...Sang Pencipta yang Maha Tahu. Pada siapa hati ini memihak. Tapi apakah keberpihakan itu sudah tepat adanya? Aku pasrahkan semua pada yang maha memiliki hati dan perasaan. ~Doa Kinan ...
...**** ...
Kinan termenung sendiri setelah baru saja dia menyelesaikan sholat Maghrib. Malam ini Hamzah dan orang tuanya akan datang kembali menagih jawaban atas lamarannya terhadap Kinan.
"Ki, kamu udah selesai sholat?" tegur Ibu Kinan yang langsung masuk ke kamar putrinya.
Kinan mengangguk. "Udah, Bu." Wajahnya tampak lesu.
"Hei, anak ibu kenapa? Kok lemes banget, kamu sakit?"
"Enggak kok. Alhamdulillah Kinan sehat, Bu." Kinan menggelengkan kepala, senyum samar tersirat dari bibirnya.
"Jangan bohong. Dari kemarin kamu kelihatan lesu. Jujur sama ibu, Nak. Apa kamu tidak mendapatkan jawaban dari istikharah kamu?"
Kinan bertambah gugup saat ibunya menanyakan hasil dari istikharahnya. Tentu Allah pasti memberikan jawaban. Kinan juga berlindung kepada Allah agar tidak dihinggapi perasaan ragu dan bimbang. Hanya saja Kinan takut mengecewakan ekspektasi ibunya.
"Kinan udah dapat jawaban dari istikharah Kinan."
Halimah tersenyum pada putrinya sambil menepuk punggung tangan Kinan yang tertutup mukena. "Kamu hanya perlu yakin sama apa yang kamu dapatkan dari hasil istikharah. Jangan memikirkan takut ibu kecewa dan lain sebagainya. Pernikahan itu nantinya kamu yang menjalani bukan Ibu. Setiap orang tua hanya ingin putrinya bahagia, tapi bisa jadi pilihannya juga tidak sesuai dengan hati anaknya. Ataupun mungkin sebaliknya. Kinan yakin aja sama Allah, jika itu memang jawaban dari Allah maka lakukanlah, lakukanlah yang kamu yakini."
Kata-kata Halimah membuat Kinan merasakan kelegaan. "InsyaAllah Kinan yakin, Bu."
Saat itu terdengar suara salam dari luar. Halimah langsung berdiri untuk membukakan pintu. Kinan mengusap dadanya sambil mencoba menenangkan dirinya. Kinan harus siap, itu pasti yang datang adalah dokter Hamzah.
"Ibu buka pintunya dulu ya. Jangan ragu dengan apapun yang sudah kamu putuskan. Katakan aja, ibu yakin semua akan baik-baik aja."
Kinan mengangguk. "Baik, Bu."
Saat Halimah keluar dari kamarnya. Kinan segera membuka mukena yang masih dia kenakan. Sebentar lagi waktu isya, tapi kenapa dokter Hamzah buru-buru sekali datang, bukannya lebih baik datang selepas sholat Isya saja? Batinnya.
"Wa'alaikumsalaam." Halimah membuka pintu dan terkejut ternyata bukan Hamzah yang datang tapi orang lain.
"Bu, maaf malam-malam menganggu." Suara lelaki yang sepertinya pernah dilihat oleh Halimah sebelumnya, tapi dimana? Wanita paruh baya itu agak lupa tepatnya.
"Maaf, Nak ini cari siapa ya?"
Senyuman tipis nan bersahaja tersungging dari bibir lelaki itu. "Saya cari Kinan. Apa benar ini rumah suster Kinan?"
Halimah mengangguk. "Benar, kalau gitu silahkan masuk, Nak."
"Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan," jawabnya.
"Tidak kok, duduk dulu ya. Biar ibu panggilkan Kinan."
"Baik, Bu. Terima kasih," angguk lelaki itu dengan sopan.
Halimah baru ingat pria itu sepertinya orang yang sama dengan orang yang tempo hari lalu mengantar putrinya.
"Ki, di luar ada yang cari kamu," terang ibu Kinan.
"Dokter Hamzah, kan?"
Halimah menggeleng. "Bukan, Nak. Kelihatannya dia teman kamu. Eh, orang tua pasien kamu, yang kamu ceritakan ke Ibu."
"Astaghfirullah." Kinan terkejut.
"Maksud Ibu dia itu Mas Dude, kah?"
"Mas Dude? ibu belum tanya namanya, kamu temui aja ya."
"Baik, Bu. Kinan temuin dulu ya," jawab Kinan.
Halimah pergi ke dapur untuk membuatkan minuman. Entah kenapa dia melihat sesuatu yang berbeda, saat Kinan menyebut nama lelaki itu.
Kinan ke ruang tamu. Benar saja yang duduk di kursi ruang tamunya adalah Dude. Tapi, untuk apa Dude ke rumahnya? Ada perlu apa? Batin Kinan.
"Assalamu'alaikum, Mas Dude?" sapa Kinan.
Dude menoleh ke arah Kinan. "Wa'alaikumsalaam, Suster. Maaf saya datang malam-malam. Suster sibuk?"
Kinan duduk di depan Dude. "Nggak kok, Mas. Ada apa ya? Kok tumben ke rumah, saya kaget. Apa Raihan baik-baik saja?" tanya Kinan yang berpikir jangan-jangan Dude kesini karena Raihan.
Dude tersenyum tipis. "Alhamdulillah Raihan baik-baik saja. Maaf terburu-buru ke sini. Sejujurnya saya ingin menyampaikannya besok pada suster. Tapi besok saya ada keperluan di luar kota sehingga untuk seminggu ke depan tidak bisa menemui suster."
"Oh begitu. Apa pergi dengan Raihan?" tanya Kinan penasaran.
"Iya. Alhamdulillah keadaan Rey sudah membaik. Saya ingin mengajak Rey menemui ibunya."
Deg.
Kinan tersentak saat Dude menyebut Ibu dari Reyhan. Rupanya Rey masih memiliki ibu, itu berarti belum tentu Dude sudah bercerai dengan istrinya. Kinan merasa salah memikirkan suami orang lain. Kinan benar-benar merasa bersalah.
"Oh jadi Mas Dude mau menemui ibu dari Rey? Istri Mas Dude?"
Dude terkekeh pelan. Tentu pertanyaan Kinan itu sangatlah bodoh pikir Kinan. Jika itu ibu dari Rey, maka itu sudah pasti adalah istri Dude. Lalu kenapa dia masih menanyakannya? Kinan mengutuk kebodohannya sendiri.
"Maaf, saya jadi kepo. Pertanyaan saya juga aneh ya, Mas. Ibu Rey sudah pasti istri Mas Dude, kenapa saya pakai tanya segala," tawa Kinan pelan.
Saat keduanya sedang mengobrol. Halimah datang membawakan minuman. "Wah, maaf ganggu ngobrolnya ya. Ini di minum dulu ya, Nak? Maaf nama Nak ini siapa ya?"
Dude tersenyum ke arah Halimah. "Saya Dude, Bu. Maaf belum memperkenalkan diri."
"Ah, Nak Dude. Baik, ibu duduk di sini nggak apa-apa kan?"
"Silahkan Ibu, saya nggak lama kok. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada suster Kinan."
"Duduk, Bu." Kinan meminta ibunya duduk di sampingnya. Halimah pun duduk di sisi Kinan.
"Ada apa ya, Nak?" tanya Halimah pada Dude.
"Begini, Bu. Saya ingin meminta suster Kinan untuk menjadi suster pribadi anak saya, Raihan. Meski kondisinya sudah membaik, tapi saya ingin anak saya tetap mendapatkan pengawasan di rumah. Saya sudah izin pada dokter Angga selaku dokter yang menangani anak saya. Karena itu saya kesini terburu-buru meminta tolong suster Kinan. Sebab besok saya harus pergi ada keperluan ke luar kota. Saya harap suster Kinan mau menjadi perawat anak saya di rumah." Dude mengatakan maksudnya datang. Kinan terdiam mendengarkan kata-kata Dude seksama. Rupanya itu tujuan Dude datang ke rumahnya.
"Oh jadi begitu. Kalau begitu sekarang terserah kamu, Kinan. Kamu mau atau tidak menjadi perawat anak dari Nak Dude," tutur Halimah pada putrinya.
Kinan mengangguk. "Apa dokter Angga sudah memberi saya izin Mas? Soalnya dokter Angga belum menghubungi saya."
"Sudah, Suster. Dokter Angga sendiri yang meminta saya untuk langsung menemui Suster Kinan."
"Jika begitu saya akan melakukan yang terbaik untuk Rey. Saya akan menerima tawaran Mas Dude," jawab Kinan setuju.
"Alhamdulillah. Terima kasih suster Kinan. Saya sempat ragu kalau-kalau suster Kinan menolak. Soalnya Rey hanya ingin suster Kinan yang merawatnya, bukan suster yang lain," balas Dude.
Halimah tersenyum kecil. Dia tidak menyangka anaknya ternyata menyukai Dude. Jadi hati anaknya sudah berlabuh pada pria di depannya itu. Baru kali ini Halimah melihat raut wajah yang berbeda dari putrinya. Tapi apakah Dude itu seorang duda? Atau dia masih beristri? Itu yang menjadi pertanyaan Halimah saat ini.
Dude langsung berpamitan pada Kinan dan ibunya setelah menyampaikan maksudnya. Kinan tertegun saat Dude sudah berlalu dengan mobilnya. Halimah menepuk bahu Kinan dan gadis itu terkejut. "Aduh."
"Ki, kok kamu ngelamun sih?" tegur Halimah.
"Ah, iya Bu. Kinan melamun, maaf."
"Ki, jawab jujur deh. Kamu suka ya sama lelaki tadi?" tanya ibunya terus terang. Kinan langsung gugup saat ibunya menanyakan hal itu padanya. "Maksud ibu?" tanya Kinan.
"Kamu suka sama nak Dude kan?" ulang Halimah.
Kinan menarik napas dalam-dalam, ia bingung harus menjawab apa. Suka? Mungkin Kinan menyukai Dude. Tapi apakah itu tepat? Mengingat Dude ternyata masih memiliki istri, batin Kinan.
"Kinan nggak punya hak menyukai pria beristri 'kan, Bu?"
Halimah terkejut. Ternyata dude masih dalam keadaan beristri?
"Ya Allah, jadi kamu menyukai suami orang, Ki?"
Kinan menggeleng. "Enggak kok, Bu. Lagi pula Kinan baru sekali mengenal mas Dude. Kinan cuma tertarik secara naluriah. Tapi bukan berarti Kinan benar menyukainya," sanggahnya.
Halimah masih terkejut. Tidak mungkin anaknya menyukai pria beristri. Tentu itu bukan yang diharapkan Halimah.
"Bukan karena dia, kan, kamu mau menolak lamaran dokter Hamzah, Ki?"
Kinan membulatkan matanya. "Ih, bukan kok, Bu. Kinan harap Ibu jangan salah paham ya."
Halimah menghela napas lega. "Syukurlah Nak, kalau bisa jangan sama yang udah beristri ah. Kasihan istrinya kalau kamu jadi madunya, kamu tega?"
Tentu saja Kinan tidak pernah membayangkan dirinya jadi istri kedua. "Jangan dong, Bu. Kinan nggak mau jadi madu orang," gelengnya.
"Huh. Tadi ibu pikir kamu mau jadi madu orang, Ki. Emang sih nak Dude itu ganteng banget, pantes aja kamu naksir," celetuk Halimah.
Kinan mengusap wajahnya, ia merasa malu. "Kinan udah bilang itu hanya rasa kagum secara naluriah, Bu. Kinan nggak benar-benar menyukai dia. Ada-ada aja Ibu ini. Ya udah Kinan masuk kamar dulu ya," ucapnya.
"Iya, Ibu kan cuma mengira-ngira. Ya udah, Ibu juga mau siap-siap salat isya."
Mungkinkah Kinan harus melupakan perasaannya pada Dude? Tidak munafik awalnya Kinan mengira keduanya dapat di satukan. Tapi rasanya lebih baik Kinan melupakan perasaannya itu. Dude masih memiliki istri, ibu dari Raihan.
"Aku sudah memutuskan menerima Dokter Hamzah, aku tidak boleh goyah."
...______...
...Bersambung... ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
sukanya slh paham, berasumsi sendiri g jelas
2023-02-21
0
Dwi Sasi
Nasibmu ditangan othor kinan... 😄😄
2022-01-18
2
Shasa
Jgan sama mad dude aja kiran
2022-01-14
1