Beberapa hari kemudian...
"Seseorang akan datang melamarmu, Nak. Kali ini ibu harap jangan langsung menolaknya, ya."
Kinan mengerti keinginan kuat ibunya agar dia menikah. Hal itu juga yang menjadi alasan Kinan tidak menolak langsung lamaran yang datang padanya. Meskipun sejujurnya Kinan memang belum memiliki keinginan untuk menikah. Tapi demi kelegaan hati ibunya, dia berusaha membiarkan pertemuan lamaran itu terjadi.
"Ki, kamu udah selesai dandan kan?" tanya Halimah sambil menyentuh kerudung berwarna maroon yang dikenakan Kinan.
Cantik, anggun, tampilan Kinan terlihat sangat natural. Kinan memang gadis yang sederhana, tanpa polesan make up tebal akan tetapi sisi feminimnya terlihat menonjol karena kelembutannya.
"Kinan nggak dandan loh, Bu. Ini cuma begini aja, nggak apa-apa kan?" Agak terdengar kurang bersemangat. Kinan akhirnya melengkungkan senyum, tidak ingin ibunya curiga.
Bukan tidak suka karena ada yang melamar, tapi itulah Kinan. Dia merasa belum siap untuk menikah. Tapi, ibunya terus meminta agar Kinan mempertimbangkan jika ada pria yang datang melamarnya. Dia sendiri belum tahu siapa yang akan datang, sebab ibunya merahasiakan hingga detik ini dengan alasan kejutan.
"Udah cantik anak Ibu. MaaSha Allah."
Kinan hanya tersenyum kecil. "Alhamdulillah. Kinan bantu bikin minuman nggak?"
"Enggak usah, kamu tunggu aja di kamar. Nanti ibu akan panggil kamu ya, kalau tamunya udah datang."
"Baik, Bu." Kinan hanya mengangguk tipis sambil menarik napas dalam-dalam. Kira-kira siapa pria Sholeh yang akan datang melamarnya? Di saat seperti ini kenapa Kinan malah kepikiran dengan pria yang bernama Dude. Padahal sudah seminggu lalu pertemuan mereka yang tidak di sengaja itu terjadi. Apakah mungkin Kinan benar menyukai pria itu?
"Mas Dude. Kenapa aku malah kepikiran dia sih?" gumam Kinan.
Mustahil. Rasa yang dimilikinya pasti hanya sekedar kekaguman semata. Kinan yakin, mana mungkin dia bisa menyukainya secepat kilat hanya dengan melihat tampilan luar seseorang saja.
Beberapa saat kemudian terdengar suara salam dari luar pintu rumahnya. Kamar Kinan tepat berada di belakang ruang tamu. Tentu Kinan dapat mendengar jelas suara tamu itu mengucapkan salam.
"Assalamua'laikum."
"Wa'alaikumsalaam."
Halimah membukakan pintu lalu tersenyum ke arah tamu yang sudah ditunggu-tunggu.
"Bu, maaf saya agak lama. Tadi jalanan lumayan macet, biasa Jakarta."
Terdengar suara bapak-bapak dengan logat bahasa Indonesia yang fasih. Siapa dia? Kinan merasa penasaran.
"Iya, nggak apa-apa. Jakarta udah biasa macet. Silahkan masuk, Pak. Maaf nih rumahnya sempit, begini lah keadaan rumah kami, Pak."
Sepertinya hanya ada suara bapak-bapak itu saja. Kinan kok jadi penasaran siapa kiranya yang akan di kenalkan padanya? Apakah bapak itu? Rasanya tidak mungkin, pikir Kinan.
"Tidak apa-apa, Ibu. Terima kasih," jawab tamu tersebut. Lagi-lagi sangat sopan.
"Sebentar ya, saya panggilkan Kinan dulu,"
"Baik, Bu. Terima kasih,"
Kinan pun berdiri dengan tubuh tegap. Meski dia gugup, tapi dia berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Bagaimana tidak gugup? Apa mungkin pria itu nantinya akan menjadi suaminya? Hanya Allah yang tahu.
Pintu kamar Kinan terbuka. "Ki, orangnya udah datang. Yuk, kita keluar temui mereka," ucap Ibu Kinan.
"Hm, bapak-bapak ya, Bu?" tanya Kinan penasaran. Jika benar bapak-bapak, sungguh sangat keterlaluan ibunya pada Kinan, pikirannya sambil menerka.
"Nguping ya kamu?" Halimah menahan senyum sambil merapihkan kerudung putrinya.
"Idih, bukan nguping lah, Bu. Tapi kedengaran, kan dekat dengan ruang tamu." Kinan mendengkus. "Beneran Kinan nggak sengaja dengar."
Halimah terkekeh pelan. "Iya iya, udah kamu temuin mereka aja. Nanti juga kamu tahu orangnya yang mana."
Kinan hanya bisa mengiyakan kata-kata ibunya, kemudian berjalan sambil menggandeng tangan ibunya. Kinan tidak mengangkat wajahnya, entahlah dia jadi bertambah grogi sekarang.
"Assalamu'alaikum Kinan." Suara itu rasanya tidak asing bagi Kinan Adelia. Sejak tadi Kinan tidak mendengar suara itu, hanya suara bapak-bapak yang dia dengar. Tetapi jika suara yang baru menggema di telinganya, rasanya sangat tidak asing. Tidak, bahkan Kinan sering mendengarnya.
"Astagfirullah," reflek Kinan saking terkejutnya. Ia mengangkat wajahnya menganga begitu tampak sosok di hadapannya.
Lelaki itu hanya tersenyum, begitu juga dengan bapak-bapak di sebelahnya. "Ini Nak Kinan ya? Maa shaa Allah, cantik sekali." Itu baru suara bapak-bapak yang tadi. Rupanya dia adalah orang tuanya.
Kinan tersenyum kaku. Ibu Kinan mengajak Kinan duduk di sampingnya. Lalu Kinan hanya terus menunduk, tidak berani menatap dan memastikan lagi lelaki yang datang hari ini ke rumahnya.
"Kinan, kok malah bengong? Ayo kenalan dengan Pak Asnawi. Ini anaknya pak Asnawi, kamu pasti kenal kan? Nak Hamzah."
Hamzah. Ternyata dia yang datang ke rumah Kinan. Saat itu perasaan Kinan tidak dapat di jelaskan. Kinan bingung, karena yang datang adalah Hamzah. Dokter umum di rumah sakit tempat ia bekerja. Memang Dokter Hamzah seringkali memberi perhatian lebih pada Kinan. Tapi, dia tidak menyangka kalau Dokter Hamzah seserius ini dengannya.
"Iya, Kinan kenal Bu. Dokter Hamzah, apa kabar? Pak Asnawi, salam kenal. Saya Kinan," tutur Kinan dengan senyuman ramah.
"Alhamdulillah. Rupanya Allah akhirnya mempertemukan kita seperti sekarang ini. Semoga ini membawa kebaikan ya. Bapak hanya berniat silaturahim dengan Nak Kinan dan orang tua Kinan. Sambil memenuhi ajakan Hamzah, katanya ada niat baik yang ingin dia utarakan kepada Kinan khususnya."
Deg!
Niat baik apa gerangan?
Mungkinkah benar Hamzah berniat melamarnya? Ya Allah, Kinan tidak tahu harus menjawab apa nanti. Dia tidak memiliki perasaan apapun pada Hamzah. Meskipun dia tahu kalau Hamzah adalah pria yang Sholeh dan baik. Tapi, perasaan dia bagaimana? Kinan tidak memiliki rasa sedikitpun kepada Hamzah.
Tentu saja jika dia memiliki rasa sedikit saja pada Hamzah, dia pasti tidak akan dengan mudahnya mengabaikan bentuk perhatian Hamzah selama ini padanya.
"Kinan, kedatangan saya kesini bermaksud ingin melamar Kinan, apakah Kinan bersedia menerima niat baik saya?" tutur Hamzah dengan lugas mengutarakan maksudnya.
Ternyata benar. Jadi Hamzah ingin melamarnya. Kinan membeku, dia tidak tersenyum bahkan menampakkan reaksi apapun sekarang.
Halimah dan Pak Asnawi hanya tersenyum sambil menunggu Kinan menjawab pertanyaan Hamzah. Saat itu Hamzah sangat mantap mengutarakan maksudnya. Kinan bertambah tidak leluasa menolaknya langsung. Bukankah sangat keterlaluan? Padahal Hamzah adalah lelaki yang baik.
"Ya Allah sampai lupa, silakan di minum dulu. Sengaja udah saya persiapkan, di minum tehnya ya, seadanya aja." Halimah mencoba mencairkan suasana tegang. Dia tahu bahwa putrinya pasti sedang kaget sekarang.
Dengan jantung yang berdegup kencang, bukan seperti gadis yang jatuh cinta, melainkan sebaliknya. Kinan tidak memiliki rasa pada Hamzah, tapi dia memiliki sikap segan dan hormat pada dokter muda di depannya.
Belum lagi beberapa hari lalu Halimah mengatakan agar Kinan tidak langsung menolak jika ada lelaki Sholeh yang melamarnya.
"Kinan? Kamu udah punya jawaban, Nak?"
Kinan menelan ludahnya keras dan susah payah. Lalu dia menarik napas dalam-dalam sambil menggenggam tangan ibunya.
"Dokter Hamzah, saya terima niat baik Dokter. Tapi, apakah saya boleh meminta pertimbangan waktu? Saya butuh sholat istikharah dulu, untuk memantapkan jawaban saya."
Hamzah dan Pak Asnawi mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Tentu saja boleh, Kinan. Memang semuanya butuh kemantapan hati. Jalan istikharah adalah salah satu yang dianjurkan untuk kita lakukan, jika kita mengalami keragu-raguan," jawab Hamzah.
"Iya, Nak Kinan bisa pertimbangkan dulu baik-baik. Bagaimana kalau kita berikan waktu, supaya tidak saling menunggu-nunggu. Seminggu apa cukup?" tanya Pak Asnawi pada Kinan.
Halimah mengusap punggung tangan anaknya. "Cukup kan, Nak?"
Kinan menghela napas lagi. "InsyaAllah cukup. Tapi, saya minta maaf kalau nanti jawabannya tidak dapat memuaskan semuanya. Ataupun sebaliknya, intinya saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Apapun hasil istikharah saya nanti," ucapnya, tawakkal.
"Iya, baiklah Kinan. Saya mengerti dan InsyaAllah juga saya menerima apapun keputusan Kinan nantinya."
"Alhamdulillah."
Semuanya mengucap syukur dan berharap keputusan yang akan diberikan Kinan nanti adalah yang terbaik. Kinan meragu, tapi tidak ada yang tahu jodoh Kinan siapa, selain Allah. Kinan tidak mau kalau begitu saja menolak Hamzah, terlebih dia mengukur dirinya sendiri. Siapa dia sehingga bisa leluasa menolak pria sekelas dokter Hamzah? Sholeh, dan juga di senangi banyak orang. Kinan takut, dirinya seolah menjadi gadis yang tidak tahu diri.
"Kalau begitu. Saya kira silaturahim saya dan anak saya saat ini cukup sampai di sini. Seminggu lagi saya dan Hamzah akan datang kembali." Pak Asnawi beranjak dari duduknya.
Hamzah pun ikut berdiri, sambil sesekali melempar senyum ke arah Kinan Adelia.
"Terima kasih, Pak Asnawi dan Nak Hamzah. Kita sama-sama mencari ridho Allah. Semoga apapun keputusan yang diberikan Kinan nanti dapat diterima dengan lapang ya," ujar Bu Halimah.
"Aamiin, InsyaAllah."
..._________...
Terima kasih ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Rizal dody Zakaria
penasaran apa y jawaban kinan
2022-04-06
0
Dwi Sasi
Ikut deg2an nunggu jawaban... 🤭
2022-01-18
1
Shasa
Kok kinan di jodohin sih
2022-01-14
1