan Dude membuat Kinan bernapas lega, dia lega karena dia bukan pelakor seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Walau masih banyak pertanyaan lain yang belum terjawab tentang siapa Dude, siapa Raihana dan siapa Reyhan, juga apa hubungannya mereka dengan Dude Danuarta, suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
tuh kan. klihatsn bodonya nii
2023-02-21
0
Sri Widjiastuti
mikirlah kinan, seblm dude menikah si hana kan sdh sakit jiwa...
2023-02-21
0
Dewi Purnama Dewi
akhirnya terkuak
2022-03-03
0