...Mencintai dalam diam, senyatanya butuh pergelutan batin . Lantaran senyapnya seorang gadis tidak sekadar keheningan semata, melainkan jua tersemat sebuah asa. ...
...******...
"Permisi, Mbak. Ruangan dokter Angga dimana ya?" tanya pria itu pada Kinan yang malah membungkuk, gugup.
Namun menyusul mengangkat kepala sebentar untuk menjawab.
"Dokter Angga? Oh, bisa saya antar kalau mau," Kinan menawarkan bantuan.
Kenapa dengan dia? Dari tadi tidak mau menatapku? Pikir si pria yang tengah menggandeng anak lelakinya.
"Pa, jangan di liatin terus. Ingat, nggak boleh kata pak ustad." Anak lelaki itu lebih-lebih paham ketimbang papanya.
"Oh, iya ya? Papa lupa." Lagi-lagi pria itu membalas santai.
"Boleh, Mbak. Eh, Mbak ini suster ya?" tanya pria itu saat melongok seragam perawat yang dikenakan Kinan.
"Iya, Mas. Eh, Pak."
Kinan mendadak salting.
"Saya Dude, panggil aja Dude."
Dag-dig-dug.
Kinan berdebar mendengar pria itu akhirnya memberitahukan namanya.
"Oh, iya silahkan biar saya antar ke ruangan dokter Angga ya," angguk Kinan enggan berlama-lama terpesona.
Dude mengikuti Kinan dari belakang sambil memperhatikan gelagat Kinan yang aneh. Biasanya perempuan jika berhadapan dengannya tidak pernah menundukkan pandangan. Apa karena dia menggandeng Rey? Terkadang Dude sering merasa perempuan menjauhinya karena dia memiliki anak. Tapi jika begitu, terserah saja. Toh Dude hanya akan melihat wanita yang mau menerima kehadiran anak lelakinya.
"Silahkan, Pak. Ini ruangan dokter Angga." Senyum gadis bertudung rapih itu kepada Dude yang tak melepaskan gandengan tangannya pada anak lelaki di sisinya.
"Terima kasih, Suster."
"Makasih ya Kakak cantik," ucap anak lelaki di samping Dude.
Dude ikut tersenyum sambil mengacak rambut putranya. "Dasar kamu, bisa aja memuji cewek."
"Ih, kan memuji itu termasuk menyenangkan hati orang lain, Pa."
"Iya iya," jawab Dude menyerah tanpa perlawanan.
Kinan terkekeh pelan. Ternyata papa dan anak itu dua-duanya sama lucunya, batin Kinan.
"Iya, sama-sama. Nama kamu siapa?" tanya Kinan pada anak tersebut.
"Nama suster Kinan Adelia, iya kan?" ucap Dude yang baru saja mengetahui nama itu dari name tag yang menempel di seragam Kinan.
"Kok tau?"
"Ada di situ, Kak," tunjuk anak kecil itu pada name tag Kinan.
"Astaghfirullah, maaf." Kinan tertawa kecil. Sejenak ia berpikir Dude bisa menebak namanya, padahal kan tidak mungkin.
"Nama Kakak bagus, kenalin namaku Raihan. Panggil aja Rey."
Kinan memasang wajah mesem sembari mengangguk. "Oke, Rey."
"Ini papaku, namanya Dude. Dia jomblo loh." Rey tertawa, tapi lebih mirip nyengir.
"Hushh! Masih kecil kayak tahu jomblo itu apa!" tegur Dude.
Kinan tersenyum samar. Meski ia sudah mengetahui pria itu memiliki anak. Tapi entah kenapa Kinan tetap saja menaruh simpati pada pria tersebut. Kinan terus menerus beristighfar dalam hatinya. Ini kali pertama Kinan menaruh kagum pada seorang pria. Tapi, kenapa Kinan harus memiliki perasaan seperti itu pada pria yang sudah memiliki anak? Bagaimana kalau dia juga masih memiliki istri?
"Terima kasih suster Kinan. Kalau begitu saya dan anak saya masuk dulu," ujar Dude pada Kinan.
"Iya, sama-sama. Silahkan," jawab Kinan.
Dude dan Rey pun masuk ke dalam ruangan dokter Angga.
"Huhh..." Kinan menghela napas panjang.
"Ya Allah, gerah banget ya. Kenapa jadi terasa panas gini sih, kamu sih Kinan. Ingat jaga hati. Astaghfirullah. Kenapa ujian-Mu sungguh berat pada hamba. Kok bisa ada cowok gantengnya Masha Allah gitu ya. Kinan! Lupakan Kinan!"
Akhirnya Kinan memilih pergi untuk memulai pekerjaannya.
"Assalamu'alaikum, Dokter Angga."
"Wa'alaikumsalaam, Dude?"
"Hai, udah lama nggak ketemu, Dok? Gimana kabarnya?" sapa Dude akrab. Keduanya merupakan teman lama.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana? Wah, Rey ikut juga. Gimana Rey udah merasa sehat kan sekarang?" tanya Dokter Angga pada Rey.
"Udah, Dokter. Alhamdulillah," jawab Rey dengan senyum kecilnya.
"Alhamdulillah. Silakan duduk, Dude. Duduk ya Rey. Ada apa nih tumben kok kesini nggak ngabarin dulu?"
Dude pun langsung duduk. "Cuma silaturahmi aja. Sekalian mau memeriksakan Rey. Apa kondisi dia sudah benar-benar sembuh dari penyakitnya kemarin, Dok?"
Rey beberapa bulan yang lalu baru saja melakukan operasi pengangkatan tumor di otaknya. Untungnya tumor itu belum menjalar ke bagian yang lain. Sehingga tumor itu dapat di angkat. Tapi, belakangan Rey seringkali merasakan kepalanya sakit dan agak mengganggu. Karena itu Dude mengantar anaknya itu untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Berhubung waktu itu Dokter Angga yang menangani Rey, maka sekarang Dude kembali menemui dokter Angga.
"Rey ada keluhan? Apa kepalanya masih sakit?" tanya Dokter Angga.
Rey hanya terdiam. Sebenarnya dia tidak ingin di periksa lagi, tapi papanya terus saja memaksa Rey untuk diperiksa. Dude cemas kalau sampai terjadi sesuatu lagi dengan anaknya.
"Iya, Dokter. Hanya sedikit, tapi saya cemas kalau Rey masih sakit. Saya ingin Rey menjalani pengobatan kalau memang dia masih sakit." Dude menjelaskan pada dokter Angga tentang keluhan Rey padanya belakangan ini.
Rey tertunduk. Rasanya kepalanya memang tidak dalam keadaan baik-baik saja sekarang. Tapi, kalau ternyata dia sakit parah bagaimana? Rey tidak mau membuat papanya susah.
"Baiklah, saya akan melakukan pemeriksaan terhadap Rey secara menyeluruh. Rey siap ya?"
Rey hanya mengangguk. Sesekali ia melihat ke arah papanya. Dude mengusap puncak kepala Rey. "Nggak apa-apa, demi kesehatan Rey juga," ucap Dude.
...****...
"Ki, besok malam ada acara nggak?" tanya Diana teman seprofesi Kinan.
"Besok malam? Aduh sorry Di, gue kan nggak pernah keluar malam. Tahu sendiri nyokap di rumah, pasti ngomel kalau gue pulang malam." Padahal bukan karena larangan ibunya, melainkan Kinan memang tidak suka keluyuran malam-malam. Menurut Kinan hal itu tidak etis dilakukan oleh seorang perempuan.
"Yah, sayang banget. Padahal gue pengen ajak lo ke pestanya temen gue. Di sana ramai banget, ngundang artis loh." Diana begitu antusias, tapi Kinan terlihat biasa-biasa saja.
"Sorry, Diana. Lo ajak yang lain yah." Angguk Kinan. "Gue balik duluan," ujarnya sambil melambaikan tangan ke arah Diana.
"Huh, iya deh. Hati-hati ya Kinan."
"Ya, Assalamu'alaikum." Kinan tersenyum dan berlalu meninggalkan Diana.
"Wa'alaikumsalaam," jawab Diana.
Seperti biasa, Kinan pulang ke rumah menaiki angkutan umum seperti tadi. Sore hari macetnya Jakarta bertambah padat. Orang-orang berdesakan masuk ke angkutan umum, tapi Kinan sudah biasa. Di sebelahnya ada seorang nenek yang sudah sangat sepuh. Ia terlihat kesusahan masuk ke dalam angkot karena terlalu banyak yang ingin masuk. Kinan merasa kasihan, ia pun akhirnya menggedor angkot tersebut. "Kasihan nih ada nenek yang mau masuk. Bu, bisa tukaran nggak? Biar nenek ini duduk di depan," ucap Kinan pada ibu yang duduk di samping supir.
Ibu tersebut melihat sekilas nenek yang memang tampak kesusahan duduk berdesakan di dalam angkot. Ia juga merasa tidak tega. "Saya naik angkot yang lain aja ya, soalnya penuh di sini. Nek, duduk aja di tempat saya," ucap ibu tersebut.
Nenek tadi tersenyum ke arah Kinan. "Makasih ya, Nak."
Kinan mengangguk. "Hati-hati Nek, turunnya pelan-pelan," ujarnya sambil membantu nenek itu turun dari angkot.
Kalau melihat nenek-nenek seperti itu, Kinan jadi teringat dengan neneknya yang entah ada di mana. Orang tua ibunya itu membuang Halimah yang adalah anak kandungnya sendiri. Kinan mengetahui hal itu dari cerita mendiang ayahnya. Ayahnya bilang nenek Kinan masih hidup sampai sekarang, dan Kinan adalah cucunya yang paling kecil. Tapi neneknya itu tidak mengakui Halimah sebagai anaknya lagi, karena memilih hidup bersama dengan ayahnya daripada ikut dengan neneknya yang melarang hubungan Halimah dengan ayah Kinan.
Akhirnya Kinan sampai di rumah. Ibunya sedang duduk sambil menyiram tanaman di depan rumahnya.
"Kinan, kamu udah pulang?"
Kinan mengangguk lalu meraih tangan ibunya. "Assalamu'alaikum." Kinan mencium punggung tangan ibunya, lalu duduk di kursi yang ada di depan rumahnya.
"Wa'alaikumsalaam. Masuk gih, ganti baju, terus makan."
"Iya, Bu. Kinan laper banget, tadi di rumah sakit belum makan," jawab Kinan sambil memegangi perutnya yang keroncongan. Ini semua karena kehadiran cowok ganteng yang bernama Dude. Apakah dia duda? Kinan masih saja bertanya-tanya dalam hati. Semoga aja duda, entahlah apa Kinan sudah gila? Segitu terpesonanya dia dengan sosok Dude. Sampai berharap pria itu adalah seorang duda.
"Kenapa nggak makan? Tumben biasanya kamu istirahat kerja pasti makan?" tanya Ibu Kinan.
"Em, itu. Bukan apa-apa kok. Udah ah, Kinan mau masuk, Kinan laper mau makan."
Gadis itu langsung masuk ke rumahnya karena enggan ibunya mengintrogasi dirinya dengan pertanyaan yang tidak henti-hentinya dilayangkan nanti.
...*****...
Setiap malam Kinan selalu meluangkan waktu untuk menemani ibunya mengobrol di
ruang tengah sambil menonton acara kesukaan ibunya, sinetron yang sedang hits dikalangan ibu-ibu. Tentu saja bukan karena Kinan menyukai sinetron, tapi itu semua karena ibunya yang memegang penuh hak remot televisi.
"Ki, gimana kerjaan kamu, lancar kan?"
"Lancar kok, Bu. Alhamdulillah," jawab Kinan sambil membuka toples kue kering yang ada di meja.
"Kamu nggak punya kenalan dokter atau apa gitu, yang lagi kamu incar?" tanya Halimah. Kinan mengambil kue kering di dalam toples lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Enggak, semua cuma Kinan anggap teman, Bu. Kenapa? Ibu pengen tanya kapan Kinan nikah lagi ya?" tebak Kinan yang sepertinya sudah paham betul arah obrolan ibunya.
"Enggak, Ibu kan cuma nanya. Lagian kamu pasti mau nikah kan, Ki?"
Mendengar ucapan ibunya membuat Kinan menelan kue di mulutnya tanpa mengunyahnya. Kenapa ia merasa bosan dengan bahasan menikah lagi menikah lagi. Semenjak usianya menginjak 22 tahun, ibunya memang lebih sering menanyakan tentang pernikahan terus menerus. Seolah tak bosan, padahal Kinan saja bosan ditanya terus.
"Iya Bu, Kinan mau nikah. Tapi nanti nggak sekarang," jawab Kinan menaruh lagi toples kue ke atas meja. "Umur Kinan baru 22, belum ketuaan kok Bu," terang Kinan menambahkan dengan kejelasan lebih.
Halimah mematikan televisi yang sedang ia tonton secara tiba-tiba. "Hm, kamu bosan ya ditanya nikah terus sama ibu?"
Tentu saja bosan. Tapi sekarang apa? Halimah ngambek kah dengan Kinan?
"Enggak kok, Ibu jangan ngambek ah. Biasanya nonton sinetron sampai selesai, kok dimatikan?"
"Udah nggak selera, ibu mau tidur aja."
"Ibu mah. Kinan minta maaf deh, habisnya beneran Kinan belum mau nikah, karena belum ada yang pas aja. Lagi pula Kinan masih mau sama Ibu, Kinan ingin membahagiakan Ibu dulu, belum mau di ambil sama orang, dan jauh dari Ibu nantinya."
Bukan tanpa alasan Halimah ingin agar Kinan menikah. Menurut Halimah selagi ia masih diberikan umur dan kesempatan, ia ingin melihat putrinya bersanding dengan lelaki yang Sholeh dan bertanggung jawab terhadap anak satu-satunya itu. Halimah tidak ingin Kinan merasakan apa yang ia rasakan, dulu hubungannya dengan ayah Kinan ditentang oleh keluarganya. Saat menikah dengan ayah Kinan, Halimah kerap kali mendapatkan cibiran dan cemooh dari keluarga besarnya. Itu semuanya hanya karena ayah Kinan bukan dari kalangan orang kaya, sedangkan keluarga Halimah adalah keluarga yang terpandang.
"Maafkan Ibu ya, Nak. Ibu cuma takut nanti ibu nggak bisa menyaksikan kamu menikah. Ibu sering merasa cemas, kalau kamu nggak ada yang jagain."
"Ih kok Ibu ngomongnya gitu sih?"
Kinan memeluk ibunya. Ia hanya memiliki ibu, tentu ia tidak ingin kehilangan ibunya juga. "Jangan ngomong gitu, Kinan jadi sedih,"
Halimah mengusap rambut anaknya. "Iya, Ibu nggak akan kemana-mana kok."
...__________...
Insya Allah akan di update sampai tamat. Doakan lancar ya. Terima kasih :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sap Saprudin
msh nyimak
2022-06-28
0
Dwi Sasi
Jadi ingat ibuku... 😍😍
2022-01-18
0
En Dik
alur ceritanya kaya' kehidupan sehari-hari... mengalir apa adanya..
2022-01-18
3