...Takdir memang unik. Saat kamu berharap dan seringkali harapanmu tak kunjung sampai. Tapi kala kau berhenti berharap, justru takdir datang membawa harapan itu kembali. ~Kinan...
...****...
Kinan sudah memutuskan untuk melupakan perasaannya pada Dude Danuarta. Ayah dari pasien yang harus dia jaga saat ini di sebuah rumah mewah yang ada di Jakarta.
"Suster Kinan." Rey datang menyapa Kinan yang sedang duduk di sofa panjang ruang tamu. Senyum terulas tipis di bibir Kinan. Rey terlihat jauh lebih segar sekarang.
"Assalamualaikum, Rey. Apa kabar?" sapa Kinan kembali.
Rey tercengir. "Wa'alaikumsalaam. Maaf Rey lupa salam. Kabar Rey baik, kabar Suster gimana?"
Kinan tersenyum. "Alhamdulillah, baik. Rey terlihat sehat banget sekarang. Syukurlah suster senang banget lihatnya."
"Alhamdulillah, Suster. Oiya, suster mau ketemu sama Mama Rey nggak?"
Deg.
Kinan bukan hanya terkejut. Ucapan Rey itu menyentaknya keras. "Mama Rey ada di sini?"
"Iya Suster. Ada di kamar, Mama lagi kurang sehat," jawab Rey. "Yuk ke kamar Mama. Tadi Mama sih udah bangun. Papa lagi keluar sebentar," tambah anak itu. Kinan masih tercengang dengan ajakan Rey. Apakah dia harus menolak ajakan itu? Tapi kenapa Kinan merasa sedikit kecewa. Ah lupakan Kinan, kamu sudah memutuskan bukan? Kamu memutuskan untuk melupakan perasaanmu pada Dude.
"Baik," angguk Kinan.
Rey mengajak Kinan ke kamar mamanya. Saat itu Kinan gugup dan canggung. Ternyata Dude memang benar masih memiliki istri. Rupanya rumor yang mengatakan ibu kandung Rey meninggal itu tidak benar. Syukurlah, batin Kinan merasa lega karena Rey ternyata masih memiliki ibu. Meskipun itu membuatnya semakin bertekad untuk membuang segala kekagumannya terhadap Dude, papa dari Rey.
"Mama." Rey membuka pintu kamar mamanya. Terlihat seorang wanita sedang duduk sambil menatap kosong ke dinding kamar yang polos.
Kinan merasa agak aneh. Tatapan wanita itu benar-benar kosong. Mungkinkah karena tadi Rey bilang dia sedang sakit?
"Suster, ini Mama Rey."
Rey mengusap punggung tangan wanita yang hanya diam tidak merespon. Wajahnya agak pucat dan kurus. Meskipun begitu Kinan merasa wanita itu masih sangat muda agaknya. Hanya saja tampilannya terlihat lebih tua karena dia mungkin mengidap penyakit atau alasan lainnya.
"Nyonya. Kenalkan saya Kinan." Kinan berusaha se-natural mungkin menyapa wanita itu. Tapi sama sekali tidak ada respon. Bahkan wanita itu tidak melihat ke arah Kinan atau Rey.
Rey tertunduk. "Mama Rey sakit, Suster."
Nada suara Rey terdengar sedih. "Sakit apa, Rey?"
"Rey nggak tahu, Suster. Tapi kata Papa itu alasannya kenapa selama ini Rey hanya tinggal dengan Papa. Karena Mama Rey harus menjalani pengobatan. Cuma Rey minta Mama di rawat di rumah, biar Rey bisa bantu jagain Mama," tutur Raihan.
Rupanya begitu. Pantas saja wanita itu hanya diam sejak tadi. Melihat hal itu Kinan merasa iba, sepertinya mama Rey itu sangat tertekan dulunya. Mungkinkah dia mengidap gangguan psikologi?
"Semoga Mama Rey cepat sembuh ya. Kalau gitu Rey biarkan Mama Rey istirahat dulu. Jangan di ganggu," tutur Kinan.
Rey mengangguk. "Iya, Suster."
Keduanya pun keluar dari kamar tersebut.
"Rey udah minum obat?" tanya Kinan.
Rey menggeleng dengan wajah sendu. "Rey nggak mau minum obat, Suster. Rey udah sehat," jawab anak itu.
"Rey harus tetap minum ya. Itu vitamin untuk Rey. Tugas suster kan memastikan Rey minum obat dengan baik dan tepat waktu. Kalau Rey nggak mau minum obat nanti tugas suster apa dong?" senyum Kinan pada Rey.
Mulanya Rey terlihat sedih, tapi melihat senyuman Kinan membuat Rey kembali tersenyum. "Iya deh, Rey minum."
Saat Kinan sedang melihat Rey meminum obatnya. Suara dari dalam terdengar.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalaam," jawab Kinan dan Rey bersamaan.
"Eh Suster Kinan udah datang," ucap Dude yang baru pulang dari kantornya.
"Mas Dude. Iya," jawab Kinan canggung.
Dude tersenyum. Kinan langsung tertunduk. Sampai saat ini Kinan masih heran dengan senyuman pria itu, kenapa selalu berhasil membuat irama jantungnya berubah, ritmenya jadi lebih cepat, bunyinya pun agak nyaring dari normalnya.
"Rey udah minum obat? Wah, bener kan kata saya Suster. Kalau sama Suster pasti deh Rey mau minum obat, berkat Suster Kinan nih," imbuh Dude senang. "Terima kasih ya, Suster."
Kinan mengangguk tipis. "Iya, sama-sama, Mas."
Dude memperhatikan Kinan yang sejak tadi terus tertunduk. Dia selalu heran dengan sikap Kinan, kenapa setiap melihatnya dia menunduk seperti tidak ingin bertemu muka dengannya. Apakah dia jelek? Mustahil, batin Dude yang merasa cukup yakin dirinya tampan dari lahir.
"Suster belum di buatkan minum ya? Biar saya ambilkan ya."
Kinan menggeleng. "Jangan, Mas. Merepotkan aja, saya nggak haus kok."
"Nggak repot, kok. Sudah semestinya dibuatkan minum. Iya, 'kan Rey?"
Rey mengangguk. "Benar kata Papa, Suster. Biar Rey aja yang mintain mbak nya buatkan minum ya. Sebentar," ucap anak itu langsung berjalan menuju dapur.
Dude pun duduk di kursi yang tidak jauh dari Kinan. Saat itu Kinan masih terus tertunduk.
"Hm, Suster Kinan gimana dengan acara lamarannya, apakah berjalan lancar?" tanya Dude membuka obrolan. Dude tidak terlalu suka dengan suasana sepi tanpa obrolan, rasanya canggung dan tidak nyaman.
Kinan mengangkat wajahnya, tapi tidak terlalu lama menatap Dude. "Alhamdulillah."
Dude tersenyum simpul. "Syukurlah, selamat, ya, Suster."
"Iya, Mas. Terima kasih," jawab Kinan agak terdengar lesu. Tapi, walau bagaimana pun dia sudah menjawab lamaran dokter Hamzah, dan keduanya sudah sama-sama sepakat untuk saling menjaga sampai hari pernikahan tiba.
Senyum Dude terus terukir, dia terlihat ikut bahagia dengan pilihan Kinan. Walau sebenarnya, di hati Kinan terbesit sedikit keinginan untuk mengutarakan rasa sukanya pada Dude. Tapi, dia sadar, itu tidak boleh terjadi, karena Dude sudah beristri.
'Astaghfirullah, ampuni hamba ya Allah.'
Kinan tersenyum ragu.
Yang terjadi semalam, saat dokter Hamzah dan keluarganya datang.
Kinan tertunduk sambil memegang dadanya yang terus menerus bergemuruh. "Ya Allah tolong kuatkan hati hamba. Buat hamba yakin dengan pilihan hamba. Tolong hamba yang lemah ini," ucapnya pelan.
Tidak lama kemudian ibunya datang menghampiri Kinan lalu mengusap bahu Kinan, putrinya itu terlihat gugup.
"Ki, gimana? Kamu udah mempersiapkan jawaban dari lamaran dokter Hamzah, kan? Di depan, dokter Hamzah datang bersama keluarga besarnya, kali ini ada paman dan juga bibinya. Kamu udah yakin dengan jawaban kamu?" tanya Halimah.
Kinan menatap mata ibunya yang bening, kulit wanita itu sudah mulai mengerut karena usianya tidak lagi muda. Senyum hangat itu, tersimpan harapan yang berisi kebahagiaan untuknya, dan Kinan sangat memahami perasaan ibunya itu. Kinan berharap apa yang dia putuskan dapat memberikan kebahagiaan bagi ibunya. Yang terpenting, Kinan berharap Allah meridhoi pilihannya.
"InsyaAllah, Kinan siap, Bu. Dan insyaAllah Kinan yakin dengan jawaban Kinan," ujarnya pada Halimah disusul pelukan erat ibunya seraya mengusap punggung anaknya lemah. "Alhamdulillah, semoga ini pilihan yang terbaik, ya, Ki. Ibu hanya ingin kamu bahagia."
Bahagia? Kinan lebih mementingkan kebahagiaan ibunya, dibanding kebahagiaan dia pribadi.
"Iya, Bu." Kinan hanya mengangguk, setiap ibu pasti ingin anaknya bahagia, pikir Kinan. Tugasnya sebagai anak, juga tidak berbeda, ingin berusaha membuat ibunya bahagia, minimal tidak menyusahkan, itu saja.
Kinan keluar dari kamar ditemani Halimah menuju ruang tamu menemui dokter Hamzah dan keluarganya. Jantungnya berdentum kencang, menatap wajah lelaki yang sejujurnya teduh saat dipandang. Penampilan sederhana, senyum yang ikhlas, dan kepribadian yang bersahaja ada pada lelaki bernama Hamzah.
"Alhamdulillah, sekarang kita dipertemukan oleh Allah dalam keadaan sehat, dan insyaAllah diberkahi, aamiin." Pak Asnawi selaku orang tua kandung Hamzah memulai membuka obrolan.
Semuanya terlihat khusyuk mendengarkan salam permuka dari pihak keluarga Hamzah, sedangkan Kinan hanya tertunduk di sebelah ibunya yang setia mengusap punggung tangannya, berharap ketegangan Kinan sedikit berkurang.
"Jadi, apakah ananda Kinan sudah mempersiapkan jawaban atas lamaran ananda Hamzah beberapa waktu yang lalu?" tanya paman Hamzah yang bernama Farhan.
"InsyaAllah," jawab Kinan dengan perasaan campur aduk, antara gugup dan tegang.
Hamzah menghela napas panjang, dia juga sama, terlihat gugup dan berharap, semoga saja jawaban Kinan adalah sesuatu yang melegakan.
"Jadi, bagaimana Kinan, apakah kamu menerima lamaran Nak Hamzah?" tanya Halimah pada putrinya. "Kalau saya sebagai ibu Kinan hanya mendukung dan mendoakan pilihan anak saya saja," ujarnya sembari tersenyum tipis.
Kinan menarik napas dalam-dalam sebelum mengatakan apa yang sudah dia putuskan sebagai jawaban.
"Bismillah, atas izin Allah, dan dengan mengarapkan keridhaan-Nya. InsyaAllah, saya menerima lamaran dokter Hamzah."
Perkataan Kinan membuat merinding semua yang ada di sana. Mereka menjadi saksi keputusan yang Kinan berikan. Begitu juga dengan Halimah, dia sangat amat bersyukur. Akhirnya Kinan, putri semata wayangnya menerima lamaran laki-laki saleh bernama Hamzah.
Begitulah akhirnya, Kinan menerima lamaran dokter Hamzah dan sekarang dia duduk di hadapan laki-laki yang sejujurnya sempat membuatnya kagum bahkan sampai sekarang. Laki-laki bernama Dude yang sejujurnya mencuri perhatian Kinan sejak pertama bertemu.
"Semoga semuanya lancar, ya, Suster. Jangan lupa undang saya dan Rey, ya. Kalau nanti suster mengadakan acara pernikahan."
Ucapan Dude itu memecah lamunan Kinan. Tanpa sadar sudut matanya terasa perih. Kinan segera menghilangkan pikiran yang seharusnya tidak dia pikirkan, juga perasaan yang seharusnya tidak dia rasakan.
"Aamiin," jawab Kinan sambil menghela napas. Kenapa dia sangat kecewa.
"Ini minumannya, Tuan." Pelayan rumah Dude membawakan secangkir teh untuk Kinan.
"Terima kasih, mbak," jawab Dude. "Di minum Suster," ucap Dude pada Kinan.
"Terima kasih," balas Kinan mengambil cangkir tersebut dan menyesap isinya sedikit.
Rey datang berlarian. Kinan dan Dude terkejut karena anak itu menangis terisak.
"Rey, kamu kenapa?" tanya Dude. Kinan pun terheran. "Iya, kok Rey nangis?" tambah Kinan.
"Mama marah. Mama ngusir Rey, Pa."
Sontak Dude membulatkan mata. "Hah? Rey tunggu di sini ya, biar Papa yang lihat Mama."
"Rey mau lihat Mama juga, Pa!" tegas anak itu. "Rey takut Mama kenapa-kenapa."
Kinan bingung harus berbuat apa. Dia sendiri tidak mengerti kondisi mama Rey sekarang. "Rey sama suster di belakang ya. Biar Papa Rey duluan yang liat kondisi Mama Rey," ujar Kinan memberi ide.
"Iya, Rey sama Suster Kinan nyusul aja ya. Biar Papa dulu." Dude mengangguk setuju. Rey pun setuju. Kinan berjalan di dekat Rey sementara Dude bergegas masuk ke kamar ibu dari anaknya.
"Hana." Dude masuk dan terkejut melihat Hana sedang menjerit histeris sambil memegangi kepalanya. "Pergi! Pergi semuanya!" teriak Hana.
Kinan terkejut melihat kondisi ibu dari Rey sekarang. Rey menangis keras sambil memanggil mamanya. "Mama! Jangan gitu, Ma. Ini Rey anak Mama!"
"Kamu bukan anak saya! Kamu pergi!" teriak wanita itu. Rey semakin sedih, dia makin mengeraskan tangisnya. Kinan berusaha memegangi Rey dan menenangkan anak itu. "Rey sabar ya, jangan nangis," ucap Kinan.
Dude memeluk Hana yang terlihat ketakutan. Pelukan itu sangat erat. Bahkan Kinan melihat Dude mengecup kening wanita itu berulang-ulang. Saat itu perasaan Kinan sangat sakit, dia juga merasa sangat keterlaluan. Padahal itu adalah istri Dude, wajar saja jika Dude mencium wanita itu. Kinan sangat tidak tahu diri, batinnya meski merasakan sakit.
"Tenanglah Hana. Ada aku, lihat aku di sini, sudah jangan begini, Hana." Dude masih terus memeluk Hana.
"Hana, lihat aku. Kamu ingat kan siapa aku?"
Wanita itu menatap mata Dude seksama. Beberapa saat kemudian ia menangis lagi. "Ingat," jawab wanita itu pelan.
"Ingat?"
Hana mengangguk lagi. "Iya."
Dude memeluk Hana lagi lalu mengecup puncak kepalanya. "Iya, dan Rey adalah anak kamu, Hana. Jangan begini," kata Dude.
"Dia anakku?" tanya Hana linglung.
Rey masih menangis. Sementara Kinan tidak tahu harus berbuat apa sekarang. "Mama. Ini Rey, anak Mama."
Dude mengusap wajahnya lalu meminta Rey datang menghampirinya. Rey pun datang dan langsung memeluk Dude dan Hana.
"Mama."
Raihana adalah ibu kandung Rey. Dude dan Rey juga sangat menyayangi Hana. Mereka saling memeluk sambil menangis. Kinan pun perlahan mundur, menjauh dan keluar dari ruangan itu.
Entah sejak kapan dia meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak. Kenapa dia seperti ini? Kinan merasa sakit. Kinan merasa salah menyukai pria itu. Dude ternyata memang mencintai istrinya, pikir Kinan.
"Astaghfirullah." Kinan gemetar. Apa yang baru saja dia lihat sangat amat dramatis. Dia tidak tahu keadaan ibu kandung Rey sangat menyedihkan seperti itu.
"Astaghfirullah. Ya Allah," ucap Kinan masih mencerna apa yang baru saja dia lihat.
...________...
...Maaf kalau ada typo ya....
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Rizal dody Zakaria
lanjut kak
2022-04-07
0
♥️💕 MomSha 🌹🌹💕❤️
apa raihana adiknya dude?aahh...masih teka-teki.
2022-03-07
0
Dati Purwani
iyyaa...tak jarang kita sering terjebak dan terombang ambing dlm ujian takdir itu....😥😥😥
2022-01-18
0